Senin, 04 Agustus 2014

Hidup Tak Melulu Tentang Rizki dan Materi, Ada Pula Tentang Prinsip

Apa yang kau pikirkan semenjak kau dewasa? Setidaknya, semenjak kau lepas dari orang tua. Perihal urusan hidup dan keseharianmu. Perihal keinginan dan harapanmu. Perihal semua hal yang menyangkut keberlangsungan hidupmu.

Kau yang kini memiliki kebebasan lebih. Menanggalkan seragam sekolah. Jam belajar yang bebas. Kau mulai paham: setiap orang adalah guru, setiap peristiwa adalah ilmu, dan setiap perjalanan adalah proses belajar. Kau yang kini memiliki kemampuan bebas untuk memilih, menerima, juga menolak. Kau yang kini mampu membaca, bukan hanya membaca buku, namun juga membaca lingkunganmu. Kaupun mulai paham, bahwa pendidikan tinggi hanyalah lantaran untuk mencari penghidupan. Belajar tentang bagaimana hidup akan kau cari dan kau temukan sendiri. Di luar.

Kau yang telah menemukan banyak hal. Tentang alam yang menyimpan ribuan kekayaan, gunung, bukit, pantai, laut, hutan, suku anak dalam, tari, reyog, kesenian daerah, adat istiadat, kepercayaan. Kau pun mulai menemukan betapa kaya mitologi nenek moyangmu. Kau kemudian paham, betapa banyak orang yang tak memiliki kesadaran memiliki, mencintai, memahami perbedaan. Pun betapa banyak orang yang hidup hanya di dunianya sendiri: sekolah tinggi, bekerja mapan, mencari banyak uang, kaya (sendiri).

Sebagian darimu akan memilih kebiasaan seperti: pergi ke gunung berhari-hari, bebas mengunjungi ombak di pantai, ngopi di angkringan hingga dini hari, bermalasan membaca tumpukan buku-buku yang menyimpan jutaan ilmu. Kau akan tahu banyak hal: bahwa hidup tak hanya tentang rizki dan materi, ada pula tentang prinsip. Prinsip yang kau tentukan sendiri.

Lama-kelamaan, kau akan merasa betapa banyak kemunafikan yang dilakukan orang-orang disekitarmu. Kau juga mulai paham, betapa banyak buku beredar namun tak dapat mencerdaskan masyarakat. Betapa semakin banyak dan mudah alat komunikasi namun kita semakin tak dapat menemukan alat komunikasi mana yang cocok untuk digunakan. Betapa kecanggihan alat komunikasi justru seringkali menjauhkan kita dengan orang-orang terdekat.

Beberapa kesibukan membosankan akan kau temukan sebagai pilihan orang-orang tua (dewasa?). Pegawai? Waktumu akan terbatasi oleh rutinitas dan jam-jam yang membosankan. Bertemu dengan orang-orang yang tak sepenuh hati bergelut di bidangnya, hingga yang ia kerjakan hanyalah kewajiban-kebajiban yang dikerjakan ala kadarnya.

Beberapa cita-cita akan mulai terfikir olehmu. Mendirikan taman baca untuk anak-anak di kampung. Kau bisa mengawasinya dan bermain bercerita bersama mereka. Mendirikan kedai kopi di pinggiran kota. Kedai kopi unik yang menjadi langganan tempat diskusi. Yang menyajikan racikan kopi-kopi dari berbagai kota. Dan, pada akhir pekan, kedaimu biasa menghadirkan musisi-musisi keroncong dan jazz sebagai pilihan musik yang kau senangi. Satu hal yang pasti yang akan kau dapat, kesibukanmu tak akan membatasimu: nggunung, mantai, tak terbatas tanggal dan waktu.

Kaupun sempat terbersit pikiran, menghabiskan waktumu di tempat dan pulau terpencil, belajar bersama anak-anak rimba, menjadi bagian dari proses kembang mereka, dan kau akan menyaksikan anak-anak didikmu menjadi orang yang hebat, yang cerdas, yang mampu membangun negeri tanpa jajahan orang asing. Hidup sederhana, member pemahaman, memahami perbedaan, menciptakan kebahagiaan untuk banyak orang. Betapa tak ada yang lebih membahagiakan.

Namun, apakah hidup cukup seperti itu??

Hari-hari ini, saat momen lebaran itu datang, kau akan banyak dituntut oleh keadaan. “Bagaimana Menjadi Orang”. Kau pun mulai berfikir, bahwa hidup tak hanya tentang kebebasan dan idealisme pribadi. Saudara dari ayah ibumu, dari kakek nenekmu, lingkungan ternyata menuntutmu untuk menjadi pribadi yang mampu bermasyarakat, mampu menjalin kerjasama dengan orang lain yang tak seide denganmu. Ketika bertemu dengan anak-anak kecil yang manis dan lucu, sepaket dengan orangtua yang hebat yang pandai bermasyarakat dengan hangat, kaupun mulai membayangkan bahwa kelak kau juga akan mengalami hal yang sama. Pilihan yang aman dan banyak menjadi idaman: mereka yang banyak harta tapi tetap rendah hati. Betapa amannya!

Kemudian kau akan sadar: kenyataan yang ada di sekitarmu, tak sesuai dengan idealisme pribadimu.

***

Aku mencintai negaraku, Indonesia. Dari sana aku tumbuh, mengenalinya, mecintainya, seisinya.

Akan menjadi manusia seperti apa kau, apa yang akan kau berikan untuk negerimu, semua ada di genggamanmu. Hidup tak melulu tentang apa yang didambakan orang banyak. Namun juga tentang satu hal: prinsip.

Tak ada kebenaran yang sejati. Kebenaran hari ini bisa saja diganti kebenaran-kebenaran yang lain di kemudian hari. Karena kebenaran mutlah hanya milik Allah SWT.


Syawal, hari ke 8, th 2014 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar