Sabtu, 27 Desember 2014

Bisakah kita berkenalan (kembali) ??

Bisakah kita berkenalan (kembali)??
Aku ingin jatuh cinta padamu di tempat-tempat yang kutentukan.
Kedai kopi, pameran buku, galeri seni.

Bisakah kita berada di sana tanpa sengaja, dan, kita saling menyapa?
Aku akan berkenalan denganmu dengan baik. Sangat baik.
Bisakah?

Perasaanku pasti akan sangat ramai ketika itu.
Ramai. Seperti pasar malam.

Atau, bisakah kita tiba-tiba ada di sana, sekarang? Di pasar malam.
Bisakah?

Blitar, Desember 2014

Sabtu, 13 Desember 2014

Media yang baik harus memihak: memihak pada kebenaran

Secara pribadi, saya tidak setuju dengan pernyataan “sebuah media harus netral, tidak memihak”. Karena media memiliki kuasa untuk menggiring opini publik. Pernyataan tersebut akan menjadi bumerang ketika mendapati sebuah masyarakat yang akan melangsungkan pemilihan umum untuk menentukan pemimpin baru.

Bagaimana ketika media tengah dihadapkan pada pilihan dua calon; si A yang ‘baik’, dan si B yang ‘kurang baik/buruk’. Apa media akan membiarkan masyarakat memilih si B dan membiarkan negara api menyerang :-D ? Atau menggiring masyarakat agar memilih si A? (Jika memang kita (media) memiliki tujuan bersama yang baik, demi kemaslahatan umat dan demi perubahan yang lebih baik)

Media yang baik harus jujur: memberitakan hal-hal yang baik tanpa menutup-nutupi (jika memang terdapat) keburukan. Biarkan masyarakat yang memilih dan menentukan. Media yang baik berpihak pada kebenaran. Bukan berpihak atas nama percukongan.

… dan, definisi kebenaran adalah jelas; sesuai sebagaimana adanya (seharusnya), betul, tidak salah. Bukan kebenaran versi media A, kebenaran versi media B, dan seterusnya.

Rabu, 03 Desember 2014

Catatan Sejarah Kita, Tentang Wilayah yang Pernah Menjadi Bagian dari Negara Kita, Timor Timur: Disembunyikan!!



Selama 15 tahun, terhitung sejak 1999, adakah bagian dari sejarah kita yang menyebutkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM besar-besaran oleh militer kita, di negara yang pernah menjadi bagian dari bangsa kita: Timor Timur? Selama 24 tahun, terhitung sejak 1974-1999, adakah dari masyarakat kita, atau media kita, yang mengabarkan bahwa telah terjadi kekerasan kemanusiaan besar-besaran, di wilayah yang kemudian memilih melepaskan diri dengan Indonesia: Timor Timur?

Dalam buku-buku sejarah, kita mungkin hanya mengenal .. Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia pada tahun sekian…, atau … Presiden pertama Timor Timur adalah Si A.. Namun apa sejarah kita mencatat, setelah Indonesia merdeka, sebelum Timor Timur memilih untuk melepaskan diri dengan negara Indonesia, apa yang terjadi di tanah itu? Apa saja yang militer kita lakukan disana, dalam misinya ‘mengisi kekosongan’? Apa sejarah kita mencacat itu? Tidak.

Timor Timur adalah salah satu wilayah di Indonesia yang tidak terkena dampak penjajahan Belanda. Namun lebih tragis, lebih dari 400 tahun ia dijajah oleh bangsa Portugis. Dan lebih, sejak misi militer kita ‘mengisi kekosongan’ selama 24 tahun, terhitung sejak 1974-1999, tersimpan kejahatan HAM yang menjadi traumatik bagi warga Timor Timur, bahkan mungkin hingga saat ini.

Berbagai kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan terjadi pada rentan waktu itu. Istri dan juga perempuan-perempuan dipisahkan dari keluarganya. (dapat dilihat dari cuplikan film dokumenter: Perempuan Di Hotel Flamboyan). Mereka ditahan, dimasukkan sel, diperlakukan kasar, bahkan diperkosa dan dipaksa untuk melayani militer-militer Indonesia di sana. Tak jarang dari perempuan-perempuan tersebut melahirkan, membesarkan anak, dan menyembunyikan traumatik mereka dari anak-anak dengan mengatakan bahwa ayah mereka telah meninggal. Tak sedikit anak-anak yang kesulitan menurus akta kelahiran, karena tidakjelasnya status sang ayah. Jika di lapangan terdapat militer yang mati karena perang, kekejian tersebut akan dilampiaskan pada perempuan-perempuan tahanan dalam sel. Bahkan, sempat terjadi dalam beberapa bulan hingga dalam hitungan tahun, terdapat kesengajaan pengurangan makanan, hingga terjadi kelaparan dimana-mana. Selama 24 tahun, kejahatan HAM tersebut berlangsung. Tak ada media yang meliput atau memberitakan, karena seperti yang kita tahu, presiden yang berkuasa selama 32 tahun tersebut membungkam media dan berbagai kegiatan yang mengancam sekaligus membahayakan dirinya.

Timor Timur pernah akan menjadi negara komunis dan bergabung dengan AS. Hal tersebut juga salah satunya yang membuat ‘kita’ lebih keji untuk melakukan ‘apapun’ disana. Dan kita tahu, Indonesia memiliki trauma besar terhadap PKI, organisasi besar sekitar tahun 1965 yang menjadi momok karena paham komunismenya tersebut. Satu kesalahan besar: paham ini dirasa mutlak menistakan agama (Islam) dan keyakinan bangsa. Sehingga buku, dokumen, atau ajaran apapun tentang marxis dianggap anak jadah yang haram untuk dibaca oleh putra-putri bangsa. Padahal, pemahaman kita akan marxisme: NOL. Karl Marx mencipakan marxisme bukan untuk itu. Kita dicekoki citra buruknya tanpa diberi kesempatan untuk membaca.

Chega!, sebuah catatan, laporan akhir, dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) yang bekerja di Timor Leste. Mandatnya yakni mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh semua pihak pada tahun 1974-1999. Dari Chega! kita dapat menemukan cacatan kelam sejarah bangsa yang tidak pernah kita ketahui, dan dibiarkan menguap selama puluhan tahun.

Kejahatan kemanusiaan tersebut mungkin telah berlalu sejak puluhan tahun yang lalu. Beberapa kerugian juga telah ditebus oleh pemerintah Indonesia. Kita mungkin tidak bisa mengembalikan atau menghilang tuntaskan trauma warga Timor Leste atas masalalu mereka tersebut. Namun, bukan berarti kita dapat dengan mudah melupakan dan meminta mereka untuk memaafkan begitu saja.

Melalui pengalaman kelam tersebut, semestinya kita dapat berlapangdada untuk mengakui kesalahan-kesalahan di masa lalu, hingga dapat dijadikan pelajaran untuk membangun bangsa ke arah depan yang lebih bermartabat. Dari mengusut tuntas sejarah kelam tersebut, kita dapat belajar tentang satu hal yang pasti: agar tidak ada lagi kejahatan-kejahatan HAM berseliweran dan berkelanjutan lagi di negeri ini.

Kamis, 30 Oktober 2014

Dialektika Hindu Jawa dalam Serat Mi’raj


Di era modern ini, di sejumlah museum-museum di Indonesia di simpan naskah-naskah lama tinggalan dan warisan masyarakatnya. Naskah-naskah tersebut berasal dari puluhan bahkan ratusan tahun silam. Naskah-naskah tersebut yang kemudian dikaji dan diteliti oleh para akademisi, baik dari dalam maupun luar negeri. Beberapa waktu terakhir, banyak dicari naskah-naskah oleh para pemburu naskah asing dari luar negeri. Hal tersebut dikarena dalam naskah kuno terkandung suatu pengetahuan dan warisan budaya suatu bangsa, yang mengandung banyak gagasan dan pemikiran, yang juga memiliki implikasi dengan zaman modern ini.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, naskah-naskah kuno tersebut memiliki peran dan pengaruh cukup besar pada zamannya terhadap peradaban masyarakat dimana naskah tersebut berada. Karya sastra termasuk naskah, merupakan salah satu media yang mampu mengubah paradigma dan cara berfikir masyarakat secara missal, sehingga kemudian dapat mengubah peradaban. Karena melalui gaya dan diksi yang tertuang di dalam karya sastra, seseorang dapat memahami dan mengamini suatu cara pandang tanpa adanya paksaan. Cara berfikir pengarang akan diikuti pula oleh pembacanya. Apalagi jika karya sastra tersebut dijadikan pedoman tradisi secara massal. Seperti pada Serat Mi’raj, serat yang berasal dari Pamekasan Madura, yang pada masa lalu sering dibaca untuk macapatan sebagai sarana memperkaya pengetahuan tentang Islam di masyarakat.
Sebelum Islam masuk ke wilayah Jawa, Jawa memiliki tatanan masyarakat dengan peradaban mayoritas Hindu. Kerajaan Hindu terbesar ketika itu ialah kerajaan Majapahit. Kemudian karena beberapa hal, salah satu faktor utamanya karena perebutan kekuasaan, Majapahit mengalami keruntuhan, yakni pada abad 13-15 M. Bersamaan dengan hal tersebut, perlahan Islam masuk melalui para pedagang dari Gujarat. Islam masuk perlahan dari wilayah pesisir yaitu utara Pulau Jawa. Dari wilayah pesisir itulah perlahan Islam masuk ke wilayah selatan.
Tidak mudah mengubah agama dan sistem kepercayaan masyarakat dari yang semula Hindu menjadi Islam. Apalagi Hindu telah dianut oleh sebagian besar masyarakat sejak ratusan tahun lamanya. Agama atau sistem kepercayaan mempengaruhi adat dan kultur masyarakatnya. Sehingga agama mempengaruhi aktivitas yang terbentuk di dalam masyarakat. Seni dan sastra adalah sarana yang efektif untuk memasuki adat dan kultur di dalam masyarakat. Maka kemudian, Islam masuk salah satunya adalah melalui pengaruh karya sastra. Seperti karya yang akan dibahas dalam tulisan ini, Serat Mi’raj.
Serat Mi’raj atau yang selanjtnya disingkat SM, memiliki pesan dan nilai keislaman. Serat tersebut terbentuk berdasarkan dialektika antara Hindu Jawa dan Islam. Islam berusaha memberi ajaran tentang nilai-nilainya tanpa harus memberikan dogma yang bersifat memaksa. Melalui SM, masyarakat diajak untuk memahami Islam tanpa paksaan. Salah satu caranya adalah dengan mengakulturasikan antara cerita Hindu dan Islam. Cerita yang diambil adalah Isra’ Mi’raj (dalam ajaran Islam) dan kemudian digubah menjadi Mi’raj Nabi. Dalam Islam, Isra’ Mi’raj, Islam memberi pemahaman tentang surga dan neraka, konsekuensi terhadap keduanya, serta tugas dan kewajiban seorang muslim melalui utusan Allah yang bernma Muhammad.
Latar dan tokoh adalah yang sangat pening alam usaha akulturasi di dalam karya sastra. Karena melalui latar dan tokoh, orang akan lebih memahami secara konkrit alur cerita di dalam karya sastra. Juga karena latar dan tokoh tersebut tidaklah asing dimata mereka. Usaha pemberian pemahaman Islam terhadap masyarakat Hindu sejatinya adalah pemberian pemahaman secara substansi atau nilai. Maka tak heran jika beberapa cerita Islam kemudia sedikit mengalami perubahan nama, tokoh, atau latar ceritanya ketika beredar pada masyarakat non Islam. Karena memang pemahaman tentang keislaman disesuaikan dengan kultur dan adat masyarakat setempat, tanpa meninggalkan pesan yang akan disampaikan. Substansi cerita tetaplah bernash Islam.
Dalam SM, diceritakan seorang nabi bernama Muhammad bertemu dengan bidadari dan melihat kehidupan surga dan neraka. Ia juga ditemani oleh seorang bernama Jibrail (malaikat Jibril dalam Islam). Kemudian diceritakan, ada kriteria perilaku masyarakat yang akan masuk surga ataupun neraka. Misalnya, tokoh nabi Muhammad di dalam neraka menemui seorang perempuan yang dipaksa untuk memakan daging mentah. Itu adalah konsekuensi dari orang yang semasa hidupnya gemar membicarakan keburukan orang lain. Diceritakan pula sang nabi bertemu dengan seorang perempuan tanpa baju dengan bibir yang terpecah menjadi lima. Tokoh Muhammad bertanya kepada Jibrail bahwa itu adalah konsekuensi untuk orang yang gemar mengumpat semasa hidupnya. Dari cerita tersebut, Islam tidak memaksa masyarakat untuk memeluknya. Namun melalui SM, berusaha dijelaskan bahwa terdapat kehidupan setelah kematian, yakni ada di surga dan neraka, dan apa yang harus dijalankan manusia selama hidup di dunia.
Melewati wilayah pesisit Jawa, Islam kemudian perlahan masuk dan menjadi agama baru yang dipeluk oleh masyarakatnya. Kemudian banyak bermunculan pondok-pondok pesantren yang menjadi pusat pendidikan agama Islam. Pondok-pondok pesantren tersebut menjadi media bagi masyarakat untuk melek huruf. Dari pondok pesantren, orang kemudian mengenal huruf-huruf pegon. Setelah itu, karya-karya sastra banyak bermunculan, yang merupakan gubahan teks Jawa ke Islam. Isinya pun disesuaikan dengan kultur dan budaya masyarakat setempat, dengan tujuan tetap yaitu memberikan paradigma dan nilai-nilai keislaman.
Karya sastra menjadi alat yang penting dalam proses akulturasi budaya. Seperti misalnya SM. Dengan perpaduan diksi, latar, juga penokohan yang diterima sesuai kultur masyarakatnya, seorang menjadi tidak merasa telah digurui dengan karya sastra tersebut. Proses dialektika tersebut kemudian mampu membawa seorang Hindu untuk masuk ke dalam Islam. Berdasarkan apa yang telah terjadi di masa lalu, melalui karya sastra, peradaban besar Hindu Jawa dapat dipadukan dengan Islam. Dan terbukti, Islam menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia saat ini. Di era ini, tantangan bagi seorang muslim yaitu menggali kreativitas imajinatifnya untuk menghasilkan karya-karya yang mampu memberikan pemahaman mengenai nilai dan ajaran islam. Karena meskipun islam telah menjadi agama mayoritas, banyak yang tak mampu meresapi ajarannya secara substansif. Apalagi di tengah jaman modern yang semakin membuat keislaman seseorang perlu direvitalisasi kembali.

Rabu, 29 Oktober 2014

Museum Omah Munir

Kota Batu terkenal dengan hawa dan suhunya yang dingin dan sejuk. Di kota inilah, lahir sekaligus tinggal aktivis HAM yang kasusnya belum terselesaikan hingga saat ini, Munir. Terletak di Jl Bukit Berbunga no 2 Sidomulyo, Batu, sejak Desember tahun lalu, atas persetujuan keluarga dan berbagai aktivis didirikanlah museum Omah Munir. Ini adalah museum yang mendokumentasikan kasus-kasus HAM pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara.
            Sebelum memasuki ruangan, pengunjung akan disambut dengan patung Munir sebagai simbolik perjuangan HAM.  Ruang utama berupa display perjuangan Munir, yakni sinopsis kisah hidup Munir dan berbagai kasus HAM yang pernah ia perjuangkan. di sisi lain terdapat dinding kisah Munir dan keluarga. di sisi kanan raung utama, ditampilkan segala atribut yang digunakan Munir ketika masa-masa perjuangannya dulu. Seperti jas almamaternya semasa kuliah, sepatu yang dulu selalu ia gunakan dalam aktivitasnya ketika di lapangan, kemeja yang digunakan ketika jumpa pers di mabes polri, SIM KTP STNK dan paspor, jam tangan, bulpoin. Skripsinya yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Buruh dalam penetapan upah di perusahaan industri: studi di kota madya malang juga turut dipajang dalam museum ini. Selain itu, ada pula penghargaan-penghargaan yang pernah diterima Munir semasa hidupnya. Museum ini juga dilengkapi dengan perpustakaan atau ruang baca yang dapat digunakan pengunjung jika ingin melakukan kajian atau riset tentang HAM dan penegakan hukum.
            Kasus Marsinah adalah kasus yang menjadi titik tolah perjuangan Munir dalam mengentaskan kasus HAM di Indonesia. Sehingga dalam museum ini, ditampilkan pula foto Marsinah dan deskripsi mengenai kasus HAM yang menimpa dirinya. Sekadar mengembalikan ingatan, Marsinah adalah buruh pabrik yang berusaha memperjuangkan hak-hak buruh namun pada akhirnya meninggal dibantai dengan sangat misterius.
            Munir merupakan aktivis HAM, yang berkecimpung mengentaskan permasalahan HAM di Indonesia yang tak kunjung menemui titik terang. Museum Omah Munir didirikan dengan tujuan merawat ingatan kita tentang perjuangan Munir dan Kemanusiaan. Museum Omah Munir adalah sebagai media untuk menghidupkan semangat sekaligus mendokumentasikan problem-problem kemanusiaan di Indonesia. Selain itu, Museum Omah Munir didirikan sebagai ruang budaya untuk merawat kebebasan berfikir dan berekspresi. Untuk itu, Museum Omah Munir sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadikannya sebagai ruang diskusi.
            Pada mulanya, yang menggagas ide didirikannya Museum Omah Munir adalah Suci, istri dari alm Munir. Dan kemudian ide tersebut didukung oleh kerabat dan berbagai aktivis. Pada 7 September lalu, tepat 10 tahun kematian aktivis Munir, di museum inilah diperingati 10 tahun kematian Munir, yang juga dihadiri oleh beberapa aktivis, budayawan, dan pegiat perfilman. Diantaranya hadir pula Riri Riza, Mira Lesmana, Nia Dinata, dan juga Butet Kartaredjasa. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan diantaranya yaitu diskusi kasus-kasus HAM, pemutaran film dokumenter, penampilan hiburan dan musikalisasi puisi, dan berbagai kegiatan lainnya, yang masih dalam topik mengenang kasus-kasus HAM yang belum juga terselesaikan hingga kini, dan tak kunjung ada tindakan riil dari pemerintah untuk segera mengusut tuntas.
            Seperti halnya museum-museum yang lain, Museum Omah Munir ini bukan didirikan begitu saja tanpa adanya kegiatan di dalamnya. Kegiatan rutin pada museum ini diadakah setiap bulan, yakni pada tanggal 7 dan 8. Seperti yang dijelaskan oleh Yuriko Abi Pratama selaku tim kreatif dari Museum Omah Munir, yang perlu diketahui masyarakat, konsep dari didirikannya museum Omah Munir ini adalah menjadikannya sebagai rumah yang mengabadikan perjuangan Munir menuntaskan kasus-kasus HAM. Tempat diskusi kemanusiaan yang mencerdaskan. Dan bukan menjadikannya sebagai tempat atau basecamp untuk membentuk massa yang memusuhi golongan-golongan tertentu.

            Sejauh ini. Pendirian Museum Omah Munir secara independen, tidak ada kerjasama dengan pemerintah kota Batu atau permintaan sumbangan lainnya. Melainkan donatur yang bersifat sukarelawan. Museum Omah Munir ini berdiri secara independen, tanpa adanya tendensi kepada pihak-pihak atau golongan-golongan tertentu. Kedepannya, pengurus dari museum ini berharap akan ada mata pelajaran atau pembelajaran pengenai pengetahuan akan penegakan HAM pada siswa-siswa sekolah. Sehingga para generasi muda nantinya dapat meminimalisir munculnya kasus-kasus HAM di Indonesia. 

SEMANGAT KELAS INSPIRASI BLITAR DI SDN PENATARAN VI

Berbagai kegiatan yang bergerak dalam bidang pendidikan banyak bermunculan saat ini. Baik dalam skala besar, maupun skala kecil, yang diadakan komunitas-komunitas maupun mahasiswa tingkat kampus misalnya. Salah satu dari berbagai kegiatan tersebut adalah Kelas Inspirasi. Kelas Inspirasi merupakan kegiatan sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar untuk anak-anak SD yang memberikan pemahaman tentang pentingnya pendidikan dan juga beragamnya profesi di negeri ini. Berangkat dari minimnya pengetahuan anak-anak tentang beragam profesi atau cita-cita yang dapat ditempuh saat ini, Kelas Inspirasi menjangkau anak-anak dari SD-SD terpencil di Indonesia. Program ini berusaha dilaksanakan di seluruh kota di Indonesia bertepatan dengan hari sarjana, yakni pada 28 September. Kelas Inspirasi yang dilaksanakan satu kali di tiap tahun, bermaksud mengajar sehari dan menginspirasi seumur hidup.
Di Blitar, pada 2014, turut serta diselenggarakan Kelas Inspirasi untuk pertama kalinya. Terdapat 9 SD sasaran kegiatan. Masing-masing SD dialokasikan pengajar yang berbeda jumlahnya, bergantung jumlah siswa yang ada. Rata-rata yakni 2 hingga 4 pengajar. Pengajar Kelas Inspirasi tersebut dipilih dari beragam profesi yang ada di masyarakat. Terdapat perekrutan pengajar dan fasilitator atau yang bertindak sebagai panitia dalam program Kelas Inspirasi ini.
SDN Penataran VI adalah salah satu SDN di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar yang tergolong SDN terpencil. SDN ini terletak di bagian utara perkebunan teh yang ada di Penataran. Terdapat tiga gedung dalam sekolah ini. Secara kepemilikan tanah, SDN ini dibangun di atas tanah milik pemerintah atau milik pabrik. Begitupun dengan masyarakat sekitar. Mereka tidak memiliki hak tanah, karena tanah yang mereka tempati adalah milik pabrik. Mayoritas walimurid bekerja di kebun atau sebagai penambang pasir. Untuk menjangkau wilayah SD ini harus melewati hutan dan daerah penambangan pasir terlebih dahulu.
SDN yang berdiri sejak tahun 1986 ini memiliki jumlah murid yang sangat minim. Yakni 20 siswa keseluruhan. Dengan rincian tiga murid di kelas I, tiga murid di kelas II, empat murid di kelas III, empat murid di kelas IV, tiga murid di kelas V, dan tiga murid di kelas VI. Jumlah murid memang sangat minim, karena jumlah kartu keluarga (KK) dalam wilayah SDN ini hanya sejumlah 92 KK. Salah satu faktor karena terbatasnya murid, kegiatan belajar mengajar di SDN ini hanya dilaksanakan dengan tiga ruang kelas, dengan satu ruang untuk dua kelas sekaligus. Proses kegiatan belajar mengajar yaitu kelas I digabung dengan kelas II, dan seterusnya. Sehingga hanya ada tiga ruang kelas.
Ketika Kelas Inspirasi Blitar berlangsung, SDN ini tengah mengalami transisi kepala sekolah. Yakni kepala sekolah yang lama Ibu Masfuroh diganti dengan kepala sekolah yang baru Bapak Yunito Susilo. Ada sejumlah lima guru dan satu kepala sekolah di SDN ini. Satu guru diantaranya merangkap dengan SDN lain, yakni SDN Penataran 2. Nama-nama guru tersebut yaitu Bapak Zakaria, Ibu Nur Widya Wati, Ibu Putri Insri Praditya, Bapak Hadi Agus Nurhalim, dan Ibu Herin Puji Astuti yang merupakan  guru agama yang merangkap mengajar.
Kelas Inspirasi Blitar yang diadakan di SDN Penataran VI terdapat dua pengajar dengan dua profesi yang berbeda. Yakni Bapak Budi yang berprofesi sebagai PNPM Mandiri, dan Mbak Prima sebagai Event Organizer (EO). Selama kurang lebih 45 menit, masing-masing pengajar memberikan pemahaman tentang profesi mereka dan perannya di masyarakat. Cara mengajar merekapun, tentu disesuaikan dengan pemahaman anak-anak SD. Setelah kedua pengajar menyampaikan materi mereka, kemudian diadakan berbagai pertanyaan untuk anak-anak dan pemberian hadiah-hadiah kecil. Di akhir kegiatan, anak-anak menulis cita-cita mereka dalam lembar-lembar kertas warna dan menempelkannya di dinding kelas. Bagian ini dimaksudkan agar mereka selalu ingat cita-cita mereka setiap hari dan selalu termotifasi dan giat untuk belajar.

Kelas Inspirasi berusaha hadir di tiap tahunnya, menginspirasi untuk anak-anak generasi penerus bangsa. Salam inspitasi J

Sastra “Kabur Kanginan” Seorang Pembecak Cak Mad dalam Sumpah Pemuda

Sore hari menjelang senja, tak kurang dari 10 mahasiswa melakukan aksi membacaan puisi di depan gedung Rumah Kebudayaan Universitas Airlangga. Dengan gaya ala seniman sekaligus sastrawan, dengan didekorasi becak juga poster dan pamphlet-pamphlet besar, acara tersebut berlangsung selama lebih dari dua jam. Ternyata atas ide dan inisiatif dari seorang Madi Omdewo, pegiat sastra yang telah menghasilkan buku antologi puisi berjudul 99 Antologi Becakan. Ia ternyata adalah seorang tukang becak, yang memiliki semangat membecak sekaligus menulis puisi sejak 2004 silam. Kegiatan tersebut dimaksudkan dalam rangka peringatan hari sumpah pemuda sekaligus bulan bahasa.
Ia mengundang siapapun mahasiswa yang tertarik meramaikan acara untuk turut serta membacakan puisi. Judul brosur yang ia sebar unik, Tukang Becak Membaca Karya Sastra. Pada kesempatan inilah kemudian datang dan turut meramaikan acara yakni mahaiswa yang mayoritas dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa. Secara bergantian, mereka melakukan pembacaan puisi dan juga diselingi dengan nyanyian. Rombongan mereka sebelumnya juga aktif dalam kegiatan serupa yang sebelumnya diadakan di depan gedung DPRD, atau peringatan 10 November, dan beberapa peringatan hari nasional yang berkaitan dengan keIndonesiaan. Komunitas mereka juga biasa melakukan diskusi sastra dan budaya.
Momen ini, momen dimana sumpah pemuda diperingati, Madi Omdewo atau yang lebih akrab disapa Cak Mad, bemaksud menggugah semangat para pemuda agar lebih peka terhadap kondisi masyarakat saat ini. Dalam perjalanannya Cak Di telah menghasilkan ratusan puisi, baik yang telah dibukukan maupun yang masih berupa naskah mentah dalam tulisan tangan. Antologi puisi 99 Antologi Becakan merupakan antologi puisinya yang pengantarnya ditulis oleh Tri Rismahandini, Walikota Surabaya, dan Bramantio, salah seorang dosen Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Sebelumnya, Cak Di pernah melakukan pembacaan puisi di depan DPRD selama 36 jam dengan peringatan acara yang sama. Setiap kegiatan kesusastraan yang ia lakoni ia sebut sebagai Sastra Kabur Kanginan. ‘Kabur’ karena kegiatannya tersebut ada dimana-mana yakni di warung kopi, jembatan, jalan. Dan dengan ‘kanginan’ akan banyak reverensi yang masuk supaya banyak dijadikan ide untuk menulis.
Madi Omdewo adalah seorang tukang becak, yang dalam resahnya ia hasilkan puisi-puisi di tiap malamnya. Anda yang tiap sore hari terbiasa naik becak di daerah Surabaya bagian Utara, khususnya di daerah Jembatan Merah atau Embong Malang, mungkin tak asing dengan sosok Cak Mad. Sejak ia beralih profesi dari tukang foto keliling mnjadi tukang becak, sejak 2004 lalu, ia telah aktif menulis puisi. Baginya, menulis adalah seperti orang lapar, adalah kewajiban di tiap harinya. Meskipun menurutnya saat ini, profesi tukang becak telah digerogoti oleh dua hal, yakni keberadaan handphone dan pembelian sepeda motor yang semakin dipermudah. Itu adalah dua hal yang membuat tukang becak sepi peminat.
“Ya beginilah cara kami memperingati hari sumpah pemuda. Dan harapan kami untuk generasi muda khususnya mahasiswa, apresiasilah hal atau karya yang berkaitan dengan peringatan hari-hari (pergerakan) nasional, khususnya yang saat ini terjadi yaitu hari sumpah pemuda” tutur Soni, seorang mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa.

Harapan Cak Mad untuk pemuda khususnya mahasiswa, adalah dengan peringatan sumpah pemuda ini jadikanlah semangat untuk terus rutin membaca. Dengan proses pembacaan itulah akan lahir ide-ide dan tulisan-tulisan yang nantinya akan menjadi karya yang bermakna. Pada kegiatan selanjutnya, Cak Mad berencana mengadakan kegiatan serupa pada 10 November yang bertepatan dengan hari Pahlawan Nasional. Kegiatan tersebut akan diramaikan oleh komunitas Music Time yang akan dilaksanakan di Balai Pemuda dan melibatkan pecinta seni. Beberapa kegiatan yang akan dilakukan yakni teatrikal, monolog, baca puisi, nyanyi, memajang lukisan, dan berbagai kegiatan mengenai sastra dan budaya.

Senin, 25 Agustus 2014

Sekapur Sirih Mengenal Tuhan dan Perbedaan

Ada pepatah pernah bilang, “Dunia ini seperti buku. Mereka yang tak membaca seluruhnya, hanya akan berhenti pada satu lembar saja”

Terkadang, dalam banyak hal kita sangat tidak sopan dalam menilai orang lain. Menilai dari kaca mata pribadi. Yang lebih buruk lg, menaruh prasangka tak baik karena beberapa hal tanpa menilainya dari sebab dan sudut pandang tertentu. Seringkali kita lebih pilih-pilih dalam beteman atau menjalin relasi dengan orang lain. Kita terlalu angkuh untuk mau rendah hati.

Aku ingat, dulu waktu masih berada di bangku sekolah, orang-orang tua suka sepihak dalam menilai orang lain. Memberi arahan untuk jangan berteman dengan si A karena alasan tertentu. What the hell, honey??

Tuhan menilai tingkat ketaatan seseorang beda-beda, berdasarkan dari ‘strata’ mana ia. Maka, kadang dalam cerita nabi, ada ketaatan seorang yang sudah melangit, namun itu semua gugur babar bar hanya karena secuil sebab. Tak ada yang menjamin kebenaran yang diakui banyak orang adalah juga mutlak kebenaran Tuhan.

Bukan yang tiap hari pergi ke masjid, taat sembahyang, tapi buta perbedaan.

Seorang muslim selalu disarankan untuk berkumpul dan bergaul dengan sesama muslim lainnya. Karena dengan begitu, tingkat ‘keimanan’ akan terjaga dan selalu bertambah. Namun, tak ada alasankah baginya untuk mengenal pelacur, pemabuk, seniman, pecandu?? Adakah alasan lain agar tak harus ada kata ‘menghindar’??

Seorang yang kaya atau pengusaha mungkin dianjurkan untuk bergaul dengan sesamanya, kelompok-kelompok elit dan ternama. Karena dengan begitu, mereka mampu membangun relasi dan mengembangkan yang ia miliki. Namun, tak ada alasankah baginya menyentuh rakyat-rakat jelata?? Kelompok minoritas.

Seorang intelek dalam perjalanannya mungkin akan selalu bergaul dengan sesamanya. Kelompok terpelajar yang akan mengenyam bangku-bangku pendidikan. Karena dengan begitu, tingkat keilmuannya akan bertambah. Tak ada alasankah baginya untuk menyentuh orang-orang desa, pesisir, pedalaman, orang rimba, buta aksara?

Samasekali tak ada alasan yang kita punyai untuk menolak berkawan dengan berbagai macam tipe dan strata sosial orang. Apalagi membenci atau tak menyenangi pihak-pihak yang lain. Tuhan tidak menciptakan hitam dan putih untk saling bertentangan.

Tuhan mencipta ilmu agar ilmu itu berfungsi. Bukan terus dikembangkan namun tanpa bukti yang pasti. Tuhan menciptakan baik dan buruk agar manusia paham, bahwa ada ‘buruk’ karena agar ‘baik’ berfungsi. 

Kamis, 14 Agustus 2014

Nginang

Aku selalu senang mendengarkan nenek-nenek bercerita. Apalagi sambil rewel tanya ini itu, seperti kanak-kanak yang senang didongengi. Namanya Mbah Kamsini. Tapi aku biasa memanggilnya Mbok Ni.

Memerhatikan gayanya bercerita adalah yang paling menyenangkan. Memerhatikan gigi-giginya yang masih kuat meski ia sudah berusia tua. Seperti alm. nenek dari keluarga ibu, Mbok Ni suka menginang. Bahkan sejak ia masih muda dulu. Kebiasaan menginang banyak dilakukan nenek-nenek seusianya. Membungkus gambir dan njet dengan lipatan daun sirih, kemudian mengunyahnya sampai halus. Beberapa orang meludah dan membuangnya setelah terkunyah halus, namun ada pula yang kemudian menelannya. Kebiasaan ini biasa dilakukan setiap hari.

Samar-samar aku ingat. Dulu sewaktu berada di rumah nenek, nenek suka nginang di mbale (rumah bagian depan) sambil mengerjakan ini itu yang tak begitu berat. Atau sambil bercengkerama dan bercerita kepada cucu-cucunya. Barangkali, nginang menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu karena khasiatnya yang dapat menguatkan gigi. Dalam ilmu kimia, bahan-bahan untuk menginang memang memiliki khasiat tertentu. Njet misalnya. Endapan dari gamping atau batu kapur ini mengandung kalsium karbonat yang dapat menjadi elemen penguat. Sedangkan gambir sebagai bahan obat tradisional, sebagian orang memanfaatkannya untuk obat batuk. Daun sirih memang terpercaya sebagai penguat gigi.

Menurutnya, Mbok Ni sudah terbiasa nginang sejak ia masih muda, sejak masih jaman Jepang dulu. Waktu itu ia bekerja sebagai buruh pemetik rami, tumbuhan yang batangnya dijadikan serat untuk pembuat tali, jala, dsb. Meskipun dikata waktu itu jaman penjajahan (Jepang), di desa dulu aman, katanya. Tak pernah sedikitpun ada peperangan. Tapi kehidupan berjalan lamban, tak seperti sekarang. Orang-orang juga manut, tak banyak tingkah, tak banyak-banyak maunya.

Meski sekarang tak lagi nginang, tapi gigi-gigi Mbok Ni masih kuat. Rasa gambir sekarang tak enak, katanya. Tak alami. Berjalan kaki ke pasar sambil membawa rinjing di punggung menjadi kebiasaannya setiap pagi. Menjual sayur-sayuran dan kelapa. Orang-orang desa yang berpapasan dengannya dan mengendarai sepeda motor kadang suka mencangkingnya. Meski ia suka pikun dan lupa lelaki mana yang memboncengnya tadi.

Aku selalu senang mendengarkan nenek-nenek bercerita, menceritakan jaman-jamannya dulu. Seperti Mbok Ni. Janda tua yang kini hidup sendiri. Nenek tua yang kuat.


Kelak ketika aku bercengkerama dengan Mbok Ni lagi dan didongenginya lama-lama, aku akan bercerita lagi padamu.

Kamis, 07 Agustus 2014

Memahami ‘maaf’


Ketika kau mengucap ‘maaf’, seyogianya kau paham dari dasar hatimu bahwa ada tekat yang lebih setelah kata itu kau ucap. Seyogianya kau paham, bahwa kata ‘maaf’ hanyalah simbolis. Tanda bahwa kau akan memperbaiki.
 
Seperti halnya momen reuni ataupun halalbihalal. Disana akan kau temui betapa kata ‘maaf’ sangat remeh untuk diucapkan. Namun apa kau paham bahwa Roqib Atid tengah sedang mengawasi dan mencatat amal-amal mereka selanjutnya? Lalu apa gunanya jika setelah kata ‘maaf’ itu kau ucap, kau pulang dengan gelembung-gelembung di dadamu yang akan melunturkan ‘maaf’mu itu. Kau pulang dengan atribut sombong dan pongah yang melekat. Maaf yang mana jika ketika kau pulang, hati dan bibirmu tak henti untuk mencibir (lagi)?

Lalu, apa kau akan berulang-ulang dengan remeh mengucap ‘maaf’, dan kemudian salah khilaf itu tetap saja kau lakukan?

‘Maaf’ hanya perkara simbol, tanda, lambang. Bahwa dengan kata ‘maaf’ yang telah kau ucap, kau mengisyaratkan pada yang lain bahwa kau akan memberi bukti, ada perbandingan sebelum dan setelah ‘maaf’ itu kau ucap.

Sia-sia saja jika ‘maaf’ itu kau ucap namun kau akan mengulangi hal-hal yang sama. Hingga yang ada hanyalah, serentetan ‘maaf’ berulang tanpa makna.