Sumber: pixabay |
Pertama-tama, saya menulis ini karena ingin berbuat baik.
Tak ingin bahwa apa yang pernah dialami mas dan mbak senior di perkuliahan terulang
kembali kepada adik-adiknya.
Terutama, pada adik-adik yang sedang mempersiapkan diri
memasuki bangku perkuliahan, juga untuk adik-adik mahasiswa yang saat ini
sedang berada di semester awal perkuliahan. Agar apa? Agar supaya tak
terperosok di lubang yang sama, mungkin, seperti senior-senior yang
sudah-sudah.
Saya adalah alumnus mahasiswa jurusan sastra. Tepatnya
sastra Indonesia. Seperti stereotipe yang berkembang di masyarakat, anak sastra
itu nyeleneh dan absurd. Beda dengan
yang lain. Dan penilaian itu tak sepenuhnya salah.
Sejak jaman baheula oleh kakak-kakak senior, kami, tepatnya
saya dan mahasiswa sastra yang lain, dididik untuk nyeleneh, nyastra, ‘anti kemapanan’, beda dari
yang lain pokoknya. Kami di-umbah sejak
baru masuk kuliah. Sejak ospek malah. Oleh senior-senior yang dihimpun dalam organisasi
himpunan mahasiswa.
Nah, artikel ini akan membahas kurang lebih tentang alasan Mengapa mahasiswa (sastra) sebaiknya jangan
hanya ikut himpunan mahasiswa saja?
. . .
Suatu malam dalam obrolan cukup ngelantur, seorang teman
yang pernah bergabung dalam himpunan mahasiswa tiba-tiba berseloroh, “Sekarang,
senior-senior yang dulu paling ditakuti itu, jadi apa mereka? Bahkan, menolong
diri sendiripun nggak mampu,” ucapnya.
Yha, saya cuma
mbatin, “Sialan, itu kan seniormu dan senior kita bersama dulu.”
Kata-kata itu ia lontarkan lantaran teman pacarnya, dapat
proyekan besar bikin video dan bisa nggandeng
teman yang lain. Berbagi rizki. Menolong teman. Ia lantas teringat begitu
loyalnya ia di hima dulu hingga melupakan banyak hal kegiatan mahasiswa di
luar hima ~
Waktu itu, kami sebagai mahasiswa cukup manut didoktrin ini
itu. Mahasiswa lain yang nggak suka cukup
menghindar dan nggak ikut kegiatan.
Kegiatan tahunan mahasiswa sastra Indonesia di kampus saya, kalau saya tidak salah sebut, antara lain Malam Chairil
Anwar, Malam Keakraban (MK) untuk mahasiswa baru, dan Bulan Bahasa atau yang
biasanya dikemas dalam Festifal Bahasa dan Sastra.
Dalam setahun, mahasiswa yang berbagung dalam hima harus meng-create acara sebagus mungkin untuk tiga
acara besar itu. Tentu, acara yang nggak
bagus menurut senior, akan dilepeh
(baca: dimuntahkan) begitu saja. Cara ngelepeh-nya
macam-macam. Seperti, membully habis
salah satu acara yang sedang berlangsung. Hingga kami yang membuat acara merasa
gagal bukan main.
Saya tidak sedang berkelakar bahwa kegiatan hima itu nirfaedah.
Hanya saja, ayolah, perluas pertemananmu hingga kamu tahu bahwa dunia mahasiswa
itu tak hanya dunia hima saja. Banyak sekali yang lain. Dulu, yang nggak ikut-ikutan hima, seakan-akan kami
ini cupu, nggak loyal dan peduli sama
jurusan, dan sebagainya dan sebagainya.
Saya pribadi, merasa sedikit beruntung karena mau memperjuangkan
apa yang saya suka: nulis. Tapi tetap saja. Usai lulus kuliah dan (harus) bekerja,
seringkali saya bergumam lirih, “Sialan. Dulu waktu kuliah kok nggak tau ini ya.” Atau, “Dulu waktu
kuliah aku kemana aja ya kok nggak
ikut itu.”
Selain perkuliahan yang –bagi saya– cukup monoton, aktivitas
kampus yang cukup memberi warna hanya keikutsertaan saya pada lembaga pers mahasiswa,
konferensi ilmiah, dan Program Kreativitas Mahasiswa. Apalah, cuma itu bekal yang saya punya.
Mau jadi mahasiswa
seperti apa kamu?
Dalam sebuah kesempatan menghadiri pertunjukan musik
sendratasik salah satu perguruan tinggi keguruan di Surabaya, sama menjumpai Mbak
Gema Swaratyagita. Seorang komponis yang –sesuai namanya– sudah menggema hingga
daratan Eropa sana. Kedatangannya menonton sendratasik mungkin juga karena dia
salah satu alumni yang cukup diperhitungkan kiprahnya.
Usai pertunjukan selesai, Mbak Gema memberi masukan kepada
mahasiswa penampil. Dia dapat sambutan baik di sana. Lalu, di saat yang
bersamaan, saya cuma bisa mbatin, "Cuk, Mba Gema iki alumni jurusanku pisan
lo”. Tapi siapa yang tau?
Bagaimana nggak
keren. Sejak mahasiswa, Mbak Gema ini sudah bersahabat dengan dunia broadcasting, menjadi penyiar, jurnalis,
mengajar musik. Kini, ia sudah jadi komponis yang mencipta puluhan karya.
Lantas, dikadik, mau jadi (alumni) yang seperti apa kalian?
Dunia mahasiswa
selain perkuliahan
Kerja di humas kampus semakin membuka mata batin saya bahwa
jurusan saya dan mahasiswanya bukan apa-apa jika dibanding jurusan lain yang
sudah dulu lebih punya nama. Apa penyebabnya? Mindset mahasiswa terbuka. Selalu ingin belajar. Tau bahwa dunia
terus berkembang. Yha, meski gak
semua mahasiswa begitu dan harus begitu.
Di humas pula, karena mengelola portal online kampus, bahkan sudah puluhan kali saya menulis prestasi atau
sekadar kegiatan mahasiswa yang ternyata sangat beragam. Di luar hima, sungguh
banyak kegiatan yang bisa diikuti mahasiswa.
Beragam kegiatan yang diikuti mahasiswa itupun bukan hanya
sekadar pelengkap CV dan pemenuh SKS (Sistem Kredit Semester) maupun SKP
(Sistem Kredit Prestasi) perkuliahan. Pengalaman dan jaringan adalah perkara
yang tak ternilai.
Misalnya saja, ikut penelitian dosen atau Program
Kreatifitas Mahasiswa (PKM), ikut temu ilmiah dan konferensi, magang di perusahaan, pertukaran
mahasiswa, kursus, atau menggeluti bisnis dan entrepreneur.
Kalau ikut penelitian dosen, sudah pasti kamu akan belajar
tentang penelitian dan bergaul dengan nara sumber yang notabene para akademisi.
Kalau ikut PKM, kamu akan lebih mendalami tentang persoalan yang jadi fokus
kajianmu. Inipun adalah persoalan yang diaplikasikan untuk masyarakat, baik
bidang sains dan teknologi maupun sosial humaniora. Otomatis, ketika diajak
menyelesaikan persoalan di masyarakat (tentu yang menjadi bidangmu), kamu tidak
kagok.
Kalau ikut temu ilmiah dan konferensi, sudah pasti kemampuan
meneliti dan analisismu oke. Dari konferensi satu ke konferensi lain kamu akan banyak
bertukar pendapat, ide, pikiran, dan gagasan dengan akademisi lintas jenjang
studi, lintas profesi, bahkan dengan peneliti sekalipun.
Kalau ikut pertukaran mahasiswa, apalagi di luar negeri, sudah
pasti kamu akan dapat ilmu, pengalaman, dan jaringan lintas negara. Bukan hanya
ilmu pelajaran perkuliahan, tapi juga ilmu beradaptasi dengan masyarakat di
negara lain.
Kalau ikut magang di perusahaan tertentu, sudah pasti kamu
punya mental yang kuat sebelum nanti betulan masuk dunia kerja.
Kalau ikut kurus, sudah pasti keahlianmu dalam bidang
tertentu semakin terasah. Baik kurus bahasa asing, kursus musik, maupun kursus
keterampilan tertentu. Ini akan berguna kelak, sesuai dengan kesibukan yang ingin
kamu geluti pasca lulus kuliah nanti.
Kalau menyibukkan diri dengan pengembangkan bisnis dan
entrepreneur, sudah pasti pasca lulus kamu siap untuk membuka usaha secara
mandiri.
Bukannya next step
setelah lulus kuliah harus kamu pikirkan sedari duduk di bangku perkuliahan?
Percayalah, dedek-dedek gemash, saat memasuki dunia kerja
nanti, apapun next step yang akan
kamu jalani, pengalaman menghabiskan waktu selama kuliah akan sangat berguna.
Baik untuk bekerja maupun untuk melanjutkan pendidikan.
Kalau usai lulus kamu ingin langsung bekerja, HRD tidak akan
menanyakan mana sertifikat seikutsertaan hima-mu. Yang akan lebih banyak
ditanyakan adalah apa keahlian yang kamu miliki? Apa saja kesibukan yang kamu
habiskan selama perkuliahan? Sehingga, HRD merasa kamu layak untuk
dipertimbangkan karena keahlian dan etos kerjamu.
Kalau lulus kuliah S1 kamu nggak ingin bekerja dan ingin melanjutkan studi S2, satu di antara
yang kemungkinan besar kamu cari adalah beasiswa. Bisa dicek sekarang. Beragam
beasiswa akan menargetkanmu syarat-syarat tertentu. Seperti skill kepemimpinan,
keikutsertaan organisasi, prestasi lomba dan kompetisi yang pernah diperoleh,
skor bahasa asing, kemampuan/keahlian tertentu, hingga pengalaman bekerja.
Memang, latihan kepemimpinan bisa didapat dari hima. Tapi
bukan ketrampilan. Apalagi, hima hanya dalam skala jurusan. Tukar pemikiran dan
ide dari berbagai bidang ilmu tentu sangat kurang jika pergaulanmu hanya
bersama kawan dari jurusan yang sama. Padahal, diskusi-diskusi bersama
mahasiswa lintas jurusan itu penting untuk mendapatkan perspektif yang berbeda.
Lantas, poin mana yang ingin atau sudah kamu miliki wahai
dedek (calon) mahasiswa?
Dan begitulah. Ratusan sertifikat kepanitiaan hima saja tidak
akan pernah bisa menolongmu.
. . .
Saya menulis ini bersama dengan introspeksi diri. Betapa
banyak hal yang abai saya ikuti namun waktu cepat dan terus berganti. Ini
mungkin sebuah curhat, mungkin juga kritik. Perguruan tinggi memiliki mandat
untuk mencetak lulusan yang berguna bagi masyarakat. Bukan malah ‘tidak tau mau
ngapain’ ketika sudah terjun di masyarakat.
Oleh karenanya, saya pribadi diam-diam berharap, kampus
mampu mencetak mahasiswa yang berkualitas. Artinya, lulusan yang punya
ketrampilan, softskill, dan mampu berdikari.
Seorang teman lulusan perguruan tinggi teknik terkemuka di
Surabaya yang memutuskan untuk membuka usaha sendiri berkata, “Nggak ada, atau
mungkin sangat sedikit, lulusan perguruan tinggi yang benar-benar siap kerja.
Kecuali jurusan straigh seperti
kedokteran. Tanpa jaringan di luar kampus juga bakalan susah cari kerja. Lihat aja teman-teman yang IPK-nya selangit,
susah juga dia nyari kerja”.
“Dadi, ojo umek ae nang jero kampus,” katanya.
Dan itu sungguh-sungguh terjadi pasca lulus dari perguruan
tinggi.
PR besar program studi di perguruan tinggi adalah menyiapkan
lulusan yang punya soft skill, punya ketrampilan. Sehingga ketika lulus, dia
bukan orang yang masih bertanya “Mau ngapain saya?”
Ehm, saya rasa ini bukan hanya PR jurusan, tapi PR bersama.
Dosen menyiapkan kurikulum untuk anak didik agar mampu bersaing di era global
ini. Mahasiswa secara aktif menggali apa yang menjadi passion mereka.
Lalu, para mahasiswa yang menjadi senior di kampus, biarlah
adik-adikmu menggali potensi besar yang mereka miliki. Jangan kurung mereka
dalam sebuah komunitas yang tak membuat mereka berkembang. Kalau selera senior
dengan junior berbeda, entah dalam sastra, musik, atau apalah itu, bukan
berarti yang junior lebih buruk. Itu hanya masalah selera dan waktu.
Dalam sebuah seminar, seorang penulis kenamaan Dewi Lestari
pernah berkata yang kurang lebih bunyinya adalah, “Kenali potensi dirimu. Passion yang kamu tekuni akan menjadi
skill. Skill adalah modal besar yang banyak dicari saat ini.”
“Kalau jadi dokter, pastikan jadi dokter terbaik. Kalau jadi
insinyur, pastikan jadi insinyur terbaik. Kalau jadi arsitek, pastikan jadi
arsitek terbaik,” tegas Mbak Dee.
Lantas, mau jadi mahasiswa seperti apa kamu? Mahasiswa
tetaplah manusia yang suatu saat akan lulus dan menghadapi (kejamnya) dunia
yang sesungguhnya.
Kecuali, kamu punya pasangan yang bisa dengan lantang bilang,
"Kamu nggak usah ikut bersaing di dunia kerja, itu berat, biar aku saja.
Aku punya link kerja yang mapan. Juga
bapakku punya kekayaan tujuh turunan".
Ini baru masyoook.
Ini baru masyoook.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar