Ada cerita dari
kampungku. Dusun Selorejo, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Ada dua orang
tetangga, seorang janda yang sudah tua, Bulek Umi aku biasa menyapanya. Dan
seorang duda yang kira-kira usianya hampir mendekati 50 tahun, Pak Nardi
namanya. Keduanya tak pernah akur sejak dulu. Bukan selalu bertengkar, namun
tak pernah menegur sapa. Jalarannya, Pak Nardi pernah cinta mati dengan putri
Bulek Umi, Mbak Mey, yang kini sudah menikah dan sudah memiliki momongan. Kalau
kata orang kampung, secara pemikiran Pak Nardi itu nggak genep, katanya. Sudah ditolak tapi masih nguber-nguber.
Pak Nardi yang memiliki
perawakan pendek kecil dan pernah memiliki sakit yang tidak wajar, memang sejak
dulu mengharapkan cinta Mbak Mey. Ia suka dengan tiba-tiba membelikan baju,
kue-kue lebaran, dan berbagai perabot rumah tangga lainnya, meskipun pada
akhirnya selalu ditolak. Padahal, Mbak Mey dan keluarganya sudah menunjukkan sinyal-sinyal
ketidaksukaannya. Sudah menolak mentah-mentah malah, meski tidak dengan cara
yang kasar.
Siang tadi, Bulek Umi
datang ke rumah. Mengembalikan tikar yang beberapa waktu lalu dipinjam karena
ada yasinan di rumahnya. Disela-sela
obrolannya dengan ibu, Bulek Umi bercerita bahwa kemarin sore Pak Nardi datang
ke rumahnya memberikan surat keterangan duda. Sebagai bukti bahwa ia serius
pada Mbak Mey. Ketika itu, yang menerima surat adalah Ira, cucu Bulek Umi yang
masih berusia TK. Betapa terkejut bukan kepalang Bulek Umi. Tapi setelahnya, ia
anggap biasa saja. Karena sudah terlalu sering kegilaan macam itu ditunjukkan
oleh Pak Nardi.
Lain cerita, tetanggaku
yang bernama Pak Sumari dan merupakan teman dekat Pak Nardi, beberapa kali pernah
mendapat pengakuan dari Pak Nardi. Beberapa diantaranya adalah Mbak Mey pernah
malam-malam datang kerumahnya, dengan hanya memakai kemben, dan mengajaknya tidur sekamar, katanya. Padahal menurut
Mbak Mey, ia samasekali tak pernah merasa melakukannya. Memang sulit dipercaya
seorang Mbak Mey, yang bisa dikata agamis dan memiliki paras cantik tinggi,
melakukan hal sedemikian. Kata orang-orang kampung, itu dedemit yang menjelma
Mbak Mey.
Rumah Pak Nardi memang singlu, kataku. Pak Nardi yang hanya
tinggal sendiri memiliki rumah kecil setangkep,
yang masih dikelilingi tegalan-tegalan (tanah
tak terpakai yang banyak ditanami pohon-pohon dan banyak tumbuh tanaman-tanaman
liar). Rumah itu tanpa aliran listrik, menggunakan penerangan ublek (penerangan dari api yang
memanfaatkan minyak gas sebagai bahan bakar) dan hanya ditempati pada malam
hari karena ia bekerja di proyek pembangunan perumahan sejak pagi hingga petang
hari.
Aku masih ingat, dulu
waktu masih SD, ada sumur tua di depan rumah Pak Nardi. Karena sudah tidak
dipakai, sumur yang masih hidup dan masih mengeluarkan sumber air itu ditimbun
dan digunakan untuk membuang sampah-sampah juga pakaian-pakaian bekas. Padahal,
menurut kepercayaan orang-orang tua di kampung, sumur yang masih mengeluarkan
sumber air tidak boleh ditimbun begitu saja. Karena sumur yang masih hidup
menyimpan aliran air, memberi sumber penghidupan.
Kini, bahkan setelah
Mbak Mey menikah dan telah memiliki anak, Pak Nardi masih saja memendam rasa,
bahkan menceritakannya pada tetangga-tetangga. Padahal keluarga Bulek Umi tak
pernah menaruh tanya atau srawung
dengan Pak Nardi. Karena jika itu terjadi, dapat dipastikan Pak Nardi akan
semakin berulah jika keluarga Bulek Umi menunjukkan, setidaknya, sedikit
keramahan atau kepedulian terhadapnya.
Di kota-kota besar mungkin tidak akan ada cerita-cerita semacam ini. Cerita mengenai dedemit, lelembut, roh halus, medhon, dan lain sebagainya. Tapi di kampungku, cerita semacam ini hidup dan diyakini oleh sebagian masyarakat. Mengenai Pak Nardi, orang-orang kampung suka berkata: itu dedemit yang suka mengganggu, katanya.
Wallahua’lam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar