Rabu, 29 Oktober 2014

Museum Omah Munir

Kota Batu terkenal dengan hawa dan suhunya yang dingin dan sejuk. Di kota inilah, lahir sekaligus tinggal aktivis HAM yang kasusnya belum terselesaikan hingga saat ini, Munir. Terletak di Jl Bukit Berbunga no 2 Sidomulyo, Batu, sejak Desember tahun lalu, atas persetujuan keluarga dan berbagai aktivis didirikanlah museum Omah Munir. Ini adalah museum yang mendokumentasikan kasus-kasus HAM pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara.
            Sebelum memasuki ruangan, pengunjung akan disambut dengan patung Munir sebagai simbolik perjuangan HAM.  Ruang utama berupa display perjuangan Munir, yakni sinopsis kisah hidup Munir dan berbagai kasus HAM yang pernah ia perjuangkan. di sisi lain terdapat dinding kisah Munir dan keluarga. di sisi kanan raung utama, ditampilkan segala atribut yang digunakan Munir ketika masa-masa perjuangannya dulu. Seperti jas almamaternya semasa kuliah, sepatu yang dulu selalu ia gunakan dalam aktivitasnya ketika di lapangan, kemeja yang digunakan ketika jumpa pers di mabes polri, SIM KTP STNK dan paspor, jam tangan, bulpoin. Skripsinya yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Buruh dalam penetapan upah di perusahaan industri: studi di kota madya malang juga turut dipajang dalam museum ini. Selain itu, ada pula penghargaan-penghargaan yang pernah diterima Munir semasa hidupnya. Museum ini juga dilengkapi dengan perpustakaan atau ruang baca yang dapat digunakan pengunjung jika ingin melakukan kajian atau riset tentang HAM dan penegakan hukum.
            Kasus Marsinah adalah kasus yang menjadi titik tolah perjuangan Munir dalam mengentaskan kasus HAM di Indonesia. Sehingga dalam museum ini, ditampilkan pula foto Marsinah dan deskripsi mengenai kasus HAM yang menimpa dirinya. Sekadar mengembalikan ingatan, Marsinah adalah buruh pabrik yang berusaha memperjuangkan hak-hak buruh namun pada akhirnya meninggal dibantai dengan sangat misterius.
            Munir merupakan aktivis HAM, yang berkecimpung mengentaskan permasalahan HAM di Indonesia yang tak kunjung menemui titik terang. Museum Omah Munir didirikan dengan tujuan merawat ingatan kita tentang perjuangan Munir dan Kemanusiaan. Museum Omah Munir adalah sebagai media untuk menghidupkan semangat sekaligus mendokumentasikan problem-problem kemanusiaan di Indonesia. Selain itu, Museum Omah Munir didirikan sebagai ruang budaya untuk merawat kebebasan berfikir dan berekspresi. Untuk itu, Museum Omah Munir sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadikannya sebagai ruang diskusi.
            Pada mulanya, yang menggagas ide didirikannya Museum Omah Munir adalah Suci, istri dari alm Munir. Dan kemudian ide tersebut didukung oleh kerabat dan berbagai aktivis. Pada 7 September lalu, tepat 10 tahun kematian aktivis Munir, di museum inilah diperingati 10 tahun kematian Munir, yang juga dihadiri oleh beberapa aktivis, budayawan, dan pegiat perfilman. Diantaranya hadir pula Riri Riza, Mira Lesmana, Nia Dinata, dan juga Butet Kartaredjasa. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan diantaranya yaitu diskusi kasus-kasus HAM, pemutaran film dokumenter, penampilan hiburan dan musikalisasi puisi, dan berbagai kegiatan lainnya, yang masih dalam topik mengenang kasus-kasus HAM yang belum juga terselesaikan hingga kini, dan tak kunjung ada tindakan riil dari pemerintah untuk segera mengusut tuntas.
            Seperti halnya museum-museum yang lain, Museum Omah Munir ini bukan didirikan begitu saja tanpa adanya kegiatan di dalamnya. Kegiatan rutin pada museum ini diadakah setiap bulan, yakni pada tanggal 7 dan 8. Seperti yang dijelaskan oleh Yuriko Abi Pratama selaku tim kreatif dari Museum Omah Munir, yang perlu diketahui masyarakat, konsep dari didirikannya museum Omah Munir ini adalah menjadikannya sebagai rumah yang mengabadikan perjuangan Munir menuntaskan kasus-kasus HAM. Tempat diskusi kemanusiaan yang mencerdaskan. Dan bukan menjadikannya sebagai tempat atau basecamp untuk membentuk massa yang memusuhi golongan-golongan tertentu.

            Sejauh ini. Pendirian Museum Omah Munir secara independen, tidak ada kerjasama dengan pemerintah kota Batu atau permintaan sumbangan lainnya. Melainkan donatur yang bersifat sukarelawan. Museum Omah Munir ini berdiri secara independen, tanpa adanya tendensi kepada pihak-pihak atau golongan-golongan tertentu. Kedepannya, pengurus dari museum ini berharap akan ada mata pelajaran atau pembelajaran pengenai pengetahuan akan penegakan HAM pada siswa-siswa sekolah. Sehingga para generasi muda nantinya dapat meminimalisir munculnya kasus-kasus HAM di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar