Sumber: salihara.org |
Pernahkah anda membayangkan, orang terdekat anda, mungkin
kakak, adik, saudara, bahkan anak, (di)hilang(kan) dan tak pernah kembali lagi?
Jika masih hidup, ada dimana dia? Jika memang telah meninggal, dimana jasadnya
dikuburkan? Adakah yang lebih menyedihkan dari menunggu sesuatu tanpa
kepastian?
Leila S. Chudori menggambarkan cerita dengan sangat apik
lewat novel Laut Bercerita. Novel
yang kemudian difilmkan ini disambut antusias dalam diskusi-diskusi yang
digelar di beberapa kota di Indonesia. Saya termasuk salah satu yang antusias
membaca novelnya, mononton filmnya, dan mengikuti diskusinya.
Di kampus tempat saya kuliah, usai pemutaran film, suasana haru
menyelimuti ratusan peserta, para penulis buku, saksi hidup, juga orangtua yang
datang. Laut Bercerita berdurasi 30
menit, berkisah tentang seorang tokoh bernama Biru Laut, aktivis mahasiswa yang
mati sebelum akhirnya disiksa berbulan-bulan dan ditenggelamkan ke dasar laut.
Film yang kemudian dibintangi oleh Reza Rahadian, Dian
Sastrowardoyo, Ayushita Nugraha, dkk itu didiskusikan di FISIP dan dibedah
bukunya di FIB UNAIR. Sebagai penulis, Leila mengaku, UNAIR dipilih sebagai
kampus roadshow mengingat ada kaitan
sejarah dengan novel yang ia tulis. Ialah Bimo Petrus Anugrah dan Herman
Hendrawan, aktivis mahasiswa asal FISIP UNAIR yang hilang.
Tentang Novel dan
Film
Novel ini ditulis Leila dengan penceritaan yang sangat detail.
Beberapa kali saya ngilu membaca bagian penyiksaan, juga keluarga yang pilu
menunggu anaknya pulang, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Bahkan
saya merasakan kecemasan berhari-hari usai membaca novelnya. Merasakan bahwa
kebebasan berpendapat dan berekspresi kita hari ini salah satunya ditebus oleh perjuangan
para aktivis mahasiswa.
Bagaimana tidak. Novel ini ditulis hampir 10 tahun lamanya.
Dalam risetnya, mulanya Leila melakukan in-depth
interview terhadap Nezar Patria, salah satu aktivis yang sempat diculik dan
disiksa, hingga kemudian dibebaskan.
Leila juga mengunjungi Blangguan, Situbondo, dan hamparan
tanaman jagung agar bisa membayangkan bagaimana perjuangan kelompok mahasiswa
membela petani yang lahannya akan digunakan sebagai lapangan latihan militer.
Laut Bercerita
adalah novel kedua Leila setelah Pulang,
novel yang juga mengisahkan tragedi pilu dengan latar peristiwa tahun 1965.
Leila menuturkan, setiap penulis harusnya selalu menekankan kemanusiaan dalam
setiap karya-karya mereka.
Sementara dalam film, karena keterbatasan durasi dan tentu
sebuah film tidak akan bisa menggambarkan semua isi dalam buku, Laut Bercerita cukup bisa
divisualisasikan dengan apik hingga merasuk ke dalam emosi penonton. Tak
sedikit peserta dalam diskusi menitikan air mata dalam beberapa scene yang haru.
Dalam kesempatan itu, saya cukup merinding mendengar
pernyataan D. Utomo Rahardjo ayah Bimo Petrus di hadapan ratusan mahasiswa dan
para pembicara.
“31 Maret nanti genap 20 tahun
saya berjuang malang melintang bolak-balik Malang, Surabaya, Jakarta, untuk
mencari keadilan di negeri ini. Saya tidak
berharap anda menjadi Bimo Petrus atau Herman. Tapi paling tidak, mahasiswa
tahu bahwa di kampus UNAIR ini, pada saat itu, ada anak-anak yang berani melawan arus dan memperjuangkan hak-hak dari mereka yang terpinggirkan," kata Bapak Oetomo.
Bersamaan
dengan rasa haru, pernyataan itu diikuti riuh tepuk tangan seisi ruangan.
Barangkali, kita semua tidak bisa
mengembalikan 13 aktivis dan belum ada penjelasan dari pemerintah terkait
hilangnya mereka. Namun, dengan membaca dan menonton Laut Bercerita, paling tidak kita yang mungkin belum cukup umur
untuk mengerti peristiwa yang terjadi ketika itu, bisa memiliki gambaran
tentang peristiwa tahun 98.
Kini, perjuangan mungkin bukan
lagi untuk melawan orde baru. Usai melihat kenyataan bahwa bangsa ini pernah
melakukan kejahatan bahkan kepada rakyatnya sendiri, mungkin dengan jengkel
sebagian masyarakat/mahasiswa akan bertanya, “Lantas, perjuangan seperti apa yang sebaiknya kita lakukan?”
Menurut hemat saya, perjuangan
para pemuda kini adalah memperjuangkan cita-cita sesuai passion yang ia miliki. Pengajar, penulis, pejuang HAM, apapun. Berjuang
dalam koridornya masing-masing untuk perbaikan bersama bangsa ini. Sehingga
kelak, melalui generasi yang terus belajar dan membangun, negara ini akan
berjaya pasa saatnya.
*Dipublikasikan di Harian Surya, 15 Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar