Sabtu, 26 Januari 2019

RILIS PERS


Ini hari Minggu. Di kampung. Aku mulai mengetik #30haribercerita (lagi) setelah sekian hari absen. Ternyata tidak mudah konsisten menulis. Sedih. Baru menulis dua artikel di blog, absen berhari-hari kemudian karena kesibukan (hilih alasan aje lu tong) dan kebuntuan ide.

Ini hari Minggu, (harus) ngetik di laptop ditemani secangkir energen buatan ibu. Kerja pers tidak mengenal kata libur meski idealnya jam kantor(ku) memberi jatah. Iya. Bikin pers rilis. Berbahan narasi dari rekan reporter yang dua hari ini liputan tentang stem cell.

Ada ratusan ribu (atau bahkan di angka juta?) website (atau domain, ya?) yang beredar di Indonesia. Dari yang akuntabel dan dapat dipercaya, sampai konten-konten yang dibuat sekenanya. Padahal tidak ada kata main-main untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang adanya informasi yang akurat (hilih serius banget, sih).

Seperti biasa, salah satu dari pekerjaanku di kantor adalah membuat rilis pers. Entah dari liputan yang aku sendiri penulisnya, atau dari rekan reporter lain. Yang jelas, aku yang menyusun dan menyebarluaskan rilis pers untuk stakeholder kampus dari ranah media: cetak, online, televisi, dan radio. Kira-kira ada tak kurang dari 50 alamat surat elektronik.

Rilis pers ini adalah bagian dari tugas humas dalam rangka memberikan penyediaan informasi publik. Penyebaran rilis pers kami lakukan melalui surat elektronik. Entah akan dimuat si pemilik media atau tidak, terserah mereka. Monggo. Bebas. Simbiosis mutualisme, dong. Kami membutuhkan mereka untuk membantu publikasi. Sementara mereka membutuhkan kami selaku penyedia (konten) informasi.

Ada bermacam-macam karakter wartawan ketika mendapat kiriman rilis pers. Maklum. Mereka manusia yang beragam, dari latar pendidikan yang beragam, dan berasal dari media yang beragam pula. Dari yang bergaji cukup (sedikit) sampai yang cukup banyak. Dari yang kritis dan tidak mau menerima rilis mentah-mentah, sampai yang tidak mau ambil pusing dan memilih meng-copy paste apa adanya rilis untuk dimuat di media mereka. Plek-ketiplek tanpa kurang satu katapun. Typo ya tetap typo. Duh.

Yang saya senang tentu tipe pertama. Yang jeli membaca rilis. Jika dirasa informasi rilis pers menarik, yang bersangkutan menghubungi kami dan meminta informasi lanjutan. Keesokan harinya, bahan dari rilis ditambah informasi yang dihimpun secara mandiri oleh penulis, tersaji satu artikel lengkap dan dimuat di koran harian.

Atau, jika informasi di dalam rilis pers memang sudah lengkap, wartawan tinggal memparafrase atau menulis ulang, dan membuatnya menjadi satu artikel baru. Menyenangkan. Wartawan begini yang sangat layak diacungi jempol.

Tipe wartawan yang kedua, sepertinya tidak perlu –atau lain kali saja- aku membahasnya. Hehe.
Cukup. Ini pukul 9.30. Di kampung angin sedang kencang-kencangnya karena sedang musim grobogan. Aku harus segera berkemas untuk kembali ke Surabaya siang nanti dan bertemu dengan aktivitas yang –mau tidak mau- harus (diciptakan) menyenangkan. Hehe. Dadah. Mwah.

Senin, 21 Januari 2019

Sambel Jeruk

Sambel Jeruk


Hari ke-2

Setiap kali libur atau menghabiskan waktu berjarak cukup lama dengan Surabaya, selain berkeliling kota, saya selalu kangen dengan salah satu makanannya. Bukan rujak cingur atau lontong balap, melainkan penyetan a.k.a sambelan.

Hampir di setiap sudut di kota Surabaya begitu mudah untuk dijumpai sambelan. Salah satu yang kemudian jadi favorit saya selaku anak kos yang sudah tujuh tahun menghabiskan hari-hari di Gubeng Airlangga adalah SAMBEL JERUK. Sambelan yang khas, salah satunya karena jeruk limau-nya.

SAMBEL JERUK. Ya, kami, saya dan teman-teman kos sewaktu kuliah, biasanya menyebut penjual dengan sebutan Pak Sambel Jeruk. Tujuh tahun berlalu dan bahkan kami tidak tahu siapa nama asli si Bapak.

Semasa kuliah, hampir tiap hari kami membeli menu makan malam di Sambel Jeruk. Mbungkus dan kemudian makan bersama di kos. Dulu, hari Minggu malam adalah hari libur si Bapak berjualan. Saking seringnya kami ke sana, jika ada 30 hari dalam satu bulan, mungkin hampir 20 hari di antaranya kami membeli makan malam di sana.

Penjual Sambel Jeruk adalah pasangan suami isteri yang super sumeh (baca: ramah dan murah senyum). Kadang, dalam berjualan, si Bapak dan Ibu dibantu oleh anak-anaknya. Jika bukan anak gadis yang telah menikah beberapa tahun yang lalu, ya dibantu anak laki-lakinya yang belum lama lulus STM.

Meski belum bisa disebut tua, selera Pak Jeruk macam Bob Dylan, Elvis Presley, Jimi Hendrix, dan grup-grup band aliran pop-rock Barat era 60-70an. Perihal hal ini saya juga belum begitu lama menyadari.

Saking hobinya kami makan di Pak Jeruk, salah satu dari kami bahkan pernah ada yang nyeletuk “Pokoknya nanti kalau udah lulus, kita reunian di sini yaa”. Saking favoritnya di mata kami anak kos waktu itu. Tujuh tahun berlalu dan belum juga kesampaian.

Salah satu kebaikan Bapak Sambel Jeruk yang hingga kini membekas di hati saya adalah ketika laptop salah seorang teman tertinggal usai kita pesan makan sepulang diskusi di kampus. Kami baru menyadari 3-4 hari kemudian saat sudah hopeless dimana laptop berada. Teryata aman, tertinggal di lapak Pak Jeruk.

Kini, pergi makan ke Pak Jeruk sudah tidak sesering dulu. Sekali dalam satu bulan sudah bangus malah.

Ketika teman-teman kantor hobi ngajak mencoba makanan-makanan baru, Chinese food, Korean food, dan makanan asing lainnya, kalau kurang berkenan saya cukup bilang “Ya harap maklum, lidah penyetan”.

Minggu, 20 Januari 2019

PLASTIK

Memulai mengurangi sampah plastik dengan memakai tumbler. (Dok. Pribadi)

Hari ke-1

Pernahkah kamu menghitung, dalam sehari, berapa banyak sampah plastik yang kamu buang? Bungkus belanja dari mini market; bungkus membeli makan di warung; belanja sayur dan buah di pasar; gelas plastik tempat teh, kopi; bungkus snack, kue; dan apapun, yang menggunakan plastik habis pakai.

Pernahkah sepintas kamu berpikir, kemana sampah plastik itu kemudian dibuang? Apakah didaur ulang? Apakah berhenti di tempat pembuangan akhir (TPA)? Apakah terbuang ke aliran sungai yang bermuara ke laut? Apakah semakin sesak memenuhi ruang di belahan bumi ini?

Ada 7,3 miliar jumlah penduduk di bumi. 264 juta di antaranya adalah warga Indonesia. Seandainya satu orang membuang satu saja sampah plastik setiap hari, berapa ton plastik yang diproduksi manusia, hanya dalam sehari?

Faktanya, hanya 7 persen sampah di Indonesia yang dilakukan mengomposan dan daur ulang. Dan 69 persen berhenti di penimbunan TPA. (data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2017). Sayangnya, terus bertambahnya penduduk bumi tidak berbanding lurus terhadap bertambahnya perhatian mereka terhadap lingkungan.

Lalu, jika manusia tetap abai, kira-kira butuh waktu berapa tahun lagi untuk kita bisa tinggal nyaman di bumi?

Saya rasa, hal-hal kecil bisa kita mulai dari diri sendiri. Misalnya, membawa botol atau tumbler minuman untuk mengganti konsumsi air minuman dalam kemasan plastik; membawa tas saat berbelanja; dan hal-hal lain yang bisa mengurangi produksi sampah plastik.

Pun ada banyak komunitas yang bisa diikuti. Memanfaatkan media sosial untuk mengikuti akun-akun cinta lingkungan, salah satunya.

Saya ingin memulainya bersama teman-teman. Sampahmu tanggungjawabmu! Yuk mulai peduli terhadap hal-hal kecil yang sebetulnya akan berdampak besar terhadap kelangsungan hidup bersama.