Rabu, 29 Oktober 2014

Sastra “Kabur Kanginan” Seorang Pembecak Cak Mad dalam Sumpah Pemuda

Sore hari menjelang senja, tak kurang dari 10 mahasiswa melakukan aksi membacaan puisi di depan gedung Rumah Kebudayaan Universitas Airlangga. Dengan gaya ala seniman sekaligus sastrawan, dengan didekorasi becak juga poster dan pamphlet-pamphlet besar, acara tersebut berlangsung selama lebih dari dua jam. Ternyata atas ide dan inisiatif dari seorang Madi Omdewo, pegiat sastra yang telah menghasilkan buku antologi puisi berjudul 99 Antologi Becakan. Ia ternyata adalah seorang tukang becak, yang memiliki semangat membecak sekaligus menulis puisi sejak 2004 silam. Kegiatan tersebut dimaksudkan dalam rangka peringatan hari sumpah pemuda sekaligus bulan bahasa.
Ia mengundang siapapun mahasiswa yang tertarik meramaikan acara untuk turut serta membacakan puisi. Judul brosur yang ia sebar unik, Tukang Becak Membaca Karya Sastra. Pada kesempatan inilah kemudian datang dan turut meramaikan acara yakni mahaiswa yang mayoritas dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa. Secara bergantian, mereka melakukan pembacaan puisi dan juga diselingi dengan nyanyian. Rombongan mereka sebelumnya juga aktif dalam kegiatan serupa yang sebelumnya diadakan di depan gedung DPRD, atau peringatan 10 November, dan beberapa peringatan hari nasional yang berkaitan dengan keIndonesiaan. Komunitas mereka juga biasa melakukan diskusi sastra dan budaya.
Momen ini, momen dimana sumpah pemuda diperingati, Madi Omdewo atau yang lebih akrab disapa Cak Mad, bemaksud menggugah semangat para pemuda agar lebih peka terhadap kondisi masyarakat saat ini. Dalam perjalanannya Cak Di telah menghasilkan ratusan puisi, baik yang telah dibukukan maupun yang masih berupa naskah mentah dalam tulisan tangan. Antologi puisi 99 Antologi Becakan merupakan antologi puisinya yang pengantarnya ditulis oleh Tri Rismahandini, Walikota Surabaya, dan Bramantio, salah seorang dosen Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Sebelumnya, Cak Di pernah melakukan pembacaan puisi di depan DPRD selama 36 jam dengan peringatan acara yang sama. Setiap kegiatan kesusastraan yang ia lakoni ia sebut sebagai Sastra Kabur Kanginan. ‘Kabur’ karena kegiatannya tersebut ada dimana-mana yakni di warung kopi, jembatan, jalan. Dan dengan ‘kanginan’ akan banyak reverensi yang masuk supaya banyak dijadikan ide untuk menulis.
Madi Omdewo adalah seorang tukang becak, yang dalam resahnya ia hasilkan puisi-puisi di tiap malamnya. Anda yang tiap sore hari terbiasa naik becak di daerah Surabaya bagian Utara, khususnya di daerah Jembatan Merah atau Embong Malang, mungkin tak asing dengan sosok Cak Mad. Sejak ia beralih profesi dari tukang foto keliling mnjadi tukang becak, sejak 2004 lalu, ia telah aktif menulis puisi. Baginya, menulis adalah seperti orang lapar, adalah kewajiban di tiap harinya. Meskipun menurutnya saat ini, profesi tukang becak telah digerogoti oleh dua hal, yakni keberadaan handphone dan pembelian sepeda motor yang semakin dipermudah. Itu adalah dua hal yang membuat tukang becak sepi peminat.
“Ya beginilah cara kami memperingati hari sumpah pemuda. Dan harapan kami untuk generasi muda khususnya mahasiswa, apresiasilah hal atau karya yang berkaitan dengan peringatan hari-hari (pergerakan) nasional, khususnya yang saat ini terjadi yaitu hari sumpah pemuda” tutur Soni, seorang mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa.

Harapan Cak Mad untuk pemuda khususnya mahasiswa, adalah dengan peringatan sumpah pemuda ini jadikanlah semangat untuk terus rutin membaca. Dengan proses pembacaan itulah akan lahir ide-ide dan tulisan-tulisan yang nantinya akan menjadi karya yang bermakna. Pada kegiatan selanjutnya, Cak Mad berencana mengadakan kegiatan serupa pada 10 November yang bertepatan dengan hari Pahlawan Nasional. Kegiatan tersebut akan diramaikan oleh komunitas Music Time yang akan dilaksanakan di Balai Pemuda dan melibatkan pecinta seni. Beberapa kegiatan yang akan dilakukan yakni teatrikal, monolog, baca puisi, nyanyi, memajang lukisan, dan berbagai kegiatan mengenai sastra dan budaya.

1 komentar: