Ketika kau mengucap ‘maaf’, seyogianya kau paham dari dasar hatimu bahwa ada tekat yang lebih setelah kata itu kau ucap. Seyogianya kau paham, bahwa kata ‘maaf’ hanyalah simbolis. Tanda bahwa kau akan memperbaiki.
Seperti
halnya momen reuni ataupun halalbihalal. Disana akan kau temui betapa kata
‘maaf’ sangat remeh untuk diucapkan. Namun apa kau paham bahwa Roqib Atid tengah
sedang mengawasi dan mencatat amal-amal mereka selanjutnya? Lalu apa gunanya
jika setelah kata ‘maaf’ itu kau ucap, kau pulang dengan gelembung-gelembung di
dadamu yang akan melunturkan ‘maaf’mu itu. Kau pulang dengan atribut sombong
dan pongah yang melekat. Maaf yang mana jika ketika kau pulang, hati dan
bibirmu tak henti untuk mencibir (lagi)?
Lalu,
apa kau akan berulang-ulang dengan remeh mengucap ‘maaf’, dan kemudian salah khilaf
itu tetap saja kau lakukan?
‘Maaf’
hanya perkara simbol, tanda, lambang. Bahwa dengan kata ‘maaf’ yang telah kau
ucap, kau mengisyaratkan pada yang lain bahwa kau akan memberi bukti, ada perbandingan
sebelum dan setelah ‘maaf’ itu kau ucap.
Sia-sia
saja jika ‘maaf’ itu kau ucap namun kau akan mengulangi hal-hal yang sama.
Hingga yang ada hanyalah, serentetan ‘maaf’ berulang tanpa makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar