Selasa, 08 Mei 2018

Tak Kenal Budaya Marung

Masakan rumahan. Sumber: Google.

Sore tadi aku makan di kos. Sambil nyeruput kuah sayur bening lauk tongkol, aku mbatin, “Iya ya. Kenapa tadi nggak makan di warungnya aja ya?”

Hari ini aku nggak ngantor. Selain karena kurang enak badan akibat boyok’en, ingin menikmati selonjoran di kos sambil leha-leha. Meski puluhan pesan Whatsapp tak terelakkan akibat kantor yang lagi hectic-hectic-nya.

Setelah mbungkus makan dari warung Buk Mar, pulang dan makan di kos. Padahal, warung Buk Mar mepet banget sama kos. Kok ya sempatnya aku ganti baju, mbungkus makan, lalu pulang lagi untuk makan. Kenapa nggak sekalian makan di sana aja, coba.

Bisa jadi ini alam bawah sadar akibat tradisi di rumah.

. . .

Aku dibesarkan di tengah keluarga yang nggak punya tradisi marung, makan di warung. Hingga umur 25 tahun ini, kalau tidak salah ingat, belum pernah aku makan bersama bapak ibu di sebuah warung dengan sengaja.

Bapak membiasakan kami sekeluarga untuk menjalankan sholat fardhu berjamaan di rumah. Sehingga, hampir tidak pernah, kami menjalankan sholat di luar rumah. Kecuali saat-saat tertentu dalam acara sekolah atau keluarga, misalnya.

Sementara ibu, mendidik kami untuk tidak makan di luar rumah. Ia selalu bertanya “Makan dimana tadi?” ketika kami pulang rumah terlambat. Entah bagaimana Ibu selalu ‘memantau’ dimana kami makan.

Akupun masih ingat. Saat usia sekolah, tidak boleh nenteng tas sebelum sarapan. Maka itu, meski sudah usia SMA, ibu masih saja suka ndulang (baca: nyuapi) anak-anaknya. Pun, keluar rumah sebelum jam makan siang dan kembali melebihi waktu sholat maghrib, hampir mustahil kami lakukan. Makan seakan menjadi waktu Ibu untuk mengabsen kami.

Aku jadi ingat, waktu itu ibu pun ngasih uang saku ngepres. Sehingga kalau makan di luar rumah, sudah bisa dipastikan kami nggak bisa jajan. Belakangan ketika mulai merantau aku baru tahu bahwa tak semua teman-teman merasakan hal ‘beruntung’ itu.

Tahun berganti tahun. Rupanya, kebiasaan 'nggak pernah marung' itu belum sepenuhnya hilang. Hampir 7 tahun hidup di Surabaya dengan kos tanpa dapur, alih-alih makan enak di warung tanpa ribet cuci piring, aku lebih suka mbungkus dan makan di kos. Padahal yaa, di kos juga makan sendirian.

(*)

Minggu, 25 Maret 2018

Di antara Sekian Banyak Kejahatan di Muka Bumi Ini, Yakinlah Bahwa Masih Banyak Orang Baik


Sumber gambar: google



Di antara hal-hal konyol yang saya lakukan beberapa kali di minggu ini, membuntuti laki-laki, tepatnya bapak-bapak cukup tua, adalah salah satunya. Akhir pekan minggu lalu saya pergi ke mangrove Wonorejo, Surabaya, sekitar 12 km jaraknya dari tempat saya kos. Saya ke sana sendirian, hanya untuk menikmati naik perabu melintasi hutan mangrove, membawa bekal, membaca edisi khusus hari Minggu dari salah satu koran nasional, tidur, naik perahu lagi dan kembali ke kos. Saya sendirian di antara rombongan lain yang sengaja piknik.

Kembali ke, membuntuti seorang bapak-bapak tua.

Satu di antara sistem pemesanan tiket kereta api yang tidak manusiawi bagi saya adalah membuat orang menunggu, mengantre berjam-jam hanya untuk mendapatkan tiket kereta api lokal rute Blitar-Surabaya dan sebaliknya. Ini yang saya lakukan setiap ingin pulang ke kampung halaman menggunakan fasilitas kereta api.

Pagi tadi, setelah menyelesaikan cucian dan kemudian mandi, pukul 7 saya bergegas menuju Stasiun Surabaya Kota, atau orang biasa menyebutnya Stasiun Semut. Saya sudah memikirkan ini sejak semalam. Mencuci pakaian pagi-pagi, lantas pergi ke stasiun untuk memesan tiket agar tidak kehabisan. Saya berencana pulang minggu depan. Selain karena long weekend tiga hari, ada sepupu yang melangsungkan pernikahan. Juga ada tante beserta anak cucunya yang datang jauh-jauh dari Jakarta.

Benar saja. Pukul setengah delapan kurang saya sampai di stasiun, saya mendapat nomor antrean 181. Saya berpikir mungkin orang-orang sudah ‘ngejib’ nomor antrean sejak subuh tadi. Dalam beberapa pengalaman, dengan nomor antrean sekian, mungkin mendekati jam 2 siang nomor saya baru dipanggil.

Saya suka jengkel tentang hal ini. Orang harus menunggu selama itu, di tengah hari Minggu yang menjadi hari satunya-satunya libur bagi sebagian besar para pekerja swasta, demi untuk bisa menggunakan salah satu transportasi mode kereta api.

Sambil mengisi formulir, tiba-tiba seorang laki-laki, tepatnya bapak-bapak, yang berdiri tak jauh di depan saya menyodorkan selembar nomor antrian. Saya spontan terkejut, juga senang melihat nomor antrean tertulis 141.

Aku: “Whaaa, Bapak ini buat saya?”

Si bapak mengangguk dan tersenyum. Lumayan, beberapa puluh nomor lebih cepat dari nomor antrean yang saya dapat. Lalu ia menanyakan beberapa pertanyaan klise.

Bapak: “Mau ke mana, Mbak?”
Aku: “Ke Blitar, Pak.

Belum puas dengan jawaban saya, si bapak bertanya lagi.

Bapak: “Blitar mana, Mbak? Buat tanggal berapa?”
Aku: “Hari Minggu, Pak. Tanggal sekian.”
Bapak: “Sama, Mbak, saya juga. Pesan pakai formulir saya saja, Mbak, nomor antrean saya 25.”


Sebetulnya saya sangat senang menerima tawaran itu. tapi saya menolak halus karena saya berencana membeli dua tiket, satu untuk saya dan satu untuk teman saya. Formulir si bapak hanya cukup untuk satu nama saja, tak bisa menambah penumpang lain. Tapi, si bapak memaksa memasukkan nama teman saya. "Njajal mbak siapa tau bisa". Kata dia kekeuh.

Singkat cerita. Si bapak memasukkan nama saya di formulirnya. Lalu, nama teman saya, ia titipkan di formulir pemesan lain yang duduknya berdekatan dengan tempat si bapak duduk. Yang benar saja. Saya benar-benar sungkan. Saya sudah menolaknya tapi si bapak memaksa. “Kasihan temannya Embak.” Padahal doi gak kenal, gaes. .

Beberapa kali saya mengucapkan terimakasih dan meminta maaf karena telah membuat repot. Beberapa kali pula si bapak bilang tidak masalah. “Nggakpapa, Mbak. Saya malah senang kalau bisa membantu,” katanya. Saya cuma bisa terenyuh.

Di sela-sela obrolan, si bapak bilang bahwa dirinya bekerja di percetakan yang terletak di daerah Kenjeran. Keluarganya tinggal di salah satu desa di Blitar. Sekali dalam dua minggu ia pasti pulang. Sabtu sore sepulang kerja, dan kembali ke Surabaya pada Minggu sore.

Bapak: “Tapi dua minggu setelah minggu depan nanti nggak pulang, Mbak. Karena belum gajian. Hehe,” ucapnya sambil tersenyum.

Kira-kira pukul 10 antrean si bapak dipanggil. Beberapa saat setelah memberikan tiket kepada saya, si bapak menyalami saya, lalu kami berpisah. Saya menuju parkir sepeda motor, sementara si bapak, entah dimana. Saya sempat memerhatikan seluruh sisi tempat parkir motor, tapi tidak mendapati beliau. Saya cuma mbatin, “Naik apa si bapak tadi?"

Selesai di situ, dengan perasaan riang gembira saya meninggalkan stasiun. Saya pun sudah melupakan kemana si bapak pergi. Masih beberapa meter berjalan, ndilalah di depan, saya melihat si bapak ngonthel.

Mendadak hati saya nelongso. Jauh-jauh dari Kenjeran ke stasiun Surabaya Kota dengan naik sepeda onthel. Saya tak banyak pengetahuan tentang jenis sepeda yang ia gunakan. Yang pasti, di antara ratusan pengguna jalan hari itu, hanya dia yang mengayuh sepeda. Hiruk pikuk jalanan, di antara ratusan orang yang sibuk dengan urusannya, pengendara yang gemar sekali menainkan klakson usai lampu hijau menyala, si bapak dengan mantap mengayuh sepeda lagi dan lagi.

Hati saya makin tak karuan

Saya tak tahu perasaan apa yang menyelimuti saya. Di tengah terik panas udara Surabaya, saya membuntuti si bapak melintasi berbelok-belok jalan raya. Saya tak banyak ingat jalan apa saya yang kami lalui. Kalau tidak salah ingat, Jl Kapas Krampung, Jl Kenjeran, dan Jl Lebak Jaya. Di tengah terik udara Surabaya yang panas. Beberapa kali saya berhenti, hanya agar si bapak tidak mengetahui keberadaan saya yang naik sepeda motor di belakangnya.

Setelah berbagai jalan terlalui, akhirnya, si Bapak berbelok pada gang kecil bertulis Lebak Jaya II. Saya pun menghentikan pembuntutan (eh kok pembuntutan ya ☹ ) Setelah pulang ke kos, saya cek di google bahwa jarak itu 6.1 km. Hampir serata dengan jarak rumah saya ke SMA di Blitar, hampir setara jarak rumah ke sawah sewaan tempat Bapak bekerja ketika saya masih kecil.

Seorang laki-laki tua, jauh-jauh dari sebuah desa di Blitar merantau di Surabaya, memesan tiket kereta api untuk menuntaskan rindunya dengan keluarga dan kampung halaman, dengan naik sepeda onthel. Apa, itu satu-satunya alat transportasi yang ia punya?

Sepanjang perjalanan ke kos saya melamun, lebih tepatnya pikiran saya nggrambyang entah kemana. Di tengah jalan, di tengah padatnya lalu lintas Surabaya, lagi-lagi ada keyakinan yang menguat: betapapun banyak kejahatan di muka bumi ini, yakinlah bahwa masih banyak orang baik.

Jumat, 16 Maret 2018

Mengungkap Tragedi 98 Lewat Laut Bercerita

Sumber: salihara.org



Pernahkah anda membayangkan, orang terdekat anda, mungkin kakak, adik, saudara, bahkan anak, (di)hilang(kan) dan tak pernah kembali lagi? Jika masih hidup, ada dimana dia? Jika memang telah meninggal, dimana jasadnya dikuburkan? Adakah yang lebih menyedihkan dari menunggu sesuatu tanpa kepastian?

Leila S. Chudori menggambarkan cerita dengan sangat apik lewat novel Laut Bercerita. Novel yang kemudian difilmkan ini disambut antusias dalam diskusi-diskusi yang digelar di beberapa kota di Indonesia. Saya termasuk salah satu yang antusias membaca novelnya, mononton filmnya, dan mengikuti diskusinya.

Di kampus tempat saya kuliah, usai pemutaran film, suasana haru menyelimuti ratusan peserta, para penulis buku, saksi hidup, juga orangtua yang datang. Laut Bercerita berdurasi 30 menit, berkisah tentang seorang tokoh bernama Biru Laut, aktivis mahasiswa yang mati sebelum akhirnya disiksa berbulan-bulan dan ditenggelamkan ke dasar laut.

Film yang kemudian dibintangi oleh Reza Rahadian, Dian Sastrowardoyo, Ayushita Nugraha, dkk itu didiskusikan di FISIP dan dibedah bukunya di FIB UNAIR. Sebagai penulis, Leila mengaku, UNAIR dipilih sebagai kampus roadshow mengingat ada kaitan sejarah dengan novel yang ia tulis. Ialah Bimo Petrus Anugrah dan Herman Hendrawan, aktivis mahasiswa asal FISIP UNAIR yang hilang.

Tentang Novel dan Film

Novel ini ditulis Leila dengan penceritaan yang sangat detail. Beberapa kali saya ngilu membaca bagian penyiksaan, juga keluarga yang pilu menunggu anaknya pulang, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Bahkan saya merasakan kecemasan berhari-hari usai membaca novelnya. Merasakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi kita hari ini salah satunya ditebus oleh perjuangan para aktivis mahasiswa.

Bagaimana tidak. Novel ini ditulis hampir 10 tahun lamanya. Dalam risetnya, mulanya Leila melakukan in-depth interview terhadap Nezar Patria, salah satu aktivis yang sempat diculik dan disiksa, hingga kemudian dibebaskan.

Leila juga mengunjungi Blangguan, Situbondo, dan hamparan tanaman jagung agar bisa membayangkan bagaimana perjuangan kelompok mahasiswa membela petani yang lahannya akan digunakan sebagai lapangan latihan militer.

Laut Bercerita adalah novel kedua Leila setelah Pulang, novel yang juga mengisahkan tragedi pilu dengan latar peristiwa tahun 1965. Leila menuturkan, setiap penulis harusnya selalu menekankan kemanusiaan dalam setiap karya-karya mereka.

Sementara dalam film, karena keterbatasan durasi dan tentu sebuah film tidak akan bisa menggambarkan semua isi dalam buku, Laut Bercerita cukup bisa divisualisasikan dengan apik hingga merasuk ke dalam emosi penonton. Tak sedikit peserta dalam diskusi menitikan air mata dalam beberapa scene yang haru.

Dalam kesempatan itu, saya cukup merinding mendengar pernyataan D. Utomo Rahardjo ayah Bimo Petrus di hadapan ratusan mahasiswa dan para pembicara.

31 Maret nanti genap 20 tahun saya berjuang malang melintang bolak-balik Malang, Surabaya, Jakarta, untuk mencari keadilan di negeri ini. Saya tidak berharap anda menjadi Bimo Petrus atau Herman. Tapi paling tidak, mahasiswa tahu bahwa di kampus UNAIR ini, pada saat itu, ada anak-anak yang berani melawan arus dan memperjuangkan hak-hak dari mereka yang terpinggirkan," kata Bapak Oetomo.

Bersamaan dengan rasa haru, pernyataan itu diikuti riuh tepuk tangan seisi ruangan.

Barangkali, kita semua tidak bisa mengembalikan 13 aktivis dan belum ada penjelasan dari pemerintah terkait hilangnya mereka. Namun, dengan membaca dan menonton Laut Bercerita, paling tidak kita yang mungkin belum cukup umur untuk mengerti peristiwa yang terjadi ketika itu, bisa memiliki gambaran tentang peristiwa tahun 98.

Kini, perjuangan mungkin bukan lagi untuk melawan orde baru. Usai melihat kenyataan bahwa bangsa ini pernah melakukan kejahatan bahkan kepada rakyatnya sendiri, mungkin dengan jengkel sebagian masyarakat/mahasiswa akan bertanya, “Lantas, perjuangan seperti apa yang sebaiknya kita lakukan?

Menurut hemat saya, perjuangan para pemuda kini adalah memperjuangkan cita-cita sesuai passion yang ia miliki. Pengajar, penulis, pejuang HAM, apapun. Berjuang dalam koridornya masing-masing untuk perbaikan bersama bangsa ini. Sehingga kelak, melalui generasi yang terus belajar dan membangun, negara ini akan berjaya pasa saatnya.

*Dipublikasikan di Harian Surya, 15 Maret 2018

Rabu, 07 Maret 2018

Perihal Larangan Mahasiswa Bercadar

Sumber gambar: pixabay



Beberapa hari yang lalu, ramai beredar di media sosial tentang larangan mahasiswi bercadar ketika melakukan aktivitas di wilayah kampus. Ialah rektor universitas Islam negeri di Yogyakarta. Kota pelajar yang bahkan, dikenal memiliki kemajemukan masyarakat yang tinggi.

Sekilas saya mengikuti dari portal berita yang muncul di time line akun Twitter. Perihal hal ini, saya sangat setuju dengan tanggapan rektor tempat saya kuliah dan bekerja. Usai konferensi pers penganugerahan gelar doktor kehormatan Dato’ Sri Tahir -laki-laki berdarah tionghoa terkaya nomor lima di Indonesia- rektor mengatakan bahwa sejauh ini, kampus yang ia pimpin tidak/belum memiliki aturan terkait mahasiswi bercadar di lingkungan kampus.

Saya mungkin di antara yang cukup lega dengan pernyataan rektor. Sebab, cadar adalah hak perpakaian setiap perempuan beragama Islam yang melakukan. Hak atas keputusan memakai cadar bagi saya sama halnya dengan keputusan untuk berhijab maupun tidak. 

Islam memang memiliki aturan tentang cara berpakaian. Bahkan dalam fiqih islam, ada mazhab yang mewajibkan perempuan untuk bercadar. Namun, institusi pendidikan di bawah pemerintahan, apalagi di Indonesia dengan masyarakat yang multikultur, semestinya lebih dewasa dalam membaca perilaku akademisi yang bernanung di dalamnya. Termasuk, pilihan untuk menggunakan cadar.

“Yang harus kita cermati adalah ideologi di balik cadar yang ia pakai,” begitu kata Pak Rektor.

Barangkali, kesalahan dari sebagian masyarakat adalah menjustifikasi perempuan bercadar dengan kepemilikan ideologi radikal. Bagi saya pribadi, sepanjang yang bersangkutan tidak terlibat dalam gerakan tertentu yang bersifat radikal dan mengancam kebinekaan, berpakaian menggunakan cadar adalah hak, adalah kebebasan yang tak semestinya dibatasi.

Selasa, 06 Maret 2018

Surat Cinta Buat Dedek Gemes yang Mau dan Sedang Kuliah di Semester Awal

Sumber: pixabay



Pertama-tama, saya menulis ini karena ingin berbuat baik. Tak ingin bahwa apa yang pernah dialami mas dan mbak senior di perkuliahan terulang kembali kepada adik-adiknya.

Terutama, pada adik-adik yang sedang mempersiapkan diri memasuki bangku perkuliahan, juga untuk adik-adik mahasiswa yang saat ini sedang berada di semester awal perkuliahan. Agar apa? Agar supaya tak terperosok di lubang yang sama, mungkin, seperti senior-senior yang sudah-sudah.

Saya adalah alumnus mahasiswa jurusan sastra. Tepatnya sastra Indonesia. Seperti stereotipe yang berkembang di masyarakat, anak sastra itu nyeleneh dan absurd. Beda dengan yang lain. Dan penilaian itu tak sepenuhnya salah.

Sejak jaman baheula oleh kakak-kakak senior, kami, tepatnya saya dan mahasiswa sastra yang lain, dididik untuk nyeleneh, nyastra, ‘anti kemapanan’, beda dari yang lain pokoknya. Kami di-umbah sejak baru masuk kuliah. Sejak ospek malah. Oleh senior-senior yang dihimpun dalam organisasi himpunan mahasiswa.

Nah, artikel ini akan membahas kurang lebih tentang alasan Mengapa mahasiswa (sastra) sebaiknya jangan hanya ikut himpunan mahasiswa saja?

. . .

Suatu malam dalam obrolan cukup ngelantur, seorang teman yang pernah bergabung dalam himpunan mahasiswa tiba-tiba berseloroh, “Sekarang, senior-senior yang dulu paling ditakuti itu, jadi apa mereka? Bahkan, menolong diri sendiripun nggak mampu,” ucapnya.

Yha, saya cuma mbatin, “Sialan, itu kan seniormu dan senior kita bersama dulu.”

Kata-kata itu ia lontarkan lantaran teman pacarnya, dapat proyekan besar bikin video dan bisa nggandeng teman yang lain. Berbagi rizki. Menolong teman. Ia lantas teringat begitu loyalnya ia di hima dulu hingga melupakan banyak hal kegiatan mahasiswa di luar hima ~

Waktu itu, kami sebagai mahasiswa cukup manut didoktrin ini itu. Mahasiswa lain yang nggak suka cukup menghindar dan nggak ikut kegiatan. Kegiatan tahunan mahasiswa sastra Indonesia di kampus saya, kalau saya tidak salah sebut, antara lain Malam Chairil Anwar, Malam Keakraban (MK) untuk mahasiswa baru, dan Bulan Bahasa atau yang biasanya dikemas dalam Festifal Bahasa dan Sastra.

Dalam setahun, mahasiswa yang berbagung dalam hima harus meng-create acara sebagus mungkin untuk tiga acara besar itu. Tentu, acara yang nggak bagus menurut senior, akan dilepeh (baca: dimuntahkan) begitu saja. Cara ngelepeh-nya macam-macam. Seperti, membully habis salah satu acara yang sedang berlangsung. Hingga kami yang membuat acara merasa gagal bukan main.

Saya tidak sedang berkelakar bahwa kegiatan hima itu nirfaedah. Hanya saja, ayolah, perluas pertemananmu hingga kamu tahu bahwa dunia mahasiswa itu tak hanya dunia hima saja. Banyak sekali yang lain. Dulu, yang nggak ikut-ikutan hima, seakan-akan kami ini cupu, nggak loyal dan peduli sama jurusan, dan sebagainya dan sebagainya.

Saya pribadi, merasa sedikit beruntung karena mau memperjuangkan apa yang saya suka: nulis. Tapi tetap saja. Usai lulus kuliah dan (harus) bekerja, seringkali saya bergumam lirih, “Sialan. Dulu waktu kuliah kok nggak tau ini ya.” Atau, “Dulu waktu kuliah aku kemana aja ya kok nggak ikut itu.”

Selain perkuliahan yang –bagi saya– cukup monoton, aktivitas kampus yang cukup memberi warna hanya keikutsertaan saya pada lembaga pers mahasiswa, konferensi ilmiah, dan Program Kreativitas Mahasiswa. Apalah, cuma itu bekal yang saya punya.

Mau jadi mahasiswa seperti apa kamu?

Dalam sebuah kesempatan menghadiri pertunjukan musik sendratasik salah satu perguruan tinggi keguruan di Surabaya, sama menjumpai Mbak Gema Swaratyagita. Seorang komponis yang –sesuai namanya– sudah menggema hingga daratan Eropa sana. Kedatangannya menonton sendratasik mungkin juga karena dia salah satu alumni yang cukup diperhitungkan kiprahnya.

Usai pertunjukan selesai, Mbak Gema memberi masukan kepada mahasiswa penampil. Dia dapat sambutan baik di sana. Lalu, di saat yang bersamaan, saya cuma bisa mbatin, "Cuk, Mba Gema iki alumni jurusanku pisan lo”. Tapi siapa yang tau?

Bagaimana nggak keren. Sejak mahasiswa, Mbak Gema ini sudah bersahabat dengan dunia broadcasting, menjadi penyiar, jurnalis, mengajar musik. Kini, ia sudah jadi komponis yang mencipta puluhan karya.

Lantas, dikadik, mau jadi (alumni) yang seperti apa kalian?

Dunia mahasiswa selain perkuliahan

Kerja di humas kampus semakin membuka mata batin saya bahwa jurusan saya dan mahasiswanya bukan apa-apa jika dibanding jurusan lain yang sudah dulu lebih punya nama. Apa penyebabnya? Mindset mahasiswa terbuka. Selalu ingin belajar. Tau bahwa dunia terus berkembang. Yha, meski gak semua mahasiswa begitu dan harus begitu.

Di humas pula, karena mengelola portal online kampus, bahkan sudah puluhan kali saya menulis prestasi atau sekadar kegiatan mahasiswa yang ternyata sangat beragam. Di luar hima, sungguh banyak kegiatan yang bisa diikuti mahasiswa.

Beragam kegiatan yang diikuti mahasiswa itupun bukan hanya sekadar pelengkap CV dan pemenuh SKS (Sistem Kredit Semester) maupun SKP (Sistem Kredit Prestasi) perkuliahan. Pengalaman dan jaringan adalah perkara yang tak ternilai.

Misalnya saja, ikut penelitian dosen atau Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM), ikut temu ilmiah dan  konferensi, magang di perusahaan, pertukaran mahasiswa, kursus, atau menggeluti bisnis dan entrepreneur.

Kalau ikut penelitian dosen, sudah pasti kamu akan belajar tentang penelitian dan bergaul dengan nara sumber yang notabene para akademisi. Kalau ikut PKM, kamu akan lebih mendalami tentang persoalan yang jadi fokus kajianmu. Inipun adalah persoalan yang diaplikasikan untuk masyarakat, baik bidang sains dan teknologi maupun sosial humaniora. Otomatis, ketika diajak menyelesaikan persoalan di masyarakat (tentu yang menjadi bidangmu), kamu tidak kagok.

Kalau ikut temu ilmiah dan konferensi, sudah pasti kemampuan meneliti dan analisismu oke. Dari konferensi satu ke konferensi lain kamu akan banyak bertukar pendapat, ide, pikiran, dan gagasan dengan akademisi lintas jenjang studi, lintas profesi, bahkan dengan peneliti sekalipun.

Kalau ikut pertukaran mahasiswa, apalagi di luar negeri, sudah pasti kamu akan dapat ilmu, pengalaman, dan jaringan lintas negara. Bukan hanya ilmu pelajaran perkuliahan, tapi juga ilmu beradaptasi dengan masyarakat di negara lain.

Kalau ikut magang di perusahaan tertentu, sudah pasti kamu punya mental yang kuat sebelum nanti betulan masuk dunia kerja.

Kalau ikut kurus, sudah pasti keahlianmu dalam bidang tertentu semakin terasah. Baik kurus bahasa asing, kursus musik, maupun kursus keterampilan tertentu. Ini akan berguna kelak, sesuai dengan kesibukan yang ingin kamu geluti pasca lulus kuliah nanti.

Kalau menyibukkan diri dengan pengembangkan bisnis dan entrepreneur, sudah pasti pasca lulus kamu siap untuk membuka usaha secara mandiri.

Bukannya next step setelah lulus kuliah harus kamu pikirkan sedari duduk di bangku perkuliahan?

Percayalah, dedek-dedek gemash, saat memasuki dunia kerja nanti, apapun next step yang akan kamu jalani, pengalaman menghabiskan waktu selama kuliah akan sangat berguna. Baik untuk bekerja maupun untuk melanjutkan pendidikan.

Kalau usai lulus kamu ingin langsung bekerja, HRD tidak akan menanyakan mana sertifikat seikutsertaan hima-mu. Yang akan lebih banyak ditanyakan adalah apa keahlian yang kamu miliki? Apa saja kesibukan yang kamu habiskan selama perkuliahan? Sehingga, HRD merasa kamu layak untuk dipertimbangkan karena keahlian dan etos kerjamu.

Kalau lulus kuliah S1 kamu nggak ingin bekerja dan ingin melanjutkan studi S2, satu di antara yang kemungkinan besar kamu cari adalah beasiswa. Bisa dicek sekarang. Beragam beasiswa akan menargetkanmu syarat-syarat tertentu. Seperti skill kepemimpinan, keikutsertaan organisasi, prestasi lomba dan kompetisi yang pernah diperoleh, skor bahasa asing, kemampuan/keahlian tertentu, hingga pengalaman bekerja.

Memang, latihan kepemimpinan bisa didapat dari hima. Tapi bukan ketrampilan. Apalagi, hima hanya dalam skala jurusan. Tukar pemikiran dan ide dari berbagai bidang ilmu tentu sangat kurang jika pergaulanmu hanya bersama kawan dari jurusan yang sama. Padahal, diskusi-diskusi bersama mahasiswa lintas jurusan itu penting untuk mendapatkan perspektif yang berbeda.

Lantas, poin mana yang ingin atau sudah kamu miliki wahai dedek (calon) mahasiswa?

Dan begitulah. Ratusan sertifikat kepanitiaan hima saja tidak akan pernah bisa menolongmu.

. . .

Saya menulis ini bersama dengan introspeksi diri. Betapa banyak hal yang abai saya ikuti namun waktu cepat dan terus berganti. Ini mungkin sebuah curhat, mungkin juga kritik. Perguruan tinggi memiliki mandat untuk mencetak lulusan yang berguna bagi masyarakat. Bukan malah ‘tidak tau mau ngapain’ ketika sudah terjun di masyarakat.

Oleh karenanya, saya pribadi diam-diam berharap, kampus mampu mencetak mahasiswa yang berkualitas. Artinya, lulusan yang punya ketrampilan, softskill, dan mampu berdikari.

Seorang teman lulusan perguruan tinggi teknik terkemuka di Surabaya yang memutuskan untuk membuka usaha sendiri berkata, “Nggak ada, atau mungkin sangat sedikit, lulusan perguruan tinggi yang benar-benar siap kerja. Kecuali jurusan straigh seperti kedokteran. Tanpa jaringan di luar kampus juga bakalan susah cari kerja. Lihat aja teman-teman yang IPK-nya selangit, susah juga dia nyari kerja”.

“Dadi, ojo umek ae nang jero kampus,” katanya.

Dan itu sungguh-sungguh terjadi pasca lulus dari perguruan tinggi.

PR besar program studi di perguruan tinggi adalah menyiapkan lulusan yang punya soft skill, punya ketrampilan. Sehingga ketika lulus, dia bukan orang yang masih bertanya “Mau ngapain saya?”

Ehm, saya rasa ini bukan hanya PR jurusan, tapi PR bersama. Dosen menyiapkan kurikulum untuk anak didik agar mampu bersaing di era global ini. Mahasiswa secara aktif menggali apa yang menjadi passion mereka.

Lalu, para mahasiswa yang menjadi senior di kampus, biarlah adik-adikmu menggali potensi besar yang mereka miliki. Jangan kurung mereka dalam sebuah komunitas yang tak membuat mereka berkembang. Kalau selera senior dengan junior berbeda, entah dalam sastra, musik, atau apalah itu, bukan berarti yang junior lebih buruk. Itu hanya masalah selera dan waktu.

Dalam sebuah seminar, seorang penulis kenamaan Dewi Lestari pernah berkata yang kurang lebih bunyinya adalah, “Kenali potensi dirimu. Passion yang kamu tekuni akan menjadi skill. Skill adalah modal besar yang banyak dicari saat ini.”

“Kalau jadi dokter, pastikan jadi dokter terbaik. Kalau jadi insinyur, pastikan jadi insinyur terbaik. Kalau jadi arsitek, pastikan jadi arsitek terbaik,” tegas Mbak Dee.

Lantas, mau jadi mahasiswa seperti apa kamu? Mahasiswa tetaplah manusia yang suatu saat akan lulus dan menghadapi (kejamnya) dunia yang sesungguhnya.

Kecuali, kamu punya pasangan yang bisa dengan lantang bilang, "Kamu nggak usah ikut bersaing di dunia kerja, itu berat, biar aku saja. Aku punya link kerja yang mapan. Juga bapakku punya kekayaan tujuh turunan".

Ini baru masyoook.

Jumat, 09 Februari 2018

Review Film Dilan 1990


Ilustrasi Dilan dan Milea dari novel "Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990"


Dilan 1990. Tepatnya Senin malam lalu, saya menonton film yang saat ini lagi banyak dibicarakan kawula muda itu. Film yang diangkat dari judul novel yang sama yang terbit tahun 2014 silam.

Senin malam. Saya berangkat dengan harapan bioskop setidaknya lebih sepi dari hari-hari lainnya. Sehingga, saya tak harus antre panjang, juga bisa menikmati film yang sudah saya tahu alur ceritanya sejak novel diterbitkan.

Ternyata dugaan saya salah. Malam itu, di salah satu bioskop tempat saya nonton, hanya ada dua film yang diputar. Dilan salah satunya. Bahkan, di hari itu dan mungkin juga hari-hari sebelumnya, dalam sehari ada 15 jadwal pemutaran film Dilan.

Tak heran, hingga dua belas hari pemutaran di bioskop, jumlah penonton film ini mencapai 4 juta, melebihi film "AADC 2" yang mengantongi penonton dengan angka berhenti pada 3,7 juta.

Dilan memang sedang ramai-ramainya dibicarakan. Beberapa akun di instagram bahkan menyebutkan pemeran utama film ini, Dilan dan Milea, digadang-gadang sebagai ikon kisah cinta remaja SMA saat ini. Seperti ikon-ikon yang sebelumnya berhasil diciptakan, Galih dan Ratna hingga Rangga dan Cinta.

Tak sia-sia sang penulis Pidi Baiq menciptakan tokoh Dilan dan Milea. Terlepas dari kontroversi apakah kisah cinta tokoh keduanya benar-benar ada di dunia nyata.

Sejujurnya, saya nggak feeling menonton film ini sejak rencana difilmkan tahun lalu. Saya hanya khawatir, film yang diciptakan akan menghancurkan imajinasi saya atas pembacaan novel Dilan.

Lalu, hampir semua media sosial yang saya ikuti, instagram, twitter, nyaris memberi penilaian bagus untuk film ini. Termasuk beberapa penulis dan vlogger yang cukup saya suka. Yha, jadinya saya nonton juga.

Saya tahu, beberapa teman begitu militan terhadap sosok Dilan. Ia menjadi magnet yang memiliki daya tarik tersendiri, bahkan bagi generasi 25 tahun ke atas.

Sebaliknya, adapula yang menganggap cerita ini sebagai kisah cinta menye-menye yang kadang mengandung unsur garing.

Me-review cerita ini, saya hanya akan membagi pandangan atas diciptakannya film Dilan. Jika kemudian ada yang kurang berkenan, saya tidak peduli. Hehe.
. . . .

Dilan. Saya telah lebih dulu jatuh cinta dengan sosok ini jauh sebelum pada akhirnya novel ini difilmkan. Saya cukup mengikuti perkembangan rencana pemfilman novel ini. Dan kemudian, Iqbaal Ramadhan, mantan personil Coboy Junior itu, terpilih untuk memerankan tokoh Dilan.

Menonton Dilan barangkali adalah mengingat-ingat setiap detail cerita dalam novel. Benarkah ingatan saya masih sempurna? Bagaimana tidak. Sepanjang film berjalan, semua adegan dan percakapan nyaris mirip seperti yang ada dalam novel.

Pidi Baiq yang ikut terlibat langsung dalam pengerjaan film ini, mungkin inginkan visualisasi yang sama persis, plek, seperti dalam novel yang ia tulis. Jika ada bagian dari novel yang absen ditampilkan di film, menurutku, itu semata karena durasi yang tidak memungkinkan. Kabarnya, dalam pengerjaan film ini, ia sempat beradu pandangan dengan sang sutradara, tentang mana yang ditampilkan dan yang tidak.

Hampir semua adegan memorable. Mulai dari awal perjumpaan Dilan dan Milea di jalan menuju sekolah, Dilan ‘sang peramal’ yang merayu Milea di angkot, percakapan-percakapan di sekolah tempat keduanya banyak betemu, telepon umum pinggir jalan yang digunakan Dilan untuk menelpon Milea, kamar dan meja telepon di rumah Milea tempat ia penuh sipu juga cemas menunggu, dan tentu saja, jalanan tempat sang ‘panglima tempur’ beraksi di atas motor bersama geng motornya.

Bagi saya, scene paling mengharukan dalam film ini adalah ketika Beni marah hebat kepada Milea yang ketika itu bersama rombongan sekolah datang ke Jakarta untuk mendukung tim cerdas cermat sekolah. Beni marah hebat melihat Milea kekasihnya duduk berduaan dengan Nandan. Puncaknya, ia menyebut Milea dengan kata-kata kasar hingga melontarkan kata pelacur kepadanya.

Di dalam bus, Milea menangis sepanjang jalan menuju Bandung. Kata-kata kasar Beni terus terngiang di telinganya. Ia teringat Dilan dan apa yang pernah ia katakan suatu hari di telepon. “Milea, jangan pernah bilang ada yang menyakitimu. Nanti, orang itu akan hilang.” Duh, dek Iqbaal ~~

Scene paling keren sekaligus mendebarkan bagi saya adalah ketika Dilan berantem hebat dengan Anhar di sekolah. Itu adalah seusai Anhar menampar Milea di warung Bi Eem. Konon, demi menghasilkan adegan yang sempurna, Dilan dan Anhar dilatih oleh koreograf dari film The Raid yang dibintangi oleh Iko Uwais. Dan betul, adegan berantem itu sangat sempurna.

Secara keseluruhan, Iqbaal cukup bagus membawakan peran Dilan. Persis dalam novelnya, Iqbaal menjadi laki-laki yang formal dan terkesan kaku dalam berbicara. Meski bagi saya, Iqbaal kurang memiliki rupa ‘berandal’ untuk memerankan sosok Dilan, sang ‘panglima tempur’ dari sebuah geng motor besar di Bandung. Apalagi, dengan background dia sebagai penyanyi cilik yang memiliki citra sangat unyu. Hehe. Sedangkan Vanesha Prescilla yang memerankan Milea, bagi saya ia cukup mewakili sosok Milea yang – diem aja udah cantik.

Saya harus cukup legowo untuk mengatakan bahwa secara keseluruhan, chemistry Iqbaal dan Vanesha emang dapet.

Jika ada ketidaksempurnaan dalam film ini, salah satunya adalah editing gambar yang kurang halus. Seperti ketika ibunda Dilan mengendarai mobil Nissan Patrol bersama Milea untuk mengantarnya pulang. Terlihat jelas batas gambar di dalam mobil dan jalanan yang sebetulnya tidak berada pada situasi yang bersamaan. Penggabungan gambar masih kurang halus. Dan itu cukup kentara dalam penglihatan.

Dilan, meski masih SMA, bagi saya adalah pribadi yang penuh kejutan. Seorang panglima geng motor yang diam-diam romantis dengan caranya yang tidak biasa. Laki-laki yang sering ke BP, bukan karena jagoan tapi karena melawan orang-orang yang bertindak sewenang-wenang. Bahkan ia berani memukul Suripto, guru yang baginya tidak manusiawi dalam memberi teguran kepada murid. Termasuk dirinya, ketika mengikuti upacara bendera.

Meski begitu, Dilan nggak berandal-berandal banget. Dia pintar. Selalu juara di kelas. Suka musik dan buku bacaannya banyak. Walau kalau pergi ke sekolah, dia hanya membawa satu buku yang diselipkan di saku celana belakang.
. . . .

Menonton Dilan di awal 2018 dengan usia yang sudah 25, bahkan tak se-deg-degan ketika saya membaca novelnya tahun 2015 lalu. Selain karena banyak adegan dan percakaan yang telah tertebak lebih dulu, mungkin karena di usia 25 ini negara api telah menyerang. * halah *

Betapa membaca kisah cinta Dilan dan Milea, hidup begitu sangat sederhana. Pun masalah yang muncul hanya seputar masalah-masalah remaja SMA yang kadang, memang harus dimaklumi ketika muncul ego-ego yang tinggi.

Iqbaal dan Vanesha, pemeran tokoh Dilan dan Milea.


Lantas, membaca kembali Dilan diusia yang sudah 25 ini, semacam mengingatkan kepada diri sendiri bahwa, “Ingat umur, woy”. Ckckck

So, review angka saya untuk film Dilan adalah 7.5/10. Saya telah jatuh cinta dengan sosok Dilan sejak ia diciptakan Pidi Baiq melalui ‘Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’. Novel ini tidak buruk ketika kemudian difilmkan. Namun, seperti yang pernah saya katakan, kolonisasi novel ke dalam media audiovisual, betapapun dibuat semirip mungkin, tidak akan pernah bisa sempurna mewakili imajinasi pembaca.

Ini pukul sepuluh malam. Akhirnya bisa menyelesaikan review Dilan setelah hampir seminggu lamanya. Fiuuuh. * makanya nulis, Bin, jangan kerja mulu *

Saya merekomendasikan buku Dilan untuk dibaca. Terutama bagi laki-laki, sebagai senjata untuk menggaet hati wanitanya. Hehehe.

Minggu, 04 Februari 2018

Saya Mungkin Ngotot dan Keras Kepala

Sumber gambar: Pixabay


Kemari lusa, ketika masih di rumah, saya pergi ke salah satu pusat perbelanjaaan kebutuhan pokok tak begitu jauh dari rumah. Sambil menunggu kasir menghitung belanjaan, sesekali saya tolah-toleh memerhatikaan sekeliling. Di dalam toko, agak jauh dari tempat saya berdiri, saya memerhatikan seorang laki-laki memanggul barang dengan karung di atas pundaknya.

Dia memakai celana tiga perempat kaki. Kausnya lusuh. Dia terlihat begitu lelah. Ada yang tak asing. Setelah saya pehatikan betul, ternyata dia seumuran saya, laki-laki yang ketika saya duduk di bangku SMP kira-kira sebelas tahun yang lalu, paling jago di kelas dalam hal mata pelajaran.

Entah apa yang saya pikirkan sore itu. Yang jelas saya nelongso betul.

Kejadian seperti ini dengan orang yang berbeda tidak hanya saya alami sekali ini saja. Ada juga teman perempuan yang juga pernah satu kelas semasa kelas tujuh SMP. Ia, kini juga juga bekerja di salah satu toko kebutuhaan pokok tak begitu jauh dari rumah.

Saya masih ingat betul. Meskipun rumahnya jauh di bawah kaki Gunung Kelud sana, tapi untuk hal pelajaran dia tak bisa diragukan. Apalagi perihal menghapal rumus-rumus. Soal ilmu pengetahuan  alam yang waktu itu sudah mulai mempelajari fisika dan kimia, saya cuma bisa plonga-plongo berkali-kali ujian dan dia mendapatkan nilai yang nyaris sempurna.

Saya jadi teringat kembali tujuh tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Khawatir akan nasip saya usai lulus, ibu bahkan sudah ancang-ancang memilih jodoh untuk saya. Mungkin, kalau saya tak ngengkel kuliah waktu itu, saya tidak bisa duduk di depan komputer seperti pagi ini. Juga pacar saya waktu itu, yang tak menghendaki jika saya melanjutkan pendidikaan di luar kota. (maaf, tahun itu saya khilaf hehe)

Lantas, banyak hal berubah dan segala hal memang harus diperjuangan.

Kalau di semester delapan saya tidak ngengkel mengambi tawaran pekejaan di tempat kini saya bekerja, belum tentu saya masih ada di Surabaya. Padahal saat itu saya masih tercatat sebagai mahasiswa aktif yang menanggung skripsi. Menjelang ujian, bu dosen pembimbing cuti haji dan kuliah saya terancam  molor.

Yang saya pikirkan waktu itu hanyalah: kalau saya tidak mengambil tawaran pekerjaan, mau makan apa? Bayar kos dan kuliah pakai uang siapa? Wong beasiswa full dari pemerintah yang saya dapatkan tidak menanggung biaya kuliah yang tak selesai tepat waktu.

Dari bangku kuliah perlahan saya tahu, fungsi pendidikan adalah memberantas kebodohan, menghilangkan ketidaktahuan. Hingga, manusia jadi paham untuk apa ia diciptakan. Jika lantas pendidikan pengantarkan seseorang menemui pekerjaan yang layak, itu bonus atas apa yang ia perjuangkan.

Dengan membagi ini, bukan berarti hidup saya jauh lebih enak dan bahagia bibanding teman yang saya jumpai kemarin sore. Bisa jadi, untuk urusan menata hati dan kebahagiaan, dia lebih hebat dari saya. Bisa jadi, ia memiliki istri yang cantik dan soleha, serta anak yang menggemaskan, manis dan pintar.


Saya hanya percaya, akan selalu ada jalan bagi orang-orang yang ngengkel dan mau berusaha lebih keras dari yang lain. Memperjuangkan banyak hal, bukan hanya pendidikaan, pekerjaan, tapi juga jodoh.

Sabtu, 27 Januari 2018

Pembawaan Diri yang Baik Akan Membawa Kesan yang Baik

Sumber gambar: Google


"Pembawaan diri yang baik akan meninggalkan kesan yang baik pula. Bukan hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk instansi dimana dirimu berasal".


Setidaknya, itu yang saya rasakan ketika mendapati seorang mahasiswa datang ke kantor beberapa waktu yang lalu.

Di kantor, selain liputan di lapangan dan bekerja di balik meja sebagai editor naskah, saya adalah staf yang mendapat tugas untuk mengakomodir para penulis opini yang berhak mendapatkan honor. Biasanya, mereka yang antara lain merupakan mahasiswa, dosen, maupun alumni, datang ke kantor untuk mendapatkan hak mereka.

Tentu, hal semacam ini memungkinkan saya berkenalan dengan mereka para penulis. Bukan hanya berkenalan, saya sampai hafal karakter beberapa penulis yang langganan nulis ide-ide mereka di laman berita resmi universitas tempat saya bekerja.

Tentu macam-macam gayanya, apalagi mahasiswa. Ada yang trengginas sekali (macam bahasanya Gus Mul aja ya) ketika mendapat pesan untuk pengambilan honor; ada yang, entah mungkin saking sibuknya, berminggu hingga berbulan-bulan honor tak kunjung diambil. Macam-macam lah, karakternya.

Terlepas dari itu semua, saya salut atas kegigihan mereka dalam meramu topik menjadi sebuah gagasan yang layak baca.

Yang ingin saya bagi di sini adalah perihal cara mereka dalam 'membawa diri' ketika berhadapan dengan orang lain, orang baru, yang sebelumnya belum pernah bertemu.



Tepatnya, salah satu dari penulis opini yang adalah mahasiswa, datang ke kantor untuk mengambil honor. Kira-kira, begini yang ia ucapkan sesaat setelah membuka pintu ruangan.

"Permisi, mbak, mau ambil honor".

Saat itu saya sedang salat dan tidak menitipkan pesan kepada rekan kantor untuk meminta menunggu jika ada penulis opini yang datang.

Seandainya kamu berada di posisi rekan kantor saya yang berhadapan langsung dengan si-mahasiswa, kira-kira apa yang kamu pikirkan? Apalagi, mayoritas dari rekan kantor adalah arek Suroboyoan yang tentu, sangat cablak (baca: ceplas-ceplos). Apa dalam hati nggak langsung mbatin, "Lho koen iku sopo, reek?" Hehehe.

Unggah-ungguh ini lah yang seringkali saya dan rekan-rekan kantor jumpai. Apalagi, kerja di Humas memungkinkan kami berinteraksi dengan orang berbeda setiap harinya. Bukan hanya kalangan internal kampus, tapi juga pihak luar kampus.

Sesaat setelah si-mahasiswa pergi, rekan kantor dengan nada yang khas Suroboyoan itu bilang,

A: "Arek ngendi iku mau, Bin?"
Q: "FIB, Mbak."
A: "Wooh.. pantes."
Q: *Krik.krik.krik*

Kalau dalam teori komunikasi seperti yang pernah diajarkan Pak Suko Widodo (halah), kenali dirimu dan siapa yang kamu ajak bicara. Dalam posisi mahasiswa tadi, misalnya, posisikan diri sebagai orang baru yang berada di tempat baru. Tentu, menjadi sangat wajib bagi dirinya untuk mengenalkan diri, minimal nama; darimana berasal; serta apa keperluannya sehingga datang kemari. Jika tak bisa menyebutkan keperluan secara langsung karena ingin bertemu by name, maka sebutkan siapa yang sedang kamu cari. Mrs X, misalnya.

Ini mungkin sangat remeh. Usai kejadian itu, mungkin si mahasiswa tidak akan bertemu lagi dengan rekan-rekan kantor yang menerima ia di ruangan. Tapi apa yang ia tinggalkan membawa kesan. Orang kadang nggak 'ngeh' bahwa hal semacam ini penting untuk diperhatikan.

Dimanapun tempatnya, ketika datang di tempat baru, utamanya tempat yang memberikan pelayanan, wajib untuk memperkenalkan diri, menyebutkan darimana berasal, baru menyebutkan apa yang dibutuhkan.

Sekali lagi, hargailah dirimu sendiri dengan membawa kesan yang baik dimata orang lain. Semoga aku dan kamu tak akan pernah lelah dalam belajar.

Salam.