Senin, 05 Oktober 2015

Catatan Semester Akhir (?)

Beberapa hal terjadi begitu cepat, beberapa yang lain justru terasa sangat lambat untuk dijalani. Ini semacam sebuah curhatan hidup, atau setidaknya, curhatan seorang mahasiswi tingkat akhir yang sebetulnya belum bernafsu untuk lulus cepat-cepat. Lulus diwaktu yang tepat, jika tidak bisa dibilang pembelaan, kukira itu lebih baik.
Aku seorang mahasiswi tingkat akhir, yang, untuk bisa membuat orang tua, sanak saudara, dan juga para tetangga kemudian menjadi senang, aku harus segera lulus kuliah dan kerja yang enak dengan gaji yang banyak. Sekarang, di kamar kosku, di dekat kampus di pusat kota Surabaya, untuk kesekian kalinya aku dianugerahi rasa yang begitu malas untuk mengerjakan skripsi. Kenyataan itu harus kuterima di tengah teman-teman yang telah bertebaran menyelesaikan ujian skripsi, telah selesai yudisium, dua gelombang telah usai wisuda malah.
Sekarang, di dalam kamar kosku ukuran 3x4 yang berantakan, aku sedang dikejar deadline. Jangan salah. Apa kau pikir ini deadline skripsi? Selain dianugerahi sebagai mahasiswi tingkat akhir yang belum usai skripsinya, aku juga dianugerahi kesibukan sebagai jurnalis warta kampus, yang dengan itu menyebabkan kemalasanku untuk mengerjakan tugas akhir skripsi semakin menjalar. Oh Tuhan, berilah kekuatan penuh pada hambamu yang sedang dilanda kemalasan mengerjakan skripsi ini.
Skripsi. Kenyataan lapangan yang harus kau terima, siapapun kamu yang memutuskan untuk mau-maunya kuliah. Skripsi. Kenyataan paling empiris yang harus dijalani setiap mahasiswa, entah yang berasal dari anak pejabat, selebriti, musisi, dan siapapun kamu yang telah mau-maunya menghabiskan 4 tahun dalam hidup untuk kuliah. Skripsi. Ibarat beverage yang tetap harus masuk ke perutmu sebelum kamu resmi dinyatakan lulus sebagai sarjana. Tak peduli meskipun kamu telah mendapat pekerjaan dan sebetulnya beratnya menanggung skripsi tak masuk dalam praktik kerjamu. Seperti halnya aku ini.
Aku seorang mahasiswi tingkat akhir. Dulu, di kampus sejak masih semester unyu, aku pegiat pers mahasiswa (persma). Jangan menyebut aktivis kampus. Sebab predikat itu merupakan beban moral tersendiri bagiku. Di persma, kemudian yang kurasakan aku menjadi akrab dengan dunia tulis-menulis. Mengkritisi kehidupan kampus, akademik, progres program kerja kampus, dan berbagai permasalahan lainnya yang kukira waktu itu sangat penting untuk ditelusuri dan diketahui oleh seluruh penduduk kampus.
Di persma, aku kemudian menjadi akrab untuk mengikuti kajian-kajian, pelatihan-pelatihan, mewakili organisasi untuk menghadiri pelatihan yang diadakan persma lain di luar kota dan bahkan luar provinsi. Disana, aku merasa bertemu dengan rekan-rekan yang juga sevisi denganku. Beberapa dari mereka progresif sekali. Ada yang dipanggil dekanat berkali-kali karena tulisan kritiknya. Hingga ada yang pada akhirnya harus drop out dari kampus. Tapi ada hal yang jelas mereka perjuangkan di sana: keadilan dan kemanusiaan. Berkumpul bersama mereka selalu merasa muda dan penuh perjuangan yang heroik bagiku waktu itu.
Menginjak semester akhir, kehidupan persma perlahan kulepaskan. Oleh sebab karena jabatan penting sebagai petinggi organisasi telah dilepas dan harus diganti dengan yang lain untuk melanjutkan proses kaderisasi. Lepas dari persma, aku memutuskan untuk kemudian lebih menekuni kuliahku, setidaknya untuk mulai merencanakan pengerjaan tugas akhir skripsi. Aku bertekad untuk rajin pergi ke perpustakaan, berdiskusi dengan teman dan dosen, membaca buku dan jurnal-jurnal ilmiah. Intinya, aku lebih memperdalam kemampuan akademikku untuk kemudian bisa menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan cepat.
Namun nyatanya aku bukan tipikal mahasiswi yang gemar menatap layar monitor dan membaca buku berjam-jam. Kehidupan flat macam itu sungguh sangat membosankan. Berkutat dengan metode, teori, tenik penelitian, wawancara. Setiap hari tak ada hal lain yang kau pikirkan selain itu. Sungguh, jika berada dalam posisi ini, mungkin kamu akan merasakan hal yang sama denganku. Tak menentu. Kecuali, kau memang seorang akademis akut, yang berambisi untuk segera lulus kuliah, melanjutkan studi, atau segera bekerja, dan menikah. Kecuali kau tipikal orang macam itu.
Bersama skripsi, aku memutuskan untuk mencari kesibukan lain yang dengannya aku tetap bisa mengerjakan tugas akhir. Menjadi jurnalis warta kampus. Ya. Aku memutuskan menjadi jurnalis warta kampus dan menjadi bagian dari humas kampus. Awalnya aku berfikir bahwa ini sangat bertentangan dengan aktivitasku yang pernah menjadi pegiat persma. Menjadi semacam jinak dan patuh terhadap kebijakan yang diberikan kampus. Intinya, ikut membangun kampus bersama-sama mencapai cita-cita. Menghalau segala berita buruk tentang kampus, dan menggantinya dengan prestasi-prestasi yang telah dicapai warga kampus.
Empat bulan pertama aku menjadi kontributor. Bekerja di lapangan hanya jika diminta. Aku tak harus datang ke kantor, apalagi menghabiskan waktu di kantor setiap hari. Dengan menjadi kontributor warta kampus, aku masih punya waktu banyak untuk pergi ke luar kota, berlibur bersama teman-teman, nongkrong. Aku sangat menikmati aktivitasku itu. Tugas akhir skripsi untuk segera lulus?? Tenang. Tetap kukerjakan meski pelan-pelan.
Namun aktivitas menjadi kontributor warta kampus hanya berlangsung empat bulan saja. Selajutnya yang terjadi hingga saat ini adalah aku dikontrak untuk menjadi staf, dan dengan begitu harus mematuhi aturan jam kantor: telah berada di kantor pada pagi hari dan pulang sore harinya. Sungguh, aku kaget awalnya. Aku yang terbiasa tidur pagi dan kadangkala masih suka bangun terlambat, harus mulai menyesuaikan jam kantor, tanpa bisa main-main di hari aktif kerja. Bahkan untuk bisa ngopi di kantin kampus aku harus nyolong-nyolong bersama waktu liputan di luar. Apalagi untuk bisa keluar kota beberapa hari. Hanya sebatas rencana.
Sebagai staf di warta kampus yang telah kujalani tiga bulan ini, selanjutnya yang terjadi adalah aku menjadi akrab untuk mengobrol, atau setidaknya wawancara dengan para petinggi kampus. Mengetahui progres-progres kampus. Ikut berperan menjalankan visi misi kampus. Menjadi malaikat bagi terbukanya akses kampus untuk semakin melebarkan sayap. Dan skripsi?? Menjadi semacam momok yang selalu melayang-layang di Sabtu Mingguku. Oh Tuhan.
Seiring berjalannya waktu, berada di tengah orang-orang yang telah benar-benar ‘bekerja’, terkadang membuatku merasa menjadi lucu ketika di kampus dan mendapati teman-teman yang masih eksis sebagai ‘aktivis’. Teman-teman yang sebagian besar merupakan adik tingkat dengan aktivitas mereka sebagai ‘aktivis progresif kampus’. Mereka yang aktif demo di depan gedung DPR, melakukan aksi di depan rektorat menuntut agar mahasiswa terpenuhi hak-hak pendidikannya sebagai warga negara, konvoi di jalan ketika hari-hari besar nasional, hari buruh misalnya. Aku terkadang merasa menjadi asing dengan aktivitas-aktivitas itu. Tapi memang aktivitas semacam itu, meski tak banyak membuahkan hasil, kukira harus tetap hidup. Dengan merevolusi strategi tentunya.
Dan, kukira selalu ada benarnya kata Tan Malaka: Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.
Sementara itu di lain hal, aku juga harus melihat kenyataan bahwa teman-teman yang telah wisuda beberapa diantaranya belum juga mendapat kerja. Pontang-panting menawarkan keahlian diri ke berbagai perusahaan. Atau, telah mendapat kerja namun tak sesuai dengan keinginan dan passionnya.
Ada juga yang masih mempertahankan status sebagai mahasiswa, dengan dalih ‘masih skripsi’. Bagi mereka, lulus 4 tahun atau 3,5 tahun kurang mendalami ilmu. Terlalu cepat dan instan. SKS yang dibebankan pada mahasiswapun terhitung besar. Sehingga terkadang mahasiswa tak bisa bebas mengikuti ormek dan ormik jika SKS kuliah yang dibebankan tinggi. Golongan mahasiswa macam itu kukira ada benarnya. Tapi terkadang aku curiga. Tidak juga menyelesaikan skripsi karena masih ingin memperdalam ilmu, atau sesungguhnya belum siap dengan kenyataan yang harus diterima ketika lulus nanti? Bekerja, mengabdi, mengaplikasikan ilmu. Bisa jadi belum siap untuk itu.
Kadangkala, aku juga melihat teman-teman aktivis yang dulu dalam ingatanku dengan gagahnya mati-matiaan demo membela hak rakyat, membela kaum proletar, memperjuangkan harga BBM, memperjuangkan hak buruh, telah kendur semangatnya. Lantas bagaimana perjuangannya di kampus dulu? Lantas kemana api yang menyala-nyala di dadanya waktu itu? Hilang begitu saja? Seakan-akan aku melihat di matanya bahwa dunia telah berubah.
Hal yang saat ini seringkali membuatku menjadi sangat rindu adalah ketika mengikuti kegiatan-kegiatan mahasiswa di kampus. Menonton pentas teater. Menonton pertunjukan musik akustik. Musikalisasi puisi. Pembacaan puisi. Drama. Suara mahasiswa ramai bersahut-sahutan di tengah acara. Menyruput kopi. Menyanyi. Menari. Tertawa. Aku selalu rindu momen-momen itu.
Seiring dengan berbagai kenyataan itu, sebagai mahasiswi perantau tingkat akhir, kau pasti tahu apa yang terjadi ketika aku pulang kampung. Seperti momen lebaran yang terjadi beberapa bulan lalu. Orang tua, tetangga, sanak saudara, Pak RT, ibu-ibu arisan. Kau pasti tahu pertanyaan apa yang mereka lontarkan ketika bertemu denganku dimomen-momen silaturahim. Jika berada dalam keadaan begitu, kau mungkin hanya bisa tersenyum, atau mengalihkan pembicaraan ke topik-topik lain seperti yang kulakukan.
Sementara itu, sampai saat ini, ibu adalah sosok paling malaikat yang paling tidak bisa membuatku untuk berkata ‘tidak’. Ibu. Makhluk paling ajaib yang paling bisa memadamkan api yang membara didada yang telah siap meletus kapanpun kau mau. Ibu. Adalah makhluk paling segalanya yang ketika aku berniat untuk ijin memperpanjang studimu dan dia hanya pelan berkata ‘segera selesaikan skripsmimu’. Jika sudah begitu, aku bisa apa??

Kapan sidang skripsi?
Kapan wisuda?

Mana pasanganmu? - - - - - - - - - - -

Rabu, 12 Agustus 2015

Untuk kali ini,


Untuk kali ani biarkan aku merindunya.
Berenang ke tepian pantai,
Berbasahan,
Merasakan jingganya senja.
Memanggul tas carrier,
Kedinginan,
Membeku di ketinggian.
Merasakan bau-bau angkutan umum,
Pulang tengah malam,
Bau apak di badan.

Selasa, 16 Juni 2015

“Samin VS Semen” : Rekam Jejak Perlawanan Masyarakat Suku Samin Terhadap Industrialisme


Samin VS Semen merupakan film dokumenter garapan Dandhy Laksono yang keluar pada awal 2015. Film berdurasi 39 menit 25 detik ini mengisahkan masyarakat suku Samin di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang mendiami pegunungan karst Kendeng. Mereka para penganut ajaran Samin menolak dibangunnya industri Semen Gresik dan Indocement Group. Film ini mengambil latar di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Pati dan Rembang (Jawa Tengah, serta Kabupaten Tuban (Jawa Timur).
Di awal film digambarkan para ibu-ibu yang memblokade jalan menolak diadakannya pembangunan pabrik semen. Kawasan Rembang tempat mereka tinggal, akan beralih fungsi menjadi kawasan tambang semen. Kawasan tersebut merupakan kawasan karst, yang dalam analisis lingkungan sangat perlu untuk tidak dirusak. Masyarakat menolak dengan keras dibangunnya industri semen, karena pegunungan dan perarian yang akan dijadikan lahan industri adalah tumpuan hidup mereka.

Kearifan Lokal Masyarakat Samin
Samin atau yang juga akrab dikenal dengan masyarakat ‘Sedulur Sikep’ adalah suku yang mendiami daerah Pati dan Rembang. Masyarakat suku Samin hidup dari alam yang mereka tinggali, dan memenuhi segala kebutuhan hidup dari alam tempat mereka tinggal. Kebutuhan mereka setiap hari adalah untuk bertani. Maka, lahan dan perarian merupakan jantung hidup masyarakat Samin di Pati. Bagi mereka, hidup tidak untuk mengejar pangkat yang tinggi atau harta yang melimpah ruah. Cukuplah bahwa mereka mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Menutut pandangan hidup masyarakat Samin, yang terpenting bagi manusia adalah berkelakuan baik serta memiliki ucapan yang baik pula. Maka, mereka juga tidak memerlukan sekolah formal. Karena bagi mereka sekolah formal hanya akan mengejar pangkat dan kedudukan, sehingga orang-orang berpendidikan tinggi yang pintar justru justru nantinya banyak yang malah minteri orang-orang di sekitarnya.

Dampak Lingkungan
Menurut Rere, seorang aktivis WALHI di Jawa Timur, kawasan karst sangat penting terhadap kelangsungan keseimbangan alam, karena karst dapat menyimpan air dalam skala yang besar. Perarian merupakan kekayaan alam yang menopang sebagian besar kebutuhan masyarakat rembang. Baik bertani, beternak, maupun mencukupi segala kebutuhan rumah tangga. Selain itu juga, dalam segi lingkungan, kawasan karst menjadi kawasan yang dapat menanggulangi banjir dalam skala besar.

Propaganda Film
Menurut ukuran film-film dokumenter yang banyak beredar, film Samin VS Semen tergolong film yang singkat. Jika diamati film ini dapat dilihat sebagai alat propaganda. Apalagi, film ini digarap dengan satu sudut pandang: masyarakat Samin. Juga memang tak dimunculkan suara-suara dari pihak industri Semen Gresik dan Indocement Group sebagai suara yang mengimbangi atau menjawab penolakan-penolakan dari masyarakat Samin. Samar-samar, dapat dibaca bahwa film ini mengajak masyarakat agar ikut peduli terhadap ancaman mengrusakan yang terjadi di wilayah di Pati.
Film ini juga menjadi bahan diskusi dan kajian di beberapa wilayah di Indonesia, di kampus-kampus utamanya. Film sempat menjadi kontroversi. Bahkan dii salah satu universitas ternama di Malang, film ini dilarang diputar dengan berbagai alasan. Tak ayal, pelarangan pemutaran tersebut membuat berbagai aktivis dan kelompok masyarakat ikut geram. Institusi besar dengan payung perguruan tinggi negeri, semestinya ikut andil dalam wacanan pengrusakan lingkungan hidup yang sedang diperjuangkan masyarakat suku Samin.
Kejadian di Rembang ini sesungguhnya dapat menjadi refleksi besar terhadap situasi yang terjadi di Indonesia. Bahwa pemerintah telah abai, membiarkan gelontoran investasi besar-besaran tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat. Jika Rembang tidak dapat dijadikan contoh penyelamatan lingkungan hidup, dengan keluarnya ijin pembangunan kawasan industri tambang, maka hal tersebut berkemungkinan besar akan menjadi insiden di banyak tempat, bahwa gelontoran infestasi mengabaikan keselamatan rakyat.
“Rembang memang bukan wilayah dari Jawa Timur, namun kerusakah lingkungan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi”, seperti diungkapkan Rere, aktivis WALHI, mengenai pentingnya konsolidasi besar dari gerakan masyarakat Jawa Timur.

Methik Pari ‘Mbok Sri Sedono’


Ketika pulang kampung, selalu ada hal-hal unik yang dulunya seakan biasa saja. Namun setelah sedikit memperoleh pemahaman tentang tradisi Jawa, ternyata ada hal-hal tak biasa yang mencoba dipertahankan oleh sebagian orang. Seperti di kampungku. Tradisi ini mungkin banyak terjadi di kampung-kampung di belahan kota di tanah Jawa, tapi hanya sebagian saja yang masih memegang teguh. Ialah Methik Pari.

Mar Musriatun, atau yang lebih akrab kupanggil Lek Tun. Sungguh, perempuan Jawa yang telah berusia 72 tahun dan tetap masih ethes sampai saat ini. Bagiku, ia sosok perempuan Jawa cerewet yang inginnya selalu perfect: dalam segala hal. Mempertahankan warisan tradisi orang tua dan nenek moyangnya terdulu adalah suatu keharusan baginya. Meski jaman telah maju dan hal-hal yang bersifat mistis mulai ditinggalkan oleh sebagaian besar masyarakat, namun bagi Mbah Tun adate wong kuno harus tetap dipegang. Ialah Methik Pari.

Pari atau padi merupakan makanan pokok masyarakat. Sebagai makanan pokok, padi yang ditanam haruslah berkualitas bagus, panen dengan hasil yang maksimal, serta menjadi beras yang bagus dan mengenyangkan ketika dimakan. Karena faktor-faktor itulah, selamatan diadakan. Menurut Mbah Tun, sawah adalah lahan yang juga memiliki penunggu. Untuk itu segala hal yang berkaitan dengan menanam dan juga memanen bahan makanan pokok di sawah, harus diselamati. Selamatan ini juga bertujuan untuk membayar si empunya sawah karena telah menjaga sawah dan tanaman yang menacap di dalamnya.

Methik pari dilaksanakan ketika padi telah berusia hampir tiga bulan. Yaitu ketika padi mulai berisi, dan tak lama kemudian tinggal menunggu waktu untuk memanen. Hari dan tanggal yang digunakan untuk methik pari harus dipilih hari yang bagus, dan merupakan hari dan pasaran yang sama dengan ketika padi ditanam. Yaitu dicarikan hari pas tibo uwoh. Tibo uwoh maksudnya adalah hari pada penanggalan Jawa yang dipercaya bagus, agar uwoh atau buah yang akan dipetik nantinya berkualitas bagus dan panen melimpah.

Ketika akan dilaksanakan methik pari, bahan-bahan pun disiapkan, yaitu berupa sesaji yang berupa pisang raja, kelapa, dan empat buah cok bakal. Cok bakal merupakan takir kecil yang terbuat dari daun kelapa dengan berisikan telur ayam jawa, teri, miri, ketumbar, merica, garam, gula merah, bawang merah, bawang putih, cabai, tembakau, uang, gantalan (daun sirih yang dipelintir), dan juga kembang boreh. Selain cok bakal, yang tak boleh tertinggal adalah janur (daun kelapa muda), dadap, daun pulutan, sisir, kendhi kecil berisi air, tikar berukuran kecil, dan badhek (air dari pembuatan tape). Sesaji yang akan digunakan haruslah pepak, maksudnya komplit, tak kurang satupun.

Setelah semua kelengkapan siap, berbagai sesaji tersebut dibawa ke sawah tempat padi yang telah menguning berisi. Ke empat cok bakal yang telah lengkap dengan isi-isinya masing-masing diletakkan pada keempat pojok sisi sawah. Air di dalam kendi dikucurkan ke sawah. Setelah mengucap salam, pemilik sawah mengucap mantra: Mbok Sri Sedono kowe tak rujaki, oyot kawat wito wesi, kembang emas woho inten, bakale balik nyang tarub Agung. (Artinya: Mbok Sri Sedono, kamu saya rujaki, berakarlah kawat berdahan besi, berbunga emas berbuahlah intan. Pulanglah kepada Yang Agung). Demikian mantra tersebut dirapalkan.

Setelah berbagai ritual yang dilakukan di sawah selesai, pemilik sawah pulang ke rumah dan mempersiapkan untuk selamatan kenduri. Selamatan ini biasanya mengundang para tetangga untuk datang, namun terkadang hanya cukup dengan membagikan berkat/takir kepada tetangga-tetangga terdekat. Jenang merah dan buceng juga piranti kenduri yang tidak boleh terlewat.

Padi dalam adat kepercayaan orang-orang Jawa dinamakan dengan Mbah Sri Sedono. Mbah Sri Sedono sebagai sumber penghidupan diyakini hidup dalam butiran-butiran padi. Sebab itulah orang Jawa harus open (tidak menyia-nyiakan). Terhadap padi, beras, atau yang telah menjadi nasi sekalipun, pantang untuk dibuang-buang. Karena membuang berarti pula menyia-nyiakan Mbah Sri Sedono.

Sampai saat ini, berbagai tradisi Jawa yang diperoleh dari orang tua dan neneek moyang masih teguh dipegang oleh Mbah Tun. Piranti sesaji pun harus pepak, tak ada yang boleh terlewat. Berdasarkan pengalaman yang pernah dilalui, ayahnya pernah kejang-kejang ketika dalam acara pernikahan yang diselenggarakan oleh tetangganya. Sang ayah yang diperaya menyiapkan segala sesaji kejang-kejang dan merintih kehausan. Ketika ditelisik, ternyata ada salah satu piranti sesaji yang terlewat, yaitu badek. Sejak pengalaman itu tradisi Jawa tak pernah ia tinggalkan.

“Sanajan sepele, mbebayani lek ora genep”, tuturnya.

Minggu, 11 Januari 2015

Sebelum 'Mati'

Kita pernah pergi
Tapi bagaimanapun hangatnya jalanan,
aku selalu ingin pulang,
dipelukmu dalam-dalam
Untuk itulah aku tak bisa berhenti mencintaimu

Aku tak bisa mengungkapkannya manis-manis
Aku sedang gila
Tapi kau harus tau, aku mencintaimu
Kau harus tau, sebelum aku lupa cara untuk mengungkapkannya

Aku tak akan bilang aku takut, sayang
Bagaimana mungkin kita takut pada hal-hal yang telah pasti??
Mungkin kita akan terbunuh dan mati perlahan
Tapi kau harus tau, aku mencintaimu

Senin, 05 Januari 2015

Diamlah!!

Kita akan duduk di bawah trembesi itu.
Memandang keramaian,
kanak-kanak yang tertawa-tawa berlarian berkejaran.
Kita ada di sana.

Akan menjawab semua tanya bahwa lelah tak akan terjawab degan perjumpaan yang manis-manis.

Begitupun aku.

Kita duduk lama-lama,
tapi tak akan banyak yang kita lakukan disana
: kau lelah.



Pergi dari lelaki satu dan lari dengan lelaki yang lain hanya akan mematikanmu.
Tenanglah. Diamlah. Rasakan kelunya.