Apa
yang kau pikirkan semenjak kau dewasa? Setidaknya, semenjak kau lepas dari
orang tua. Perihal urusan hidup dan keseharianmu. Perihal keinginan dan
harapanmu. Perihal semua hal yang menyangkut keberlangsungan hidupmu.
Kau
yang kini memiliki kebebasan lebih. Menanggalkan seragam sekolah. Jam belajar
yang bebas. Kau mulai paham: setiap orang adalah guru, setiap peristiwa adalah
ilmu, dan setiap perjalanan adalah proses belajar. Kau yang kini memiliki
kemampuan bebas untuk memilih, menerima, juga menolak. Kau yang kini mampu
membaca, bukan hanya membaca buku, namun juga membaca lingkunganmu. Kaupun
mulai paham, bahwa pendidikan tinggi hanyalah lantaran untuk mencari
penghidupan. Belajar tentang bagaimana hidup akan kau cari dan kau temukan sendiri.
Di luar.
Kau
yang telah menemukan banyak hal. Tentang alam yang menyimpan ribuan kekayaan,
gunung, bukit, pantai, laut, hutan, suku anak dalam, tari, reyog, kesenian
daerah, adat istiadat, kepercayaan. Kau pun mulai menemukan betapa kaya
mitologi nenek moyangmu. Kau kemudian paham, betapa banyak orang yang tak
memiliki kesadaran memiliki, mencintai, memahami perbedaan. Pun betapa banyak
orang yang hidup hanya di dunianya sendiri: sekolah tinggi, bekerja mapan,
mencari banyak uang, kaya (sendiri).
Sebagian
darimu akan memilih kebiasaan seperti: pergi ke gunung berhari-hari, bebas mengunjungi
ombak di pantai, ngopi di angkringan
hingga dini hari, bermalasan membaca tumpukan buku-buku yang menyimpan jutaan
ilmu. Kau akan tahu banyak hal: bahwa hidup tak hanya tentang rizki dan materi,
ada pula tentang prinsip. Prinsip yang kau tentukan sendiri.
Lama-kelamaan,
kau akan merasa betapa banyak kemunafikan yang dilakukan orang-orang
disekitarmu. Kau juga mulai paham, betapa banyak buku beredar namun tak dapat
mencerdaskan masyarakat. Betapa semakin banyak dan mudah alat komunikasi namun
kita semakin tak dapat menemukan alat komunikasi mana yang cocok untuk digunakan.
Betapa kecanggihan alat komunikasi justru seringkali menjauhkan kita dengan
orang-orang terdekat.
Beberapa
kesibukan membosankan akan kau temukan sebagai pilihan orang-orang tua
(dewasa?). Pegawai? Waktumu akan terbatasi oleh rutinitas dan jam-jam yang
membosankan. Bertemu dengan orang-orang yang tak sepenuh hati bergelut di
bidangnya, hingga yang ia kerjakan hanyalah kewajiban-kebajiban yang dikerjakan
ala kadarnya.
Beberapa
cita-cita akan mulai terfikir olehmu. Mendirikan taman baca untuk anak-anak di
kampung. Kau bisa mengawasinya dan bermain bercerita bersama mereka. Mendirikan
kedai kopi di pinggiran kota. Kedai kopi unik yang menjadi langganan tempat
diskusi. Yang menyajikan racikan kopi-kopi dari berbagai kota. Dan, pada akhir
pekan, kedaimu biasa menghadirkan musisi-musisi keroncong dan jazz sebagai
pilihan musik yang kau senangi. Satu hal yang pasti yang akan kau dapat,
kesibukanmu tak akan membatasimu: nggunung,
mantai, tak terbatas tanggal dan waktu.
Kaupun
sempat terbersit pikiran, menghabiskan waktumu di tempat dan pulau terpencil,
belajar bersama anak-anak rimba, menjadi bagian dari proses kembang mereka, dan
kau akan menyaksikan anak-anak didikmu menjadi orang yang hebat, yang cerdas, yang
mampu membangun negeri tanpa jajahan orang asing. Hidup sederhana, member
pemahaman, memahami perbedaan, menciptakan kebahagiaan untuk banyak orang. Betapa
tak ada yang lebih membahagiakan.
Namun,
apakah hidup cukup seperti itu??
Hari-hari
ini, saat momen lebaran itu datang, kau akan banyak dituntut oleh keadaan. “Bagaimana
Menjadi Orang”. Kau pun mulai berfikir, bahwa hidup tak hanya tentang kebebasan
dan idealisme pribadi. Saudara dari ayah ibumu, dari kakek nenekmu, lingkungan
ternyata menuntutmu untuk menjadi pribadi yang mampu bermasyarakat, mampu
menjalin kerjasama dengan orang lain yang tak seide denganmu. Ketika bertemu
dengan anak-anak kecil yang manis dan lucu, sepaket dengan orangtua yang hebat
yang pandai bermasyarakat dengan hangat, kaupun mulai membayangkan bahwa kelak
kau juga akan mengalami hal yang sama. Pilihan yang aman dan banyak menjadi
idaman: mereka yang banyak harta tapi tetap rendah hati. Betapa amannya!
Kemudian
kau akan sadar: kenyataan yang ada di sekitarmu, tak sesuai dengan idealisme
pribadimu.
***
Aku
mencintai negaraku, Indonesia. Dari sana aku tumbuh, mengenalinya, mecintainya,
seisinya.
Akan
menjadi manusia seperti apa kau, apa yang akan kau berikan untuk negerimu,
semua ada di genggamanmu. Hidup tak melulu tentang apa yang didambakan orang
banyak. Namun juga tentang satu hal: prinsip.
Tak
ada kebenaran yang sejati. Kebenaran hari ini bisa saja diganti
kebenaran-kebenaran yang lain di kemudian hari. Karena kebenaran mutlah hanya
milik Allah SWT.
Syawal, hari ke 8, th 2014 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar