Sumber gambar: pixabay |
Beberapa hari yang lalu, ramai beredar di media sosial
tentang larangan mahasiswi bercadar ketika melakukan aktivitas di wilayah
kampus. Ialah rektor universitas Islam negeri di Yogyakarta. Kota pelajar yang
bahkan, dikenal memiliki kemajemukan masyarakat yang tinggi.
Sekilas saya mengikuti dari portal berita yang muncul di time line akun Twitter. Perihal hal ini, saya sangat setuju dengan tanggapan
rektor tempat saya kuliah dan bekerja. Usai konferensi pers penganugerahan
gelar doktor kehormatan Dato’ Sri Tahir -laki-laki berdarah tionghoa terkaya
nomor lima di Indonesia- rektor mengatakan bahwa sejauh ini, kampus yang ia
pimpin tidak/belum memiliki aturan terkait mahasiswi bercadar di lingkungan
kampus.
Saya mungkin di antara yang cukup lega dengan pernyataan rektor.
Sebab, cadar adalah hak perpakaian setiap perempuan beragama Islam yang
melakukan. Hak atas keputusan memakai cadar bagi saya sama halnya dengan
keputusan untuk berhijab maupun tidak.
Islam memang memiliki aturan tentang cara berpakaian. Bahkan dalam fiqih islam, ada mazhab yang mewajibkan perempuan untuk bercadar. Namun,
institusi pendidikan di bawah pemerintahan, apalagi di Indonesia dengan
masyarakat yang multikultur, semestinya lebih dewasa dalam membaca perilaku
akademisi yang bernanung di dalamnya. Termasuk, pilihan untuk menggunakan
cadar.
“Yang harus kita cermati adalah ideologi di balik cadar yang
ia pakai,” begitu kata Pak Rektor.
Barangkali, kesalahan dari sebagian masyarakat adalah menjustifikasi
perempuan bercadar dengan kepemilikan ideologi radikal. Bagi saya pribadi,
sepanjang yang bersangkutan tidak terlibat dalam gerakan tertentu yang
bersifat radikal dan mengancam kebinekaan, berpakaian menggunakan cadar adalah
hak, adalah kebebasan yang tak semestinya dibatasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar