Minggu, 25 September 2016

Menelpon ibu adalah satu-satunya cara untuk menemukan kewarasan

Bagaimanapun, aku adalah gadismu yang selalu butuh kau jewer, Bu.

Sekitar dua minggu yang lalu aku memutuskan untuk membelikan ibu handphone. Sebab, adik yang biasanya kutelpon ketika aku kangen dan ingin ngobrol dengan ibu, kini sudah mulai menetap di Malang untuk melanjutkan sekolah.

Meskipun sudah memegang handphone, ibu bukan tipe orang yang terbiasa mengobrol tanpa bertatap muka secara langsung. Bukan hanya dengan aku, dengan siapa saja. Bahkan hingga dua minggu ini, Ibu masih suka kesulitan ketika akan menelponku dengan ponselnya yang kubeli sengaja bukan bertipe smartphone. Alhasil, aku lah yang kemudian bilang, “Ibu, aku saja yang menelpon. Ibu tidak usah menelpon,” kataku.

Komunikasi kita tidak diciptakan bagus melalui alat-alat elektronik yang cangggih. Bahkan, ketika teman-temanku yang lain sudah terbiasa menghubungi orangtua mereka melalui aplikasi canggih semacam whatsapp, BBM, hingga facebook, aku dan ibu masih saja orang yang canggung jika harus mengobrol lewat telepon.

Sebab itu, ibu lah yang lebih sering menutup telepon terlebih dahulu ketika aku menelpon. Tapi beberapa waktu ini aku selalu merengek, seperti kemarin, meminta agar kita mengobrol lebih lama lagi. Padahal tidak ada percakapan yang begitu diantara kami. Aku hanya bertanya hal-hal yang remeh; apa masakan yang ibu olah, sedang kemana bapak, adakah yang mengantar ibu ke pasar, dan hal-hal biasa lainnya.

Namun begitu, hingga saat ini, kuakui menelpon ibu adalah satu-satunya caraku menemukan kewarasan. Berada jauh dari ibu, tak kurang dari 150 kilometer, membuatku menemukan apa-apa yang hilang setelah beberapa detik mendengar ibu bersuara. Setelah menelpon ibu, aku bisa saja sekaligus menjadi rajin, semangat bekerja, tidak malas-malasan salat dan ngaji, dan hal-hal waras lainnya.

Ibu. Aku selalu rindu saat-saat bersamamu. Aku selalu sedih ketika pulang dan mendapati ibu yang mulai keriput. Aku lantas bilang, “Ibu jangan keriput dulu,” kataku sambil mengusap pipinya. Tapi ibu lantas hanya tertawa dan memelukku. Kitapun tertawa.

Jangan mengkhawatirkanku, Bu. Biar aku saja yang mengkhawatirkanmu. Biar semua orang tahu, aku dan anak-anakmu yang lain tidak pernah membuatmu khawatir.

Surabaya, 27 September 2016
Tertanda,

Gadismu yang tak pernah berhenti merindukanmu