Senin, 25 Agustus 2014

Sekapur Sirih Mengenal Tuhan dan Perbedaan

Ada pepatah pernah bilang, “Dunia ini seperti buku. Mereka yang tak membaca seluruhnya, hanya akan berhenti pada satu lembar saja”

Terkadang, dalam banyak hal kita sangat tidak sopan dalam menilai orang lain. Menilai dari kaca mata pribadi. Yang lebih buruk lg, menaruh prasangka tak baik karena beberapa hal tanpa menilainya dari sebab dan sudut pandang tertentu. Seringkali kita lebih pilih-pilih dalam beteman atau menjalin relasi dengan orang lain. Kita terlalu angkuh untuk mau rendah hati.

Aku ingat, dulu waktu masih berada di bangku sekolah, orang-orang tua suka sepihak dalam menilai orang lain. Memberi arahan untuk jangan berteman dengan si A karena alasan tertentu. What the hell, honey??

Tuhan menilai tingkat ketaatan seseorang beda-beda, berdasarkan dari ‘strata’ mana ia. Maka, kadang dalam cerita nabi, ada ketaatan seorang yang sudah melangit, namun itu semua gugur babar bar hanya karena secuil sebab. Tak ada yang menjamin kebenaran yang diakui banyak orang adalah juga mutlak kebenaran Tuhan.

Bukan yang tiap hari pergi ke masjid, taat sembahyang, tapi buta perbedaan.

Seorang muslim selalu disarankan untuk berkumpul dan bergaul dengan sesama muslim lainnya. Karena dengan begitu, tingkat ‘keimanan’ akan terjaga dan selalu bertambah. Namun, tak ada alasankah baginya untuk mengenal pelacur, pemabuk, seniman, pecandu?? Adakah alasan lain agar tak harus ada kata ‘menghindar’??

Seorang yang kaya atau pengusaha mungkin dianjurkan untuk bergaul dengan sesamanya, kelompok-kelompok elit dan ternama. Karena dengan begitu, mereka mampu membangun relasi dan mengembangkan yang ia miliki. Namun, tak ada alasankah baginya menyentuh rakyat-rakat jelata?? Kelompok minoritas.

Seorang intelek dalam perjalanannya mungkin akan selalu bergaul dengan sesamanya. Kelompok terpelajar yang akan mengenyam bangku-bangku pendidikan. Karena dengan begitu, tingkat keilmuannya akan bertambah. Tak ada alasankah baginya untuk menyentuh orang-orang desa, pesisir, pedalaman, orang rimba, buta aksara?

Samasekali tak ada alasan yang kita punyai untuk menolak berkawan dengan berbagai macam tipe dan strata sosial orang. Apalagi membenci atau tak menyenangi pihak-pihak yang lain. Tuhan tidak menciptakan hitam dan putih untk saling bertentangan.

Tuhan mencipta ilmu agar ilmu itu berfungsi. Bukan terus dikembangkan namun tanpa bukti yang pasti. Tuhan menciptakan baik dan buruk agar manusia paham, bahwa ada ‘buruk’ karena agar ‘baik’ berfungsi. 

Kamis, 14 Agustus 2014

Nginang

Aku selalu senang mendengarkan nenek-nenek bercerita. Apalagi sambil rewel tanya ini itu, seperti kanak-kanak yang senang didongengi. Namanya Mbah Kamsini. Tapi aku biasa memanggilnya Mbok Ni.

Memerhatikan gayanya bercerita adalah yang paling menyenangkan. Memerhatikan gigi-giginya yang masih kuat meski ia sudah berusia tua. Seperti alm. nenek dari keluarga ibu, Mbok Ni suka menginang. Bahkan sejak ia masih muda dulu. Kebiasaan menginang banyak dilakukan nenek-nenek seusianya. Membungkus gambir dan njet dengan lipatan daun sirih, kemudian mengunyahnya sampai halus. Beberapa orang meludah dan membuangnya setelah terkunyah halus, namun ada pula yang kemudian menelannya. Kebiasaan ini biasa dilakukan setiap hari.

Samar-samar aku ingat. Dulu sewaktu berada di rumah nenek, nenek suka nginang di mbale (rumah bagian depan) sambil mengerjakan ini itu yang tak begitu berat. Atau sambil bercengkerama dan bercerita kepada cucu-cucunya. Barangkali, nginang menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu karena khasiatnya yang dapat menguatkan gigi. Dalam ilmu kimia, bahan-bahan untuk menginang memang memiliki khasiat tertentu. Njet misalnya. Endapan dari gamping atau batu kapur ini mengandung kalsium karbonat yang dapat menjadi elemen penguat. Sedangkan gambir sebagai bahan obat tradisional, sebagian orang memanfaatkannya untuk obat batuk. Daun sirih memang terpercaya sebagai penguat gigi.

Menurutnya, Mbok Ni sudah terbiasa nginang sejak ia masih muda, sejak masih jaman Jepang dulu. Waktu itu ia bekerja sebagai buruh pemetik rami, tumbuhan yang batangnya dijadikan serat untuk pembuat tali, jala, dsb. Meskipun dikata waktu itu jaman penjajahan (Jepang), di desa dulu aman, katanya. Tak pernah sedikitpun ada peperangan. Tapi kehidupan berjalan lamban, tak seperti sekarang. Orang-orang juga manut, tak banyak tingkah, tak banyak-banyak maunya.

Meski sekarang tak lagi nginang, tapi gigi-gigi Mbok Ni masih kuat. Rasa gambir sekarang tak enak, katanya. Tak alami. Berjalan kaki ke pasar sambil membawa rinjing di punggung menjadi kebiasaannya setiap pagi. Menjual sayur-sayuran dan kelapa. Orang-orang desa yang berpapasan dengannya dan mengendarai sepeda motor kadang suka mencangkingnya. Meski ia suka pikun dan lupa lelaki mana yang memboncengnya tadi.

Aku selalu senang mendengarkan nenek-nenek bercerita, menceritakan jaman-jamannya dulu. Seperti Mbok Ni. Janda tua yang kini hidup sendiri. Nenek tua yang kuat.


Kelak ketika aku bercengkerama dengan Mbok Ni lagi dan didongenginya lama-lama, aku akan bercerita lagi padamu.

Kamis, 07 Agustus 2014

Memahami ‘maaf’


Ketika kau mengucap ‘maaf’, seyogianya kau paham dari dasar hatimu bahwa ada tekat yang lebih setelah kata itu kau ucap. Seyogianya kau paham, bahwa kata ‘maaf’ hanyalah simbolis. Tanda bahwa kau akan memperbaiki.
 
Seperti halnya momen reuni ataupun halalbihalal. Disana akan kau temui betapa kata ‘maaf’ sangat remeh untuk diucapkan. Namun apa kau paham bahwa Roqib Atid tengah sedang mengawasi dan mencatat amal-amal mereka selanjutnya? Lalu apa gunanya jika setelah kata ‘maaf’ itu kau ucap, kau pulang dengan gelembung-gelembung di dadamu yang akan melunturkan ‘maaf’mu itu. Kau pulang dengan atribut sombong dan pongah yang melekat. Maaf yang mana jika ketika kau pulang, hati dan bibirmu tak henti untuk mencibir (lagi)?

Lalu, apa kau akan berulang-ulang dengan remeh mengucap ‘maaf’, dan kemudian salah khilaf itu tetap saja kau lakukan?

‘Maaf’ hanya perkara simbol, tanda, lambang. Bahwa dengan kata ‘maaf’ yang telah kau ucap, kau mengisyaratkan pada yang lain bahwa kau akan memberi bukti, ada perbandingan sebelum dan setelah ‘maaf’ itu kau ucap.

Sia-sia saja jika ‘maaf’ itu kau ucap namun kau akan mengulangi hal-hal yang sama. Hingga yang ada hanyalah, serentetan ‘maaf’ berulang tanpa makna.

Rabu, 06 Agustus 2014

Adakah dedemit yang diciptakan untuk mengganggu dan mencampuri urusan manusia sehingga menciptakan kegelisahan??



Ada cerita dari kampungku. Dusun Selorejo, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Ada dua orang tetangga, seorang janda yang sudah tua, Bulek Umi aku biasa menyapanya. Dan seorang duda yang kira-kira usianya hampir mendekati 50 tahun, Pak Nardi namanya. Keduanya tak pernah akur sejak dulu. Bukan selalu bertengkar, namun tak pernah menegur sapa. Jalarannya, Pak Nardi pernah cinta mati dengan putri Bulek Umi, Mbak Mey, yang kini sudah menikah dan sudah memiliki momongan. Kalau kata orang kampung, secara pemikiran Pak Nardi itu nggak genep, katanya. Sudah ditolak tapi masih nguber-nguber

Pak Nardi yang memiliki perawakan pendek kecil dan pernah memiliki sakit yang tidak wajar, memang sejak dulu mengharapkan cinta Mbak Mey. Ia suka dengan tiba-tiba membelikan baju, kue-kue lebaran, dan berbagai perabot rumah tangga lainnya, meskipun pada akhirnya selalu ditolak. Padahal, Mbak Mey dan keluarganya sudah menunjukkan sinyal-sinyal ketidaksukaannya. Sudah menolak mentah-mentah malah, meski tidak dengan cara yang kasar.

Siang tadi, Bulek Umi datang ke rumah. Mengembalikan tikar yang beberapa waktu lalu dipinjam karena ada yasinan di rumahnya. Disela-sela obrolannya dengan ibu, Bulek Umi bercerita bahwa kemarin sore Pak Nardi datang ke rumahnya memberikan surat keterangan duda. Sebagai bukti bahwa ia serius pada Mbak Mey. Ketika itu, yang menerima surat adalah Ira, cucu Bulek Umi yang masih berusia TK. Betapa terkejut bukan kepalang Bulek Umi. Tapi setelahnya, ia anggap biasa saja. Karena sudah terlalu sering kegilaan macam itu ditunjukkan oleh Pak Nardi.

Lain cerita, tetanggaku yang bernama Pak Sumari dan merupakan teman dekat Pak Nardi, beberapa kali pernah mendapat pengakuan dari Pak Nardi. Beberapa diantaranya adalah Mbak Mey pernah malam-malam datang kerumahnya, dengan hanya memakai kemben, dan mengajaknya tidur sekamar, katanya. Padahal menurut Mbak Mey, ia samasekali tak pernah merasa melakukannya. Memang sulit dipercaya seorang Mbak Mey, yang bisa dikata agamis dan memiliki paras cantik tinggi, melakukan hal sedemikian. Kata orang-orang kampung, itu dedemit yang menjelma Mbak Mey.

Rumah Pak Nardi memang singlu, kataku. Pak Nardi yang hanya tinggal sendiri memiliki rumah kecil setangkep, yang masih dikelilingi tegalan-tegalan (tanah tak terpakai yang banyak ditanami pohon-pohon dan banyak tumbuh tanaman-tanaman liar). Rumah itu tanpa aliran listrik, menggunakan penerangan ublek (penerangan dari api yang memanfaatkan minyak gas sebagai bahan bakar) dan hanya ditempati pada malam hari karena ia bekerja di proyek pembangunan perumahan sejak pagi hingga petang hari.

Aku masih ingat, dulu waktu masih SD, ada sumur tua di depan rumah Pak Nardi. Karena sudah tidak dipakai, sumur yang masih hidup dan masih mengeluarkan sumber air itu ditimbun dan digunakan untuk membuang sampah-sampah juga pakaian-pakaian bekas. Padahal, menurut kepercayaan orang-orang tua di kampung, sumur yang masih mengeluarkan sumber air tidak boleh ditimbun begitu saja. Karena sumur yang masih hidup menyimpan aliran air, memberi sumber penghidupan.

Kini, bahkan setelah Mbak Mey menikah dan telah memiliki anak, Pak Nardi masih saja memendam rasa, bahkan menceritakannya pada tetangga-tetangga. Padahal keluarga Bulek Umi tak pernah menaruh tanya atau srawung dengan Pak Nardi. Karena jika itu terjadi, dapat dipastikan Pak Nardi akan semakin berulah jika keluarga Bulek Umi menunjukkan, setidaknya, sedikit keramahan atau kepedulian terhadapnya.

Di kota-kota besar mungkin tidak akan ada cerita-cerita semacam ini. Cerita mengenai dedemit, lelembut, roh halus, medhon, dan lain sebagainya. Tapi di kampungku, cerita semacam ini hidup dan diyakini oleh sebagian masyarakat. Mengenai Pak Nardi, orang-orang kampung suka berkata: itu dedemit yang suka mengganggu, katanya.

Wallahua’lam..

Selasa, 05 Agustus 2014

Seorang yang mencintaimu tidak akan membiarkanmu menunggu terlalu lama

Seorang yang mencintaimu tidak akan membiarkanmu menunggu terlalu lama.

Seorang yang kau cintai serupa angin. Merasa dalam dadamu namun tak pernah dapat sungguh kau dekap. Di seberang, kau hanya selalu menunggu. Berharap rasa yang Tuhan tiupkan padamu, seperti kali pertama ketika kau jatuh cinta pada matanya, tak pernah salah. Berdoa, ia yang selalu dalam perjalanan, akan menjemputmu dan menggenapkan perjalanannya untuk pulang bersamamu.

Kau tahu, mencintanya tak serupa mentari, yang tak pernah lupa mengirim hangat pada bumi. Betapa menunggunya serupa musim yang mengalami fluktuasi. Kau hanya selalu pulang sendiri dengan senyum kelu. Seraya berdoa, hukuman Tuhan akan segera dicabut dari ragamu.

Apakah kau sedang sungguh-sungguh mencintai? Kau bahkan tak paham sungguh apa itu cinta. Yang kau paham hanya cinta ayah ibumu. Mereka yang masih bersama hingga hari ini 34 tahun lebih sekian. Mereka yang tak pernah saling mendahului, namun saling mengerti dan melengkapi. Mereka yang tidak dalam kebersamaan, kemudian dengan manis saling mencari. Mereka yang samasekali tak pernah mengucap ‘aku mencintaimu’ namun cinta itu tercermin dalam setiap urusannya dengan keluarga dan anak-anaknya. Mereka yang mencintai, dengan lugu dan setia.

Heii.. tenanglah. Rasakan kelunya. Kau hanya sedang mengharapakan seseorang yang tak sedang bersungguh-sungguh ingin datang kepadamu.

Ketika kau belum yakin, kau menunggunya untuk menggenapkan keyakinanmu namun ia tak juga kunjung datang: maka lepaskan.

Menyepi, 5 Agustus 2014

Senin, 04 Agustus 2014

Hidup Tak Melulu Tentang Rizki dan Materi, Ada Pula Tentang Prinsip

Apa yang kau pikirkan semenjak kau dewasa? Setidaknya, semenjak kau lepas dari orang tua. Perihal urusan hidup dan keseharianmu. Perihal keinginan dan harapanmu. Perihal semua hal yang menyangkut keberlangsungan hidupmu.

Kau yang kini memiliki kebebasan lebih. Menanggalkan seragam sekolah. Jam belajar yang bebas. Kau mulai paham: setiap orang adalah guru, setiap peristiwa adalah ilmu, dan setiap perjalanan adalah proses belajar. Kau yang kini memiliki kemampuan bebas untuk memilih, menerima, juga menolak. Kau yang kini mampu membaca, bukan hanya membaca buku, namun juga membaca lingkunganmu. Kaupun mulai paham, bahwa pendidikan tinggi hanyalah lantaran untuk mencari penghidupan. Belajar tentang bagaimana hidup akan kau cari dan kau temukan sendiri. Di luar.

Kau yang telah menemukan banyak hal. Tentang alam yang menyimpan ribuan kekayaan, gunung, bukit, pantai, laut, hutan, suku anak dalam, tari, reyog, kesenian daerah, adat istiadat, kepercayaan. Kau pun mulai menemukan betapa kaya mitologi nenek moyangmu. Kau kemudian paham, betapa banyak orang yang tak memiliki kesadaran memiliki, mencintai, memahami perbedaan. Pun betapa banyak orang yang hidup hanya di dunianya sendiri: sekolah tinggi, bekerja mapan, mencari banyak uang, kaya (sendiri).

Sebagian darimu akan memilih kebiasaan seperti: pergi ke gunung berhari-hari, bebas mengunjungi ombak di pantai, ngopi di angkringan hingga dini hari, bermalasan membaca tumpukan buku-buku yang menyimpan jutaan ilmu. Kau akan tahu banyak hal: bahwa hidup tak hanya tentang rizki dan materi, ada pula tentang prinsip. Prinsip yang kau tentukan sendiri.

Lama-kelamaan, kau akan merasa betapa banyak kemunafikan yang dilakukan orang-orang disekitarmu. Kau juga mulai paham, betapa banyak buku beredar namun tak dapat mencerdaskan masyarakat. Betapa semakin banyak dan mudah alat komunikasi namun kita semakin tak dapat menemukan alat komunikasi mana yang cocok untuk digunakan. Betapa kecanggihan alat komunikasi justru seringkali menjauhkan kita dengan orang-orang terdekat.

Beberapa kesibukan membosankan akan kau temukan sebagai pilihan orang-orang tua (dewasa?). Pegawai? Waktumu akan terbatasi oleh rutinitas dan jam-jam yang membosankan. Bertemu dengan orang-orang yang tak sepenuh hati bergelut di bidangnya, hingga yang ia kerjakan hanyalah kewajiban-kebajiban yang dikerjakan ala kadarnya.

Beberapa cita-cita akan mulai terfikir olehmu. Mendirikan taman baca untuk anak-anak di kampung. Kau bisa mengawasinya dan bermain bercerita bersama mereka. Mendirikan kedai kopi di pinggiran kota. Kedai kopi unik yang menjadi langganan tempat diskusi. Yang menyajikan racikan kopi-kopi dari berbagai kota. Dan, pada akhir pekan, kedaimu biasa menghadirkan musisi-musisi keroncong dan jazz sebagai pilihan musik yang kau senangi. Satu hal yang pasti yang akan kau dapat, kesibukanmu tak akan membatasimu: nggunung, mantai, tak terbatas tanggal dan waktu.

Kaupun sempat terbersit pikiran, menghabiskan waktumu di tempat dan pulau terpencil, belajar bersama anak-anak rimba, menjadi bagian dari proses kembang mereka, dan kau akan menyaksikan anak-anak didikmu menjadi orang yang hebat, yang cerdas, yang mampu membangun negeri tanpa jajahan orang asing. Hidup sederhana, member pemahaman, memahami perbedaan, menciptakan kebahagiaan untuk banyak orang. Betapa tak ada yang lebih membahagiakan.

Namun, apakah hidup cukup seperti itu??

Hari-hari ini, saat momen lebaran itu datang, kau akan banyak dituntut oleh keadaan. “Bagaimana Menjadi Orang”. Kau pun mulai berfikir, bahwa hidup tak hanya tentang kebebasan dan idealisme pribadi. Saudara dari ayah ibumu, dari kakek nenekmu, lingkungan ternyata menuntutmu untuk menjadi pribadi yang mampu bermasyarakat, mampu menjalin kerjasama dengan orang lain yang tak seide denganmu. Ketika bertemu dengan anak-anak kecil yang manis dan lucu, sepaket dengan orangtua yang hebat yang pandai bermasyarakat dengan hangat, kaupun mulai membayangkan bahwa kelak kau juga akan mengalami hal yang sama. Pilihan yang aman dan banyak menjadi idaman: mereka yang banyak harta tapi tetap rendah hati. Betapa amannya!

Kemudian kau akan sadar: kenyataan yang ada di sekitarmu, tak sesuai dengan idealisme pribadimu.

***

Aku mencintai negaraku, Indonesia. Dari sana aku tumbuh, mengenalinya, mecintainya, seisinya.

Akan menjadi manusia seperti apa kau, apa yang akan kau berikan untuk negerimu, semua ada di genggamanmu. Hidup tak melulu tentang apa yang didambakan orang banyak. Namun juga tentang satu hal: prinsip.

Tak ada kebenaran yang sejati. Kebenaran hari ini bisa saja diganti kebenaran-kebenaran yang lain di kemudian hari. Karena kebenaran mutlah hanya milik Allah SWT.


Syawal, hari ke 8, th 2014 M