Bisakah kita berkenalan (kembali)??
Aku ingin jatuh cinta padamu di tempat-tempat yang kutentukan.
Kedai kopi, pameran buku, galeri seni.
Bisakah kita berada di sana tanpa sengaja, dan, kita saling menyapa?
Aku akan berkenalan denganmu dengan baik. Sangat baik.
Bisakah?
Perasaanku pasti akan sangat ramai ketika itu.
Ramai. Seperti pasar malam.
Atau, bisakah kita tiba-tiba ada di sana, sekarang? Di pasar malam.
Bisakah?
Blitar, Desember 2014
Sabtu, 27 Desember 2014
Sabtu, 13 Desember 2014
Media yang baik harus memihak: memihak pada kebenaran
Secara pribadi, saya tidak setuju dengan pernyataan “sebuah media harus netral, tidak memihak”. Karena media memiliki kuasa untuk menggiring opini publik. Pernyataan tersebut akan menjadi bumerang ketika mendapati sebuah masyarakat yang akan melangsungkan pemilihan umum untuk menentukan pemimpin baru.
Bagaimana ketika media tengah dihadapkan pada pilihan dua calon; si A yang ‘baik’, dan si B yang ‘kurang baik/buruk’. Apa media akan membiarkan masyarakat memilih si B dan membiarkan negara api menyerang :-D ? Atau menggiring masyarakat agar memilih si A? (Jika memang kita (media) memiliki tujuan bersama yang baik, demi kemaslahatan umat dan demi perubahan yang lebih baik)
Media yang baik harus jujur: memberitakan hal-hal yang baik tanpa menutup-nutupi (jika memang terdapat) keburukan. Biarkan masyarakat yang memilih dan menentukan. Media yang baik berpihak pada kebenaran. Bukan berpihak atas nama percukongan.
… dan, definisi kebenaran adalah jelas; sesuai sebagaimana adanya (seharusnya), betul, tidak salah. Bukan kebenaran versi media A, kebenaran versi media B, dan seterusnya.
Bagaimana ketika media tengah dihadapkan pada pilihan dua calon; si A yang ‘baik’, dan si B yang ‘kurang baik/buruk’. Apa media akan membiarkan masyarakat memilih si B dan membiarkan negara api menyerang :-D ? Atau menggiring masyarakat agar memilih si A? (Jika memang kita (media) memiliki tujuan bersama yang baik, demi kemaslahatan umat dan demi perubahan yang lebih baik)
Media yang baik harus jujur: memberitakan hal-hal yang baik tanpa menutup-nutupi (jika memang terdapat) keburukan. Biarkan masyarakat yang memilih dan menentukan. Media yang baik berpihak pada kebenaran. Bukan berpihak atas nama percukongan.
… dan, definisi kebenaran adalah jelas; sesuai sebagaimana adanya (seharusnya), betul, tidak salah. Bukan kebenaran versi media A, kebenaran versi media B, dan seterusnya.
Rabu, 03 Desember 2014
Catatan Sejarah Kita, Tentang Wilayah yang Pernah Menjadi Bagian dari Negara Kita, Timor Timur: Disembunyikan!!
Selama 15 tahun,
terhitung sejak 1999, adakah bagian dari sejarah kita yang menyebutkan bahwa
telah terjadi pelanggaran HAM besar-besaran oleh militer kita, di negara yang
pernah menjadi bagian dari bangsa kita: Timor Timur? Selama 24 tahun, terhitung
sejak 1974-1999, adakah dari masyarakat kita, atau media kita, yang mengabarkan
bahwa telah terjadi kekerasan kemanusiaan besar-besaran, di wilayah yang
kemudian memilih melepaskan diri dengan Indonesia: Timor Timur?
Dalam buku-buku sejarah,
kita mungkin hanya mengenal .. Timor
Timur melepaskan diri dari Indonesia pada tahun sekian…, atau … Presiden pertama Timor Timur adalah Si A.. Namun
apa sejarah kita mencatat, setelah Indonesia merdeka, sebelum Timor Timur
memilih untuk melepaskan diri dengan negara Indonesia, apa yang terjadi di
tanah itu? Apa saja yang militer kita lakukan disana, dalam misinya ‘mengisi
kekosongan’? Apa sejarah kita mencacat itu? Tidak.
Timor Timur adalah
salah satu wilayah di Indonesia yang tidak terkena dampak penjajahan Belanda. Namun
lebih tragis, lebih dari 400 tahun ia dijajah oleh bangsa Portugis. Dan lebih,
sejak misi militer kita ‘mengisi kekosongan’ selama 24 tahun, terhitung sejak
1974-1999, tersimpan kejahatan HAM yang menjadi traumatik bagi warga Timor
Timur, bahkan mungkin hingga saat ini.
Berbagai kejahatan
genosida dan kejahatan kemanusiaan terjadi pada rentan waktu itu. Istri dan
juga perempuan-perempuan dipisahkan dari keluarganya. (dapat dilihat dari
cuplikan film dokumenter: Perempuan Di
Hotel Flamboyan). Mereka ditahan, dimasukkan sel, diperlakukan kasar,
bahkan diperkosa dan dipaksa untuk melayani militer-militer Indonesia di sana. Tak
jarang dari perempuan-perempuan tersebut melahirkan, membesarkan anak, dan
menyembunyikan traumatik mereka dari anak-anak dengan mengatakan bahwa ayah
mereka telah meninggal. Tak sedikit anak-anak yang kesulitan menurus akta
kelahiran, karena tidakjelasnya status sang ayah. Jika di lapangan terdapat
militer yang mati karena perang, kekejian tersebut akan dilampiaskan pada
perempuan-perempuan tahanan dalam sel. Bahkan, sempat terjadi dalam beberapa
bulan hingga dalam hitungan tahun, terdapat kesengajaan pengurangan makanan,
hingga terjadi kelaparan dimana-mana. Selama 24 tahun, kejahatan HAM tersebut
berlangsung. Tak ada media yang meliput atau memberitakan, karena seperti yang
kita tahu, presiden yang berkuasa selama 32 tahun tersebut membungkam media dan
berbagai kegiatan yang mengancam sekaligus membahayakan dirinya.
Timor Timur pernah akan
menjadi negara komunis dan bergabung dengan AS. Hal tersebut juga salah satunya
yang membuat ‘kita’ lebih keji untuk melakukan ‘apapun’ disana. Dan kita tahu, Indonesia
memiliki trauma besar terhadap PKI, organisasi besar sekitar tahun 1965 yang
menjadi momok karena paham komunismenya tersebut. Satu kesalahan besar: paham
ini dirasa mutlak menistakan agama (Islam) dan keyakinan bangsa. Sehingga buku,
dokumen, atau ajaran apapun tentang marxis dianggap anak jadah yang haram untuk
dibaca oleh putra-putri bangsa. Padahal, pemahaman kita akan marxisme: NOL. Karl
Marx mencipakan marxisme bukan untuk itu. Kita dicekoki citra buruknya tanpa
diberi kesempatan untuk membaca.
Chega!, sebuah catatan,
laporan akhir, dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) yang bekerja di Timor
Leste. Mandatnya yakni mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh semua pihak pada tahun 1974-1999. Dari Chega! kita dapat
menemukan cacatan kelam sejarah bangsa yang tidak pernah kita ketahui, dan
dibiarkan menguap selama puluhan tahun.
Kejahatan kemanusiaan tersebut
mungkin telah berlalu sejak puluhan tahun yang lalu. Beberapa kerugian juga
telah ditebus oleh pemerintah Indonesia. Kita mungkin tidak bisa mengembalikan atau
menghilang tuntaskan trauma warga Timor Leste atas masalalu mereka tersebut. Namun,
bukan berarti kita dapat dengan mudah melupakan dan meminta mereka untuk
memaafkan begitu saja.
Melalui pengalaman
kelam tersebut, semestinya kita dapat berlapangdada untuk mengakui
kesalahan-kesalahan di masa lalu, hingga dapat dijadikan pelajaran untuk
membangun bangsa ke arah depan yang lebih bermartabat. Dari mengusut tuntas
sejarah kelam tersebut, kita dapat belajar tentang satu hal yang pasti: agar
tidak ada lagi kejahatan-kejahatan HAM berseliweran dan berkelanjutan lagi di
negeri ini.
Kamis, 30 Oktober 2014
Dialektika Hindu Jawa dalam Serat Mi’raj
Di era modern ini, di
sejumlah museum-museum di Indonesia di simpan naskah-naskah lama tinggalan dan
warisan masyarakatnya. Naskah-naskah tersebut berasal dari puluhan bahkan
ratusan tahun silam. Naskah-naskah tersebut yang kemudian dikaji dan diteliti
oleh para akademisi, baik dari dalam maupun luar negeri. Beberapa waktu
terakhir, banyak dicari naskah-naskah oleh para pemburu naskah asing dari luar
negeri. Hal tersebut dikarena dalam naskah kuno terkandung suatu pengetahuan
dan warisan budaya suatu bangsa, yang mengandung banyak gagasan dan pemikiran,
yang juga memiliki implikasi dengan zaman modern ini.
Berdasarkan beberapa
penelitian yang telah dilakukan, naskah-naskah kuno tersebut memiliki peran dan
pengaruh cukup besar pada zamannya terhadap peradaban masyarakat dimana naskah
tersebut berada. Karya sastra termasuk naskah, merupakan salah satu media yang
mampu mengubah paradigma dan cara berfikir masyarakat secara missal, sehingga
kemudian dapat mengubah peradaban. Karena melalui gaya dan diksi yang tertuang
di dalam karya sastra, seseorang dapat memahami dan mengamini suatu cara
pandang tanpa adanya paksaan. Cara berfikir pengarang akan diikuti pula oleh
pembacanya. Apalagi jika karya sastra tersebut dijadikan pedoman tradisi secara
massal. Seperti pada Serat Mi’raj, serat
yang berasal dari Pamekasan Madura, yang pada masa lalu sering dibaca untuk
macapatan sebagai sarana memperkaya pengetahuan tentang Islam di masyarakat.
Sebelum Islam masuk ke
wilayah Jawa, Jawa memiliki tatanan masyarakat dengan peradaban mayoritas
Hindu. Kerajaan Hindu terbesar ketika itu ialah kerajaan Majapahit. Kemudian
karena beberapa hal, salah satu faktor utamanya karena perebutan kekuasaan, Majapahit
mengalami keruntuhan, yakni pada abad 13-15 M. Bersamaan dengan hal tersebut,
perlahan Islam masuk melalui para pedagang dari Gujarat. Islam masuk perlahan
dari wilayah pesisir yaitu utara Pulau Jawa. Dari wilayah pesisir itulah
perlahan Islam masuk ke wilayah selatan.
Tidak mudah mengubah
agama dan sistem kepercayaan masyarakat dari yang semula Hindu menjadi Islam. Apalagi
Hindu telah dianut oleh sebagian besar masyarakat sejak ratusan tahun lamanya. Agama
atau sistem kepercayaan mempengaruhi adat dan kultur masyarakatnya. Sehingga
agama mempengaruhi aktivitas yang terbentuk di dalam masyarakat. Seni dan sastra
adalah sarana yang efektif untuk memasuki adat dan kultur di dalam masyarakat. Maka
kemudian, Islam masuk salah satunya adalah melalui pengaruh karya sastra. Seperti
karya yang akan dibahas dalam tulisan ini, Serat
Mi’raj.
Serat
Mi’raj atau yang selanjtnya disingkat SM, memiliki pesan
dan nilai keislaman. Serat tersebut terbentuk berdasarkan dialektika antara
Hindu Jawa dan Islam. Islam berusaha memberi ajaran tentang nilai-nilainya tanpa
harus memberikan dogma yang bersifat memaksa. Melalui SM, masyarakat diajak
untuk memahami Islam tanpa paksaan. Salah satu caranya adalah dengan
mengakulturasikan antara cerita Hindu dan Islam. Cerita yang diambil adalah
Isra’ Mi’raj (dalam ajaran Islam) dan kemudian digubah menjadi Mi’raj Nabi. Dalam
Islam, Isra’ Mi’raj, Islam memberi pemahaman tentang surga dan neraka,
konsekuensi terhadap keduanya, serta tugas dan kewajiban seorang muslim melalui
utusan Allah yang bernma Muhammad.
Latar dan tokoh adalah
yang sangat pening alam usaha akulturasi di dalam karya sastra. Karena melalui
latar dan tokoh, orang akan lebih memahami secara konkrit alur cerita di dalam
karya sastra. Juga karena latar dan tokoh tersebut tidaklah asing dimata
mereka. Usaha pemberian pemahaman Islam terhadap masyarakat Hindu sejatinya
adalah pemberian pemahaman secara substansi atau nilai. Maka tak heran jika
beberapa cerita Islam kemudia sedikit mengalami perubahan nama, tokoh, atau
latar ceritanya ketika beredar pada masyarakat non Islam. Karena memang
pemahaman tentang keislaman disesuaikan dengan kultur dan adat masyarakat
setempat, tanpa meninggalkan pesan yang akan disampaikan. Substansi cerita
tetaplah bernash Islam.
Dalam SM, diceritakan
seorang nabi bernama Muhammad bertemu dengan bidadari dan melihat kehidupan surga
dan neraka. Ia juga ditemani oleh seorang bernama Jibrail (malaikat Jibril
dalam Islam). Kemudian diceritakan, ada kriteria perilaku masyarakat yang akan masuk
surga ataupun neraka. Misalnya, tokoh nabi Muhammad di dalam neraka menemui
seorang perempuan yang dipaksa untuk memakan daging mentah. Itu adalah
konsekuensi dari orang yang semasa hidupnya gemar membicarakan keburukan orang
lain. Diceritakan pula sang nabi bertemu dengan seorang perempuan tanpa baju
dengan bibir yang terpecah menjadi lima. Tokoh Muhammad bertanya kepada Jibrail
bahwa itu adalah konsekuensi untuk orang yang gemar mengumpat semasa hidupnya. Dari
cerita tersebut, Islam tidak memaksa masyarakat untuk memeluknya. Namun melalui
SM, berusaha dijelaskan bahwa terdapat kehidupan setelah kematian, yakni ada di
surga dan neraka, dan apa yang harus dijalankan manusia selama hidup di dunia.
Melewati wilayah
pesisit Jawa, Islam kemudian perlahan masuk dan menjadi agama baru yang dipeluk
oleh masyarakatnya. Kemudian banyak bermunculan pondok-pondok pesantren yang
menjadi pusat pendidikan agama Islam. Pondok-pondok pesantren tersebut menjadi
media bagi masyarakat untuk melek huruf. Dari pondok pesantren, orang kemudian
mengenal huruf-huruf pegon. Setelah itu, karya-karya sastra banyak bermunculan,
yang merupakan gubahan teks Jawa ke Islam. Isinya pun disesuaikan dengan kultur
dan budaya masyarakat setempat, dengan tujuan tetap yaitu memberikan paradigma
dan nilai-nilai keislaman.
Karya sastra menjadi
alat yang penting dalam proses akulturasi budaya. Seperti misalnya SM. Dengan
perpaduan diksi, latar, juga penokohan yang diterima sesuai kultur
masyarakatnya, seorang menjadi tidak merasa telah digurui dengan karya sastra
tersebut. Proses dialektika tersebut kemudian mampu membawa seorang Hindu untuk
masuk ke dalam Islam. Berdasarkan apa yang telah terjadi di masa lalu, melalui
karya sastra, peradaban besar Hindu Jawa dapat dipadukan dengan Islam. Dan
terbukti, Islam menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia saat ini. Di era
ini, tantangan bagi seorang muslim yaitu menggali kreativitas imajinatifnya
untuk menghasilkan karya-karya yang mampu memberikan pemahaman mengenai nilai
dan ajaran islam. Karena meskipun islam telah menjadi agama mayoritas, banyak
yang tak mampu meresapi ajarannya secara substansif. Apalagi di tengah jaman
modern yang semakin membuat keislaman seseorang perlu direvitalisasi kembali.
Rabu, 29 Oktober 2014
Museum Omah Munir
Kota
Batu terkenal dengan hawa dan suhunya yang dingin dan sejuk. Di kota inilah, lahir
sekaligus tinggal aktivis HAM yang kasusnya belum terselesaikan hingga saat ini,
Munir. Terletak di Jl Bukit Berbunga no 2 Sidomulyo, Batu, sejak Desember tahun
lalu, atas persetujuan keluarga dan berbagai aktivis didirikanlah museum Omah
Munir. Ini adalah museum yang mendokumentasikan kasus-kasus HAM pertama dan
satu-satunya di Asia Tenggara.
Sebelum
memasuki ruangan, pengunjung akan disambut dengan patung Munir sebagai simbolik
perjuangan HAM. Ruang utama berupa
display perjuangan Munir, yakni sinopsis kisah hidup Munir dan berbagai kasus
HAM yang pernah ia perjuangkan. di sisi lain terdapat dinding kisah Munir dan
keluarga. di sisi kanan raung utama, ditampilkan segala atribut yang digunakan
Munir ketika masa-masa perjuangannya dulu. Seperti jas almamaternya semasa
kuliah, sepatu yang dulu selalu ia gunakan dalam aktivitasnya ketika di
lapangan, kemeja yang digunakan ketika jumpa pers di mabes polri, SIM KTP STNK
dan paspor, jam tangan, bulpoin. Skripsinya yang
berjudul “Perlindungan
Hukum Terhadap Buruh dalam penetapan upah di perusahaan
industri:
studi di kota madya malang juga turut dipajang dalam museum ini. Selain itu, ada pula penghargaan-penghargaan yang pernah
diterima Munir semasa hidupnya. Museum ini juga dilengkapi dengan perpustakaan
atau ruang baca yang dapat digunakan pengunjung jika ingin melakukan kajian
atau riset tentang HAM dan penegakan hukum.
Kasus
Marsinah adalah kasus yang menjadi titik tolah perjuangan Munir dalam
mengentaskan kasus HAM di Indonesia. Sehingga dalam museum ini, ditampilkan pula foto
Marsinah dan deskripsi mengenai
kasus HAM yang menimpa dirinya.
Sekadar mengembalikan ingatan, Marsinah
adalah buruh pabrik yang berusaha memperjuangkan hak-hak buruh namun pada
akhirnya meninggal dibantai dengan sangat misterius.
Munir
merupakan aktivis HAM, yang berkecimpung mengentaskan permasalahan HAM di Indonesia yang
tak kunjung menemui titik
terang.
Museum Omah Munir didirikan dengan tujuan merawat ingatan kita tentang
perjuangan Munir dan Kemanusiaan. Museum Omah Munir adalah sebagai media untuk
menghidupkan semangat sekaligus mendokumentasikan problem-problem kemanusiaan
di Indonesia. Selain itu, Museum
Omah
Munir didirikan sebagai ruang budaya
untuk merawat kebebasan berfikir dan berekspresi. Untuk itu, Museum Omah Munir sangat terbuka bagi siapa saja yang
ingin menjadikannya
sebagai ruang diskusi.
Pada
mulanya, yang menggagas ide
didirikannya Museum Omah Munir adalah Suci, istri dari alm Munir. Dan kemudian ide tersebut didukung oleh kerabat
dan berbagai aktivis. Pada 7 September lalu, tepat 10 tahun kematian aktivis
Munir, di museum inilah diperingati 10 tahun kematian Munir, yang juga dihadiri
oleh beberapa aktivis,
budayawan, dan pegiat
perfilman. Diantaranya hadir pula Riri Riza, Mira Lesmana, Nia Dinata, dan juga Butet Kartaredjasa. Berbagai kegiatan
yang diselenggarakan diantaranya yaitu diskusi kasus-kasus HAM, pemutaran film
dokumenter, penampilan hiburan dan musikalisasi puisi, dan berbagai kegiatan
lainnya, yang masih dalam topik mengenang kasus-kasus HAM yang belum juga
terselesaikan hingga kini,
dan tak kunjung ada tindakan riil dari pemerintah untuk segera mengusut tuntas.
Seperti
halnya museum-museum yang lain, Museum Omah Munir ini bukan didirikan begitu saja tanpa adanya
kegiatan di dalamnya. Kegiatan rutin pada museum ini diadakah setiap bulan,
yakni pada tanggal 7 dan 8. Seperti
yang dijelaskan oleh Yuriko Abi Pratama selaku tim kreatif
dari Museum Omah Munir, yang perlu diketahui masyarakat, konsep dari
didirikannya museum Omah Munir ini
adalah menjadikannya
sebagai rumah yang mengabadikan perjuangan Munir menuntaskan kasus-kasus HAM. Tempat
diskusi kemanusiaan yang mencerdaskan. Dan bukan menjadikannya sebagai tempat
atau basecamp untuk membentuk massa yang
memusuhi golongan-golongan tertentu.
Sejauh
ini. Pendirian Museum
Omah Munir secara independen, tidak ada kerjasama
dengan pemerintah kota Batu atau permintaan sumbangan lainnya. Melainkan donatur yang bersifat sukarelawan. Museum Omah
Munir ini berdiri secara independen, tanpa adanya tendensi kepada pihak-pihak
atau golongan-golongan tertentu. Kedepannya, pengurus dari museum ini berharap
akan ada mata pelajaran atau pembelajaran pengenai pengetahuan akan penegakan
HAM pada siswa-siswa sekolah. Sehingga para generasi muda nantinya dapat
meminimalisir munculnya kasus-kasus HAM di Indonesia.
SEMANGAT KELAS INSPIRASI BLITAR DI SDN PENATARAN VI
Berbagai kegiatan yang
bergerak dalam bidang pendidikan banyak bermunculan saat ini. Baik dalam skala
besar, maupun skala kecil, yang diadakan komunitas-komunitas maupun mahasiswa
tingkat kampus misalnya. Salah satu dari berbagai kegiatan tersebut adalah
Kelas Inspirasi. Kelas Inspirasi merupakan kegiatan sosial yang bergerak dalam
bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar untuk anak-anak SD yang memberikan
pemahaman tentang pentingnya pendidikan dan juga beragamnya profesi di negeri
ini. Berangkat dari minimnya pengetahuan anak-anak tentang beragam profesi atau
cita-cita yang dapat ditempuh saat ini, Kelas Inspirasi menjangkau anak-anak
dari SD-SD terpencil di Indonesia. Program ini berusaha dilaksanakan di seluruh
kota di Indonesia bertepatan dengan hari sarjana, yakni pada 28 September. Kelas
Inspirasi yang dilaksanakan satu kali di tiap tahun, bermaksud mengajar sehari
dan menginspirasi seumur hidup.
Di Blitar, pada 2014, turut
serta diselenggarakan Kelas Inspirasi untuk pertama kalinya. Terdapat 9 SD
sasaran kegiatan. Masing-masing SD dialokasikan pengajar yang berbeda
jumlahnya, bergantung jumlah siswa yang ada. Rata-rata yakni 2 hingga 4
pengajar. Pengajar Kelas Inspirasi tersebut dipilih dari beragam profesi yang
ada di masyarakat. Terdapat perekrutan pengajar dan fasilitator atau yang
bertindak sebagai panitia dalam program Kelas Inspirasi ini.
SDN Penataran VI adalah
salah satu SDN di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar yang tergolong SDN terpencil.
SDN ini terletak di bagian utara perkebunan teh yang ada di Penataran. Terdapat
tiga gedung dalam sekolah ini. Secara kepemilikan tanah, SDN ini dibangun di
atas tanah milik pemerintah atau milik pabrik. Begitupun dengan masyarakat
sekitar. Mereka tidak memiliki hak tanah, karena tanah yang mereka tempati
adalah milik pabrik. Mayoritas walimurid bekerja di kebun atau sebagai
penambang pasir. Untuk menjangkau wilayah SD ini harus melewati hutan dan
daerah penambangan pasir terlebih dahulu.
SDN yang berdiri sejak
tahun 1986 ini memiliki jumlah murid yang sangat minim. Yakni 20 siswa
keseluruhan. Dengan rincian tiga murid di kelas I, tiga murid di kelas II,
empat murid di kelas III, empat murid di kelas IV, tiga murid di kelas V, dan
tiga murid di kelas VI. Jumlah murid memang sangat minim, karena jumlah kartu
keluarga (KK) dalam wilayah SDN ini hanya sejumlah 92 KK. Salah satu faktor
karena terbatasnya murid, kegiatan belajar mengajar di SDN ini hanya
dilaksanakan dengan tiga ruang kelas, dengan satu ruang untuk dua kelas
sekaligus. Proses kegiatan belajar mengajar yaitu kelas I digabung dengan kelas
II, dan seterusnya. Sehingga hanya ada tiga ruang kelas.
Ketika Kelas Inspirasi
Blitar berlangsung, SDN ini tengah mengalami transisi kepala sekolah. Yakni
kepala sekolah yang lama Ibu Masfuroh diganti dengan kepala sekolah yang baru
Bapak Yunito Susilo. Ada sejumlah lima guru dan satu kepala sekolah di SDN ini.
Satu guru diantaranya merangkap dengan SDN lain, yakni SDN Penataran 2.
Nama-nama guru tersebut yaitu Bapak Zakaria, Ibu Nur Widya Wati, Ibu Putri
Insri Praditya, Bapak Hadi Agus Nurhalim, dan Ibu Herin Puji Astuti yang
merupakan guru agama yang merangkap
mengajar.
Kelas Inspirasi Blitar
yang diadakan di SDN Penataran VI terdapat dua pengajar dengan dua profesi yang
berbeda. Yakni Bapak Budi yang berprofesi sebagai PNPM Mandiri, dan Mbak Prima
sebagai Event Organizer (EO). Selama kurang lebih 45 menit, masing-masing
pengajar memberikan pemahaman tentang profesi mereka dan perannya di
masyarakat. Cara mengajar merekapun, tentu disesuaikan dengan pemahaman
anak-anak SD. Setelah kedua pengajar menyampaikan materi mereka, kemudian
diadakan berbagai pertanyaan untuk anak-anak dan pemberian hadiah-hadiah kecil.
Di akhir kegiatan, anak-anak menulis cita-cita mereka dalam lembar-lembar
kertas warna dan menempelkannya di dinding kelas. Bagian ini dimaksudkan agar
mereka selalu ingat cita-cita mereka setiap hari dan selalu termotifasi dan
giat untuk belajar.
Kelas Inspirasi
berusaha hadir di tiap tahunnya, menginspirasi untuk anak-anak generasi penerus
bangsa. Salam inspitasi J
Sastra “Kabur Kanginan” Seorang Pembecak Cak Mad dalam Sumpah Pemuda
Sore hari menjelang
senja, tak kurang dari 10 mahasiswa melakukan aksi membacaan puisi di depan
gedung Rumah Kebudayaan Universitas Airlangga. Dengan gaya ala seniman
sekaligus sastrawan, dengan didekorasi becak juga poster dan pamphlet-pamphlet
besar, acara tersebut berlangsung selama lebih dari dua jam. Ternyata atas ide
dan inisiatif dari seorang Madi Omdewo, pegiat sastra yang telah menghasilkan
buku antologi puisi berjudul 99 Antologi
Becakan. Ia ternyata adalah seorang tukang becak, yang memiliki semangat
membecak sekaligus menulis puisi sejak 2004 silam. Kegiatan tersebut
dimaksudkan dalam rangka peringatan hari sumpah pemuda sekaligus bulan bahasa.
Ia mengundang siapapun
mahasiswa yang tertarik meramaikan acara untuk turut serta membacakan puisi.
Judul brosur yang ia sebar unik, Tukang
Becak Membaca Karya Sastra. Pada kesempatan inilah kemudian datang dan
turut meramaikan acara yakni mahaiswa yang mayoritas dari prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Unesa. Secara bergantian, mereka melakukan pembacaan puisi
dan juga diselingi dengan nyanyian. Rombongan mereka sebelumnya juga aktif dalam
kegiatan serupa yang sebelumnya diadakan di depan gedung DPRD, atau peringatan
10 November, dan beberapa peringatan hari nasional yang berkaitan dengan keIndonesiaan.
Komunitas mereka juga biasa melakukan diskusi sastra dan budaya.
Momen ini, momen dimana
sumpah pemuda diperingati, Madi Omdewo atau yang lebih akrab disapa Cak Mad,
bemaksud menggugah semangat para pemuda agar lebih peka terhadap kondisi
masyarakat saat ini. Dalam perjalanannya Cak Di telah menghasilkan ratusan
puisi, baik yang telah dibukukan maupun yang masih berupa naskah mentah dalam tulisan
tangan. Antologi puisi 99 Antologi Becakan
merupakan antologi puisinya yang pengantarnya ditulis oleh Tri Rismahandini, Walikota
Surabaya, dan Bramantio, salah seorang dosen Sastra Indonesia Universitas
Airlangga. Sebelumnya, Cak Di pernah melakukan pembacaan puisi di depan DPRD
selama 36 jam dengan peringatan acara yang sama. Setiap kegiatan kesusastraan
yang ia lakoni ia sebut sebagai Sastra
Kabur Kanginan. ‘Kabur’ karena kegiatannya tersebut ada dimana-mana yakni
di warung kopi, jembatan, jalan. Dan dengan ‘kanginan’ akan banyak reverensi
yang masuk supaya banyak dijadikan ide untuk menulis.
Madi Omdewo adalah
seorang tukang becak, yang dalam resahnya ia hasilkan puisi-puisi di tiap
malamnya. Anda yang tiap sore hari terbiasa naik becak di daerah Surabaya
bagian Utara, khususnya di daerah Jembatan Merah atau Embong Malang, mungkin
tak asing dengan sosok Cak Mad. Sejak ia beralih profesi dari tukang foto
keliling mnjadi tukang becak, sejak 2004 lalu, ia telah aktif menulis puisi.
Baginya, menulis adalah seperti orang lapar, adalah kewajiban di tiap harinya. Meskipun
menurutnya saat ini, profesi tukang becak telah digerogoti oleh dua hal, yakni
keberadaan handphone dan pembelian
sepeda motor yang semakin dipermudah. Itu adalah dua hal yang membuat tukang
becak sepi peminat.
“Ya beginilah cara kami
memperingati hari sumpah pemuda. Dan harapan kami untuk generasi muda khususnya
mahasiswa, apresiasilah hal atau karya yang berkaitan dengan peringatan
hari-hari (pergerakan) nasional, khususnya yang saat ini terjadi yaitu hari sumpah
pemuda” tutur Soni, seorang mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa.
Harapan Cak Mad untuk
pemuda khususnya mahasiswa, adalah dengan peringatan sumpah pemuda ini
jadikanlah semangat untuk terus rutin membaca. Dengan proses pembacaan itulah
akan lahir ide-ide dan tulisan-tulisan yang nantinya akan menjadi karya yang
bermakna. Pada kegiatan selanjutnya, Cak Mad berencana mengadakan kegiatan
serupa pada 10 November yang bertepatan dengan hari Pahlawan Nasional. Kegiatan
tersebut akan diramaikan oleh komunitas Music
Time yang akan dilaksanakan di Balai Pemuda dan melibatkan pecinta seni. Beberapa
kegiatan yang akan dilakukan yakni teatrikal, monolog, baca puisi, nyanyi,
memajang lukisan, dan berbagai kegiatan mengenai sastra dan budaya.
Senin, 25 Agustus 2014
Sekapur Sirih Mengenal Tuhan dan Perbedaan
Ada pepatah pernah
bilang, “Dunia ini seperti buku. Mereka yang tak membaca seluruhnya, hanya akan
berhenti pada satu lembar saja”
Terkadang, dalam banyak
hal kita sangat tidak sopan dalam menilai orang lain. Menilai dari kaca mata
pribadi. Yang lebih buruk lg, menaruh prasangka tak baik karena beberapa hal
tanpa menilainya dari sebab dan sudut pandang tertentu. Seringkali kita lebih
pilih-pilih dalam beteman atau menjalin relasi dengan orang lain. Kita terlalu
angkuh untuk mau rendah hati.
Aku ingat, dulu waktu
masih berada di bangku sekolah, orang-orang tua suka sepihak dalam menilai
orang lain. Memberi arahan untuk jangan berteman dengan si A karena alasan
tertentu. What the hell, honey??
Tuhan menilai tingkat
ketaatan seseorang beda-beda, berdasarkan dari ‘strata’ mana ia. Maka, kadang
dalam cerita nabi, ada ketaatan seorang yang sudah melangit, namun itu semua
gugur babar bar hanya karena secuil sebab. Tak ada yang menjamin kebenaran yang
diakui banyak orang adalah juga mutlak kebenaran Tuhan.
Bukan
yang tiap hari pergi ke masjid, taat sembahyang, tapi buta perbedaan.
Seorang muslim selalu
disarankan untuk berkumpul dan bergaul dengan sesama muslim lainnya. Karena
dengan begitu, tingkat ‘keimanan’ akan terjaga dan selalu bertambah. Namun, tak
ada alasankah baginya untuk mengenal pelacur, pemabuk, seniman, pecandu??
Adakah alasan lain agar tak harus ada kata ‘menghindar’??
Seorang yang kaya atau
pengusaha mungkin dianjurkan untuk bergaul dengan sesamanya, kelompok-kelompok
elit dan ternama. Karena dengan begitu, mereka mampu membangun relasi dan
mengembangkan yang ia miliki. Namun, tak ada alasankah baginya menyentuh rakyat-rakat
jelata?? Kelompok minoritas.
Seorang intelek dalam
perjalanannya mungkin akan selalu bergaul dengan sesamanya. Kelompok terpelajar
yang akan mengenyam bangku-bangku pendidikan. Karena dengan begitu, tingkat
keilmuannya akan bertambah. Tak ada alasankah baginya untuk menyentuh orang-orang
desa, pesisir, pedalaman, orang rimba, buta aksara?
Samasekali tak ada
alasan yang kita punyai untuk menolak berkawan dengan berbagai macam tipe dan
strata sosial orang. Apalagi membenci atau tak menyenangi pihak-pihak yang lain.
Tuhan tidak menciptakan hitam dan putih untk saling bertentangan.
Tuhan mencipta ilmu
agar ilmu itu berfungsi. Bukan terus dikembangkan namun tanpa bukti yang pasti.
Tuhan menciptakan baik dan buruk agar manusia paham, bahwa ada ‘buruk’ karena
agar ‘baik’ berfungsi.
Kamis, 14 Agustus 2014
Nginang
Aku
selalu senang mendengarkan nenek-nenek bercerita. Apalagi sambil rewel tanya
ini itu, seperti kanak-kanak yang senang didongengi. Namanya Mbah Kamsini. Tapi
aku biasa memanggilnya Mbok Ni.
Memerhatikan
gayanya bercerita adalah yang paling menyenangkan. Memerhatikan gigi-giginya
yang masih kuat meski ia sudah berusia tua. Seperti alm. nenek dari keluarga
ibu, Mbok Ni suka menginang. Bahkan sejak ia masih muda dulu. Kebiasaan
menginang banyak dilakukan nenek-nenek seusianya. Membungkus gambir dan njet dengan lipatan daun sirih, kemudian
mengunyahnya sampai halus. Beberapa orang meludah dan membuangnya setelah terkunyah
halus, namun ada pula yang kemudian menelannya. Kebiasaan ini biasa dilakukan
setiap hari.
Samar-samar
aku ingat. Dulu sewaktu berada di rumah nenek, nenek suka nginang di mbale (rumah
bagian depan) sambil mengerjakan ini itu yang tak begitu berat. Atau sambil
bercengkerama dan bercerita kepada cucu-cucunya. Barangkali, nginang menjadi kebiasaan sejak jaman
dahulu karena khasiatnya yang dapat menguatkan gigi. Dalam ilmu kimia, bahan-bahan
untuk menginang memang memiliki khasiat tertentu. Njet misalnya. Endapan dari gamping atau batu kapur ini mengandung
kalsium karbonat yang dapat menjadi elemen penguat. Sedangkan gambir sebagai
bahan obat tradisional, sebagian orang memanfaatkannya untuk obat batuk. Daun
sirih memang terpercaya sebagai penguat gigi.
Menurutnya,
Mbok Ni sudah terbiasa nginang sejak
ia masih muda, sejak masih jaman Jepang dulu. Waktu itu ia bekerja sebagai
buruh pemetik rami, tumbuhan yang batangnya dijadikan serat untuk pembuat tali,
jala, dsb. Meskipun dikata waktu itu jaman penjajahan (Jepang), di desa dulu
aman, katanya. Tak pernah sedikitpun ada peperangan. Tapi kehidupan berjalan
lamban, tak seperti sekarang. Orang-orang juga manut, tak banyak tingkah, tak
banyak-banyak maunya.
Meski
sekarang tak lagi nginang, tapi
gigi-gigi Mbok Ni masih kuat. Rasa gambir sekarang tak enak, katanya. Tak
alami. Berjalan kaki ke pasar sambil membawa rinjing di punggung menjadi
kebiasaannya setiap pagi. Menjual sayur-sayuran dan kelapa. Orang-orang desa
yang berpapasan dengannya dan mengendarai sepeda motor kadang suka mencangkingnya. Meski ia suka pikun dan
lupa lelaki mana yang memboncengnya tadi.
Aku
selalu senang mendengarkan nenek-nenek bercerita, menceritakan jaman-jamannya
dulu. Seperti Mbok Ni. Janda tua yang kini hidup sendiri. Nenek tua yang kuat.
Kelak
ketika aku bercengkerama dengan Mbok Ni lagi dan didongenginya lama-lama, aku
akan bercerita lagi padamu.
Kamis, 07 Agustus 2014
Memahami ‘maaf’
Ketika kau mengucap ‘maaf’, seyogianya kau paham dari dasar hatimu bahwa ada tekat yang lebih setelah kata itu kau ucap. Seyogianya kau paham, bahwa kata ‘maaf’ hanyalah simbolis. Tanda bahwa kau akan memperbaiki.
Seperti
halnya momen reuni ataupun halalbihalal. Disana akan kau temui betapa kata
‘maaf’ sangat remeh untuk diucapkan. Namun apa kau paham bahwa Roqib Atid tengah
sedang mengawasi dan mencatat amal-amal mereka selanjutnya? Lalu apa gunanya
jika setelah kata ‘maaf’ itu kau ucap, kau pulang dengan gelembung-gelembung di
dadamu yang akan melunturkan ‘maaf’mu itu. Kau pulang dengan atribut sombong
dan pongah yang melekat. Maaf yang mana jika ketika kau pulang, hati dan
bibirmu tak henti untuk mencibir (lagi)?
Lalu,
apa kau akan berulang-ulang dengan remeh mengucap ‘maaf’, dan kemudian salah khilaf
itu tetap saja kau lakukan?
‘Maaf’
hanya perkara simbol, tanda, lambang. Bahwa dengan kata ‘maaf’ yang telah kau
ucap, kau mengisyaratkan pada yang lain bahwa kau akan memberi bukti, ada perbandingan
sebelum dan setelah ‘maaf’ itu kau ucap.
Sia-sia
saja jika ‘maaf’ itu kau ucap namun kau akan mengulangi hal-hal yang sama.
Hingga yang ada hanyalah, serentetan ‘maaf’ berulang tanpa makna.
Langganan:
Postingan (Atom)