Kamis, 09 Juni 2016

Wisata Karimunjawa Bersama Mahasiswa Asing

Pada Desember tahun lalu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Kepulauan Karimunjawa, salah satu surga Indonesia yang terletak di wilayah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Lebih dari cerita yang dituturkan beberapa teman, Karimunjawa ternyata menyimpan keindahan dan lanskap yang menakjubkan. Kekayaan laut, bukit, pantai, panorama alam, semuanya menyediakan pemandangan yang tak membuat bosan mata.

Saya bekerja di Humas salah satu kampus terkemuka di Surabaya. Waktu itu, selama 3 hari, saya mengikuti puluhan mahasiswa asing yang melakukan serangkaian kegiatan penutupan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Karimunjawa. Selama tiga hari itu pula, kami mengunjungi berbagai tempat di Karimunjawa. Kami melakukan wisata bahari, mengunjungi tracking hutan mangrove, dan mengunjungi penangkaran hiu.

Kala itu, setelah melewati perjalanan Jepara-Karimunjawa selama hampir dua jam menggunakan KMC Ekspress Bahari, kami istirahat dan menghabiskan malam di salah satu hotel yang tidak jauh dari pelabuhan Karimunjawa.

Hari berikutnya, kami mengunjungi tracking hutan mangrove yang terletak di Desa Kemojan, Pulau Kemujan. Tracking hutan mangrove yang kami kunjungi merupakan kawasan yang cukup luas. Jangan khawatir karena ada guide yang memandu perjalanan serta menjelaskan mengenai pengelolaan mangrove di sana. Banyak ilmu baru yang kami dapat, khususnya tentang pentingnya konservasi hutan mangrove.

Di tracking hutan mangrove, kami juga diajak untuk menaiki menara kayu dengan tinggi puluhan meter yang didirikan di atas rawa. Ada perasaan was-was ketika menaiki menara. Namun guide meyakinkan kepada kami bahwa ini aman. Hanya saja, yang naik ke atas menara tidak diperbolehkan melebihi 20 orang. Sehingga kami harus bergantian. Dari atas menara, kami bisa melihat hamparan hutan mangrove yang luas dan menakjubkan.

View yang bisa dilihat dari menara kayu yang terletak di hutan mangrove, Karimunjawa.
Di hari berikutnya, kami diajak untuk mengunjungi penangkaran hiu yang terletak di Desa Karimunjawa, Pulau Menjangan Besar. Kami diberi kesempatan untuk bertanya-tanya seputar pengelolaan penangkaran hiu di sana. Kami juga diberi izin untuk mencebur ke dalam kolam tempat penangkaran hiu-hiu. Ini adalah pengalaman pertama saya berada satu kolam dengan ikan hiu. Saya pikir, ini akan mengerikan. Ternyata mereka tidak melakukan gigitan seperti yang sebelumnya saya bayangkan.

Kunjungan di penangkaran hiu selesai dan selanjutnya kami melakukan wisata bahari. Seharian itu, kami melakukan wisata bahari dengan mengunjungi beberapa pulau dan melakukan snorkeling di sana. Ini adalah pengalaman pertama saya melakukan snorkeling. Tadinya saya takut karena tidak memiliki kemampuan berenang. Ketakutan saya lantas hilang, karena pemandu snorkeling meyakinkan saya bahwa olahraga ini tidak akan membuat saya tenggelam.

Selain itu, ketika snorkeling, kami dilengkapi dengan peralatan seperti pelampung, sepatu katak, snorkel, dan juga masker selam. Sehingga alat-alat tersebut sangat membantu bagi para pemula snorkeling.

Kami melakukan snorkeling di dua tempat yang berbeda. Sungguh, keduanya menyajikan pemandangan alam bawah laut yang menakjubkan. Kami bisa melihat karang dan ikan-ikan yang cantik. Saya tidak tahu persis jenis ikan dan tumbuhan apa saja yang saya jumpai ketika itu. Namun yang pasti, itu adalah pemandangan luar biasa yang tidak bisa saya dapat jika saya hanya mengunjungi bibir pantai.

Melakukan knorkeling di Karimunjawa dan melihat alam bawah laut yang beraneka rupa
Kami menikmati perjalanan dengan kapal untuk beralih dari pulau satu ke pulau yang lain. Dari atas kapal, karena warna air yang begitu biru dan jernih, kami bisa melihat pemandangan alam bawah laut. Selama perjalanan, dari atas kapal kami juga melihat pulau-pulau lain yang masuk dalam Kepulauan Karimunjawa ini. Beberapa mahasiswa mancanegara saya dapati tak henti-hentinya memuji keindahan panorama ini. Beberapa dari mereka mengatakan, wilayah ini lebih indah dari wisata alam yang pernah mereka datangi di Bali.

Perjalanan wisata bahari di Karimunjawa bersama mahasiswa asing
Kabarnya, banyak tempat wisata lain yang bisa dikunjungi di Karimunjawa. Namun karena terbatasnya waktu, kami harus segera pulang menuju Surabaya dan melanjutkan aktivitas kembali. Sungguh perjalanan wisata Karimunjawa yang tidak bisa saya lupakan. Semoga saya bisa kembali ke sana, suatu saat nanti.




Surabaya, 10 Juni 2016

Rabu, 08 Juni 2016

Mengingat Masa Kecil Ditengah-tengah Ramadhan



Ramadhan bagi saya, adalah mengingat masa-masa kecil dimana anak-anak kampung, termasuk saya, melakukan tadarus selepas sholat tarawih di langgar. Langgar kuno berukuran tak lebih dari 10x7 m yang selalu penuh jamaah di awal-awal ramadhan. Di hari-hari biasa, jamaah ibu dan bapak-bapak tua yang mendominasi.

Kami tadarus menamatkan satu juz dalam semalam. Supaya nanti ketika ramadhan usai, kami sudah khatam. Tak jarang kami tadarus sambil ngantuk-ngantuk. Maklum, bocah kecil. Tapi hal lain yang membuat kami senang adalah adanya ta’jil yang disuguhkan ibu-ibu di langgar tempat kami tadarus. Jenis ta’jil yang disuguhkan bukan jajanan enak yang banyak digemari anak-anak zaman sekarang. Palingan, ya, ketela goreng, singkong goreng, kolak, es cendol, atau makanan pembuka buka puasa khas desa lainnya. Tapi begitu saja kami sudah senang bukan kepalang.

Seusai tadarus kami tak langsung pulang. Ada saja acara-acara kecil yang kami lakukan agar tak lekas pulang dan disuruh bapak atau ibu untuk segera tidur. Macam-macam. Bermain petak umpet. Petasan. Kalau pas teman laki-laki kami membawa dan menyalakan mercon, kami para perempuan seraya menutup telinga hanya bisa pasrah. Sambil merengek agar petasan dihentikan dan diganti dengan permainan yang lain.

Atau, entah siapa yang memulai duluan, biasanya kami saling bercerita tentang memedi, hantu, genderuwo dan sejenisnya, hingga masing-masing dari kami takut untuk pulang. Anak-anak kecil tak pernah memiliki pengalaman empirik tentang hantu, tapi selalu gemar untuk saling bercerita.

Kami hidup di kampung, dimana sekitar rumah kami, utamanya belakang rumah, masih berupa tegalan. Pepohonan yang tumbuh berupa pohon bambu dan pohon besar khas desa lainnya. Jarak diantara rumah kami cukup berjauhan, tidak mepet. Sebagian besar masyarakat memiliki tanah yang luas, meskipun rumah tak seluas tanah yang mereka miliki.

Ramadhan tanpa prasangka, tanpa praduga, tanpa gengsi, tanpa riya’ dan tanpa kesibukan mencari ‘nama’.

Surabaya, 8 Juni 2016