Ini cerita tentang jangkrik yang kubeli kemarin sore
di kampung halamanku sebelum aku kembali ke Surabaya pagi tadi. Bahkan tadi
pagi aku hampir pingsan di jalan. Kondisi tubuhku kurang bisa diajak kompromi.
Rupanya tubuhku tak terbiasa (lagi) mandi pagi di kampung dimana pak Soekarno
dimakamkan itu. Masuk angin, cukup akut..
Hingga sore ini aku masih bertanya-tanya, makhluk
unyu model apa lagi jangkrik ini. Dalam kamus otakku, yang kutahu, (apa
pengalaman bacaku saja yang rendah ya??? Hah.. ) mereka seperti kelelawar,
hanya akan aktif (berbunyi) ketika malam hari, ato setidaknya ketika hari
gelap. Namun ternyata mereka mematahkan isi otakku..
Masi teringat jelas, seperti gadis kota yang tak
pernah bgitu tahu jangkrik (sebenarnya tidak bgitu, hanya saja mungkin aku
kurang peka sebelumnya J ) kutenteng sekitar sepuluh ekor
jangkrik lengkap dengan sangkarnya hingga kubawa naik kereta tujuan Surabaya.
Seorang penumpang tujuan bangil, pak kondektur muda yang cakep J
, penjual air mineral yang kerut wajahnya mulai menua, bahkan hingga peminta-minta,
dari ekspresi mereka melihatku, apa ya?? Entah aku tak bisa menjelaskannya..
Yang paling kuingat, bocah laki-laki TK yang sudah
dibiarkan memegang dan memiliki sendiri hape qwerty. Sepanjang perjalanan, hapir tiga jam dari
blitar hingga malang, bocah itu tak mau beralih dari duduknya yang memilih berdempetan
denganku karena awalnya tertarik dengan jangkrik yang kubiarkan terpajang di
meja kecil dekat tempatku duduk. Main game dari hapenya, memintaku
menuntunnya membaca semua kata di sebuah koran yang menarik hatinya, makan
snack RingGo dengannya, membiarkan kamera hapenya memoteretiku, bocah itu
cerdas. ‘Terimakasih ya.. kalo tidak ada Mbak, sudah berhenti semua penjual
asongan yang lewat sini tadi’. Setidaknya, itu kata-kata terakhir yang ku ingat
ketika ia, eyang, yang kakak perempuannya yang seumuran gadis SMA turun dan
berhenti di stasiun kota Malang.
Namun ini tentang jangkrik yang ternyata tak bisa
membuatku sleeptight semalaman. Aku jadi tak tega membuatnya berlama-lama di
Surabaya. Surabaya terlalu panas untuk mereka. Kata dosen yang mebuatku membawa
jangkrik ini kemari, bunyinya adalah seperti shalawat tarkhim ketika dini hari.
Kalau kataku, ia tetap indah didengarkan (hanya) di kampung. Ketika menunggu
adzan maghrib, atau ketika tengah malam yang, bahkan suara sepeda motor sejauh
2 km pun bisa kutangkap suara bleyerannya.
Suara jangkrik yang kata dosenku bisa bikin dia
sleeptight, ternyata hanya bisa dihasilkan oleh jangkrik jantan. Suara itu
digunakan untuk menarik betina dan menolak jantan lainnya. Suara jangkrik akan
semakin keras dengan naiknya suhu sekitar.
Hauh,, bisa ngga tidur lagi aku nantii..