Di antara hal-hal konyol yang saya lakukan beberapa kali di
minggu ini, membuntuti laki-laki, tepatnya bapak-bapak cukup tua, adalah salah
satunya. Akhir pekan minggu lalu saya pergi ke mangrove Wonorejo, Surabaya, sekitar
12 km jaraknya dari tempat saya kos. Saya ke sana sendirian, hanya untuk menikmati
naik perabu melintasi hutan mangrove, membawa bekal, membaca edisi khusus hari
Minggu dari salah satu koran nasional, tidur, naik perahu lagi dan kembali ke
kos. Saya sendirian di antara rombongan lain yang sengaja piknik.
Kembali ke, membuntuti seorang bapak-bapak tua.
Satu di antara sistem pemesanan tiket kereta api yang tidak
manusiawi bagi saya adalah membuat orang menunggu, mengantre berjam-jam
hanya untuk mendapatkan tiket kereta api lokal rute Blitar-Surabaya dan
sebaliknya. Ini yang saya lakukan setiap ingin pulang ke kampung halaman
menggunakan fasilitas kereta api.
Pagi tadi, setelah menyelesaikan cucian dan kemudian mandi,
pukul 7 saya bergegas menuju Stasiun Surabaya Kota, atau orang biasa
menyebutnya Stasiun Semut. Saya sudah memikirkan ini sejak semalam. Mencuci pakaian
pagi-pagi, lantas pergi ke stasiun untuk memesan tiket agar tidak kehabisan. Saya
berencana pulang minggu depan. Selain karena long weekend tiga hari, ada sepupu
yang melangsungkan pernikahan. Juga ada tante beserta anak cucunya yang datang jauh-jauh dari Jakarta.
Benar saja. Pukul setengah delapan kurang saya sampai di
stasiun, saya mendapat nomor antrean 181. Saya berpikir mungkin orang-orang
sudah ‘ngejib’ nomor antrean sejak subuh tadi. Dalam beberapa pengalaman, dengan
nomor antrean sekian, mungkin mendekati jam 2 siang nomor saya baru dipanggil.
Saya suka jengkel tentang hal ini. Orang harus menunggu
selama itu, di tengah hari Minggu yang menjadi hari satunya-satunya libur bagi sebagian
besar para pekerja swasta, demi untuk bisa menggunakan salah satu transportasi
mode kereta api.
Sambil mengisi formulir, tiba-tiba seorang laki-laki,
tepatnya bapak-bapak, yang berdiri tak jauh di depan saya menyodorkan selembar
nomor antrian. Saya spontan terkejut, juga senang melihat nomor antrean
tertulis 141.
Aku: “Whaaa, Bapak ini buat saya?”
Si bapak mengangguk dan tersenyum. Lumayan, beberapa puluh
nomor lebih cepat dari nomor antrean yang saya dapat. Lalu ia menanyakan beberapa
pertanyaan klise.
Bapak: “Mau ke mana, Mbak?”
Aku: “Ke Blitar, Pak.
Aku: “Ke Blitar, Pak.
Belum puas dengan jawaban saya, si bapak bertanya lagi.
Bapak: “Blitar mana, Mbak? Buat tanggal berapa?”
Aku: “Hari Minggu, Pak. Tanggal sekian.”
Bapak: “Sama, Mbak, saya juga. Pesan pakai formulir saya saja, Mbak, nomor antrean saya 25.”
Aku: “Hari Minggu, Pak. Tanggal sekian.”
Bapak: “Sama, Mbak, saya juga. Pesan pakai formulir saya saja, Mbak, nomor antrean saya 25.”
Sebetulnya saya sangat senang menerima tawaran itu. tapi saya menolak halus karena saya berencana membeli
dua tiket, satu untuk saya dan satu untuk teman saya. Formulir si bapak hanya
cukup untuk satu nama saja, tak bisa menambah penumpang lain. Tapi, si bapak
memaksa memasukkan nama teman saya. "Njajal
mbak siapa tau bisa". Kata dia kekeuh.
Singkat cerita. Si bapak memasukkan nama saya di formulirnya.
Lalu, nama teman saya, ia titipkan di formulir pemesan lain yang duduknya
berdekatan dengan tempat si bapak duduk. Yang benar saja. Saya benar-benar
sungkan. Saya sudah menolaknya tapi si bapak memaksa. “Kasihan temannya Embak.”
Padahal doi gak kenal, gaes. .
Beberapa kali saya mengucapkan terimakasih dan meminta maaf
karena telah membuat repot. Beberapa kali pula si bapak bilang tidak masalah. “Nggakpapa,
Mbak. Saya malah senang kalau bisa membantu,” katanya. Saya cuma bisa terenyuh.
Di sela-sela obrolan, si bapak bilang bahwa dirinya bekerja
di percetakan yang terletak di daerah Kenjeran. Keluarganya tinggal di salah
satu desa di Blitar. Sekali dalam dua minggu ia pasti pulang. Sabtu sore
sepulang kerja, dan kembali ke Surabaya pada Minggu sore.
Bapak: “Tapi dua minggu setelah minggu depan nanti nggak
pulang, Mbak. Karena belum gajian. Hehe,” ucapnya sambil tersenyum.
Kira-kira pukul 10 antrean si bapak dipanggil. Beberapa saat
setelah memberikan tiket kepada saya, si bapak menyalami saya, lalu kami
berpisah. Saya menuju parkir sepeda motor, sementara si bapak, entah dimana. Saya
sempat memerhatikan seluruh sisi tempat parkir motor, tapi tidak mendapati beliau. Saya
cuma mbatin, “Naik apa si bapak tadi?"
Selesai di situ, dengan perasaan riang gembira saya
meninggalkan stasiun. Saya pun sudah melupakan kemana si bapak pergi. Masih beberapa meter berjalan, ndilalah di depan, saya melihat si bapak ngonthel.
Mendadak hati saya nelongso.
Jauh-jauh dari Kenjeran ke stasiun Surabaya Kota dengan naik sepeda onthel. Saya tak banyak pengetahuan tentang jenis sepeda yang ia gunakan. Yang pasti, di antara ratusan pengguna jalan hari itu, hanya dia yang mengayuh sepeda. Hiruk pikuk jalanan, di antara ratusan orang yang sibuk dengan urusannya, pengendara yang gemar sekali menainkan klakson usai lampu hijau menyala, si bapak dengan mantap mengayuh sepeda lagi dan lagi.
Hati saya makin tak karuan
Hati saya makin tak karuan
Saya tak tahu perasaan apa yang menyelimuti saya. Di tengah
terik panas udara Surabaya, saya membuntuti si bapak melintasi berbelok-belok
jalan raya. Saya tak banyak ingat jalan apa saya yang kami lalui. Kalau tidak
salah ingat, Jl Kapas Krampung, Jl Kenjeran, dan Jl Lebak Jaya. Di tengah terik
udara Surabaya yang panas. Beberapa kali saya berhenti, hanya agar si bapak
tidak mengetahui keberadaan saya yang naik sepeda motor di belakangnya.
Setelah berbagai jalan terlalui, akhirnya, si Bapak
berbelok pada gang kecil bertulis Lebak Jaya II. Saya pun menghentikan pembuntutan
(eh kok pembuntutan ya ☹
) Setelah pulang ke kos, saya cek di google bahwa jarak itu 6.1 km. Hampir
serata dengan jarak rumah saya ke SMA di Blitar, hampir setara jarak
rumah ke sawah sewaan tempat Bapak bekerja ketika saya masih kecil.
Seorang laki-laki tua, jauh-jauh dari sebuah desa di Blitar
merantau di Surabaya, memesan tiket kereta api untuk menuntaskan rindunya
dengan keluarga dan kampung halaman, dengan naik sepeda onthel. Apa, itu satu-satunya alat transportasi yang ia punya?
Sepanjang perjalanan ke kos saya melamun, lebih tepatnya pikiran saya nggrambyang entah kemana. Di tengah jalan, di tengah padatnya lalu lintas Surabaya, lagi-lagi ada keyakinan yang menguat: betapapun banyak kejahatan di muka bumi ini, yakinlah bahwa masih banyak orang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar