Jumat, 09 Februari 2018

Review Film Dilan 1990


Ilustrasi Dilan dan Milea dari novel "Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990"


Dilan 1990. Tepatnya Senin malam lalu, saya menonton film yang saat ini lagi banyak dibicarakan kawula muda itu. Film yang diangkat dari judul novel yang sama yang terbit tahun 2014 silam.

Senin malam. Saya berangkat dengan harapan bioskop setidaknya lebih sepi dari hari-hari lainnya. Sehingga, saya tak harus antre panjang, juga bisa menikmati film yang sudah saya tahu alur ceritanya sejak novel diterbitkan.

Ternyata dugaan saya salah. Malam itu, di salah satu bioskop tempat saya nonton, hanya ada dua film yang diputar. Dilan salah satunya. Bahkan, di hari itu dan mungkin juga hari-hari sebelumnya, dalam sehari ada 15 jadwal pemutaran film Dilan.

Tak heran, hingga dua belas hari pemutaran di bioskop, jumlah penonton film ini mencapai 4 juta, melebihi film "AADC 2" yang mengantongi penonton dengan angka berhenti pada 3,7 juta.

Dilan memang sedang ramai-ramainya dibicarakan. Beberapa akun di instagram bahkan menyebutkan pemeran utama film ini, Dilan dan Milea, digadang-gadang sebagai ikon kisah cinta remaja SMA saat ini. Seperti ikon-ikon yang sebelumnya berhasil diciptakan, Galih dan Ratna hingga Rangga dan Cinta.

Tak sia-sia sang penulis Pidi Baiq menciptakan tokoh Dilan dan Milea. Terlepas dari kontroversi apakah kisah cinta tokoh keduanya benar-benar ada di dunia nyata.

Sejujurnya, saya nggak feeling menonton film ini sejak rencana difilmkan tahun lalu. Saya hanya khawatir, film yang diciptakan akan menghancurkan imajinasi saya atas pembacaan novel Dilan.

Lalu, hampir semua media sosial yang saya ikuti, instagram, twitter, nyaris memberi penilaian bagus untuk film ini. Termasuk beberapa penulis dan vlogger yang cukup saya suka. Yha, jadinya saya nonton juga.

Saya tahu, beberapa teman begitu militan terhadap sosok Dilan. Ia menjadi magnet yang memiliki daya tarik tersendiri, bahkan bagi generasi 25 tahun ke atas.

Sebaliknya, adapula yang menganggap cerita ini sebagai kisah cinta menye-menye yang kadang mengandung unsur garing.

Me-review cerita ini, saya hanya akan membagi pandangan atas diciptakannya film Dilan. Jika kemudian ada yang kurang berkenan, saya tidak peduli. Hehe.
. . . .

Dilan. Saya telah lebih dulu jatuh cinta dengan sosok ini jauh sebelum pada akhirnya novel ini difilmkan. Saya cukup mengikuti perkembangan rencana pemfilman novel ini. Dan kemudian, Iqbaal Ramadhan, mantan personil Coboy Junior itu, terpilih untuk memerankan tokoh Dilan.

Menonton Dilan barangkali adalah mengingat-ingat setiap detail cerita dalam novel. Benarkah ingatan saya masih sempurna? Bagaimana tidak. Sepanjang film berjalan, semua adegan dan percakapan nyaris mirip seperti yang ada dalam novel.

Pidi Baiq yang ikut terlibat langsung dalam pengerjaan film ini, mungkin inginkan visualisasi yang sama persis, plek, seperti dalam novel yang ia tulis. Jika ada bagian dari novel yang absen ditampilkan di film, menurutku, itu semata karena durasi yang tidak memungkinkan. Kabarnya, dalam pengerjaan film ini, ia sempat beradu pandangan dengan sang sutradara, tentang mana yang ditampilkan dan yang tidak.

Hampir semua adegan memorable. Mulai dari awal perjumpaan Dilan dan Milea di jalan menuju sekolah, Dilan ‘sang peramal’ yang merayu Milea di angkot, percakapan-percakapan di sekolah tempat keduanya banyak betemu, telepon umum pinggir jalan yang digunakan Dilan untuk menelpon Milea, kamar dan meja telepon di rumah Milea tempat ia penuh sipu juga cemas menunggu, dan tentu saja, jalanan tempat sang ‘panglima tempur’ beraksi di atas motor bersama geng motornya.

Bagi saya, scene paling mengharukan dalam film ini adalah ketika Beni marah hebat kepada Milea yang ketika itu bersama rombongan sekolah datang ke Jakarta untuk mendukung tim cerdas cermat sekolah. Beni marah hebat melihat Milea kekasihnya duduk berduaan dengan Nandan. Puncaknya, ia menyebut Milea dengan kata-kata kasar hingga melontarkan kata pelacur kepadanya.

Di dalam bus, Milea menangis sepanjang jalan menuju Bandung. Kata-kata kasar Beni terus terngiang di telinganya. Ia teringat Dilan dan apa yang pernah ia katakan suatu hari di telepon. “Milea, jangan pernah bilang ada yang menyakitimu. Nanti, orang itu akan hilang.” Duh, dek Iqbaal ~~

Scene paling keren sekaligus mendebarkan bagi saya adalah ketika Dilan berantem hebat dengan Anhar di sekolah. Itu adalah seusai Anhar menampar Milea di warung Bi Eem. Konon, demi menghasilkan adegan yang sempurna, Dilan dan Anhar dilatih oleh koreograf dari film The Raid yang dibintangi oleh Iko Uwais. Dan betul, adegan berantem itu sangat sempurna.

Secara keseluruhan, Iqbaal cukup bagus membawakan peran Dilan. Persis dalam novelnya, Iqbaal menjadi laki-laki yang formal dan terkesan kaku dalam berbicara. Meski bagi saya, Iqbaal kurang memiliki rupa ‘berandal’ untuk memerankan sosok Dilan, sang ‘panglima tempur’ dari sebuah geng motor besar di Bandung. Apalagi, dengan background dia sebagai penyanyi cilik yang memiliki citra sangat unyu. Hehe. Sedangkan Vanesha Prescilla yang memerankan Milea, bagi saya ia cukup mewakili sosok Milea yang – diem aja udah cantik.

Saya harus cukup legowo untuk mengatakan bahwa secara keseluruhan, chemistry Iqbaal dan Vanesha emang dapet.

Jika ada ketidaksempurnaan dalam film ini, salah satunya adalah editing gambar yang kurang halus. Seperti ketika ibunda Dilan mengendarai mobil Nissan Patrol bersama Milea untuk mengantarnya pulang. Terlihat jelas batas gambar di dalam mobil dan jalanan yang sebetulnya tidak berada pada situasi yang bersamaan. Penggabungan gambar masih kurang halus. Dan itu cukup kentara dalam penglihatan.

Dilan, meski masih SMA, bagi saya adalah pribadi yang penuh kejutan. Seorang panglima geng motor yang diam-diam romantis dengan caranya yang tidak biasa. Laki-laki yang sering ke BP, bukan karena jagoan tapi karena melawan orang-orang yang bertindak sewenang-wenang. Bahkan ia berani memukul Suripto, guru yang baginya tidak manusiawi dalam memberi teguran kepada murid. Termasuk dirinya, ketika mengikuti upacara bendera.

Meski begitu, Dilan nggak berandal-berandal banget. Dia pintar. Selalu juara di kelas. Suka musik dan buku bacaannya banyak. Walau kalau pergi ke sekolah, dia hanya membawa satu buku yang diselipkan di saku celana belakang.
. . . .

Menonton Dilan di awal 2018 dengan usia yang sudah 25, bahkan tak se-deg-degan ketika saya membaca novelnya tahun 2015 lalu. Selain karena banyak adegan dan percakaan yang telah tertebak lebih dulu, mungkin karena di usia 25 ini negara api telah menyerang. * halah *

Betapa membaca kisah cinta Dilan dan Milea, hidup begitu sangat sederhana. Pun masalah yang muncul hanya seputar masalah-masalah remaja SMA yang kadang, memang harus dimaklumi ketika muncul ego-ego yang tinggi.

Iqbaal dan Vanesha, pemeran tokoh Dilan dan Milea.


Lantas, membaca kembali Dilan diusia yang sudah 25 ini, semacam mengingatkan kepada diri sendiri bahwa, “Ingat umur, woy”. Ckckck

So, review angka saya untuk film Dilan adalah 7.5/10. Saya telah jatuh cinta dengan sosok Dilan sejak ia diciptakan Pidi Baiq melalui ‘Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’. Novel ini tidak buruk ketika kemudian difilmkan. Namun, seperti yang pernah saya katakan, kolonisasi novel ke dalam media audiovisual, betapapun dibuat semirip mungkin, tidak akan pernah bisa sempurna mewakili imajinasi pembaca.

Ini pukul sepuluh malam. Akhirnya bisa menyelesaikan review Dilan setelah hampir seminggu lamanya. Fiuuuh. * makanya nulis, Bin, jangan kerja mulu *

Saya merekomendasikan buku Dilan untuk dibaca. Terutama bagi laki-laki, sebagai senjata untuk menggaet hati wanitanya. Hehehe.

Minggu, 04 Februari 2018

Saya Mungkin Ngotot dan Keras Kepala

Sumber gambar: Pixabay


Kemari lusa, ketika masih di rumah, saya pergi ke salah satu pusat perbelanjaaan kebutuhan pokok tak begitu jauh dari rumah. Sambil menunggu kasir menghitung belanjaan, sesekali saya tolah-toleh memerhatikaan sekeliling. Di dalam toko, agak jauh dari tempat saya berdiri, saya memerhatikan seorang laki-laki memanggul barang dengan karung di atas pundaknya.

Dia memakai celana tiga perempat kaki. Kausnya lusuh. Dia terlihat begitu lelah. Ada yang tak asing. Setelah saya pehatikan betul, ternyata dia seumuran saya, laki-laki yang ketika saya duduk di bangku SMP kira-kira sebelas tahun yang lalu, paling jago di kelas dalam hal mata pelajaran.

Entah apa yang saya pikirkan sore itu. Yang jelas saya nelongso betul.

Kejadian seperti ini dengan orang yang berbeda tidak hanya saya alami sekali ini saja. Ada juga teman perempuan yang juga pernah satu kelas semasa kelas tujuh SMP. Ia, kini juga juga bekerja di salah satu toko kebutuhaan pokok tak begitu jauh dari rumah.

Saya masih ingat betul. Meskipun rumahnya jauh di bawah kaki Gunung Kelud sana, tapi untuk hal pelajaran dia tak bisa diragukan. Apalagi perihal menghapal rumus-rumus. Soal ilmu pengetahuan  alam yang waktu itu sudah mulai mempelajari fisika dan kimia, saya cuma bisa plonga-plongo berkali-kali ujian dan dia mendapatkan nilai yang nyaris sempurna.

Saya jadi teringat kembali tujuh tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Khawatir akan nasip saya usai lulus, ibu bahkan sudah ancang-ancang memilih jodoh untuk saya. Mungkin, kalau saya tak ngengkel kuliah waktu itu, saya tidak bisa duduk di depan komputer seperti pagi ini. Juga pacar saya waktu itu, yang tak menghendaki jika saya melanjutkan pendidikaan di luar kota. (maaf, tahun itu saya khilaf hehe)

Lantas, banyak hal berubah dan segala hal memang harus diperjuangan.

Kalau di semester delapan saya tidak ngengkel mengambi tawaran pekejaan di tempat kini saya bekerja, belum tentu saya masih ada di Surabaya. Padahal saat itu saya masih tercatat sebagai mahasiswa aktif yang menanggung skripsi. Menjelang ujian, bu dosen pembimbing cuti haji dan kuliah saya terancam  molor.

Yang saya pikirkan waktu itu hanyalah: kalau saya tidak mengambil tawaran pekerjaan, mau makan apa? Bayar kos dan kuliah pakai uang siapa? Wong beasiswa full dari pemerintah yang saya dapatkan tidak menanggung biaya kuliah yang tak selesai tepat waktu.

Dari bangku kuliah perlahan saya tahu, fungsi pendidikan adalah memberantas kebodohan, menghilangkan ketidaktahuan. Hingga, manusia jadi paham untuk apa ia diciptakan. Jika lantas pendidikan pengantarkan seseorang menemui pekerjaan yang layak, itu bonus atas apa yang ia perjuangkan.

Dengan membagi ini, bukan berarti hidup saya jauh lebih enak dan bahagia bibanding teman yang saya jumpai kemarin sore. Bisa jadi, untuk urusan menata hati dan kebahagiaan, dia lebih hebat dari saya. Bisa jadi, ia memiliki istri yang cantik dan soleha, serta anak yang menggemaskan, manis dan pintar.


Saya hanya percaya, akan selalu ada jalan bagi orang-orang yang ngengkel dan mau berusaha lebih keras dari yang lain. Memperjuangkan banyak hal, bukan hanya pendidikaan, pekerjaan, tapi juga jodoh.