Kamis, 14 Agustus 2014

Nginang

Aku selalu senang mendengarkan nenek-nenek bercerita. Apalagi sambil rewel tanya ini itu, seperti kanak-kanak yang senang didongengi. Namanya Mbah Kamsini. Tapi aku biasa memanggilnya Mbok Ni.

Memerhatikan gayanya bercerita adalah yang paling menyenangkan. Memerhatikan gigi-giginya yang masih kuat meski ia sudah berusia tua. Seperti alm. nenek dari keluarga ibu, Mbok Ni suka menginang. Bahkan sejak ia masih muda dulu. Kebiasaan menginang banyak dilakukan nenek-nenek seusianya. Membungkus gambir dan njet dengan lipatan daun sirih, kemudian mengunyahnya sampai halus. Beberapa orang meludah dan membuangnya setelah terkunyah halus, namun ada pula yang kemudian menelannya. Kebiasaan ini biasa dilakukan setiap hari.

Samar-samar aku ingat. Dulu sewaktu berada di rumah nenek, nenek suka nginang di mbale (rumah bagian depan) sambil mengerjakan ini itu yang tak begitu berat. Atau sambil bercengkerama dan bercerita kepada cucu-cucunya. Barangkali, nginang menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu karena khasiatnya yang dapat menguatkan gigi. Dalam ilmu kimia, bahan-bahan untuk menginang memang memiliki khasiat tertentu. Njet misalnya. Endapan dari gamping atau batu kapur ini mengandung kalsium karbonat yang dapat menjadi elemen penguat. Sedangkan gambir sebagai bahan obat tradisional, sebagian orang memanfaatkannya untuk obat batuk. Daun sirih memang terpercaya sebagai penguat gigi.

Menurutnya, Mbok Ni sudah terbiasa nginang sejak ia masih muda, sejak masih jaman Jepang dulu. Waktu itu ia bekerja sebagai buruh pemetik rami, tumbuhan yang batangnya dijadikan serat untuk pembuat tali, jala, dsb. Meskipun dikata waktu itu jaman penjajahan (Jepang), di desa dulu aman, katanya. Tak pernah sedikitpun ada peperangan. Tapi kehidupan berjalan lamban, tak seperti sekarang. Orang-orang juga manut, tak banyak tingkah, tak banyak-banyak maunya.

Meski sekarang tak lagi nginang, tapi gigi-gigi Mbok Ni masih kuat. Rasa gambir sekarang tak enak, katanya. Tak alami. Berjalan kaki ke pasar sambil membawa rinjing di punggung menjadi kebiasaannya setiap pagi. Menjual sayur-sayuran dan kelapa. Orang-orang desa yang berpapasan dengannya dan mengendarai sepeda motor kadang suka mencangkingnya. Meski ia suka pikun dan lupa lelaki mana yang memboncengnya tadi.

Aku selalu senang mendengarkan nenek-nenek bercerita, menceritakan jaman-jamannya dulu. Seperti Mbok Ni. Janda tua yang kini hidup sendiri. Nenek tua yang kuat.


Kelak ketika aku bercengkerama dengan Mbok Ni lagi dan didongenginya lama-lama, aku akan bercerita lagi padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar