Berbagai
Permasalahan Pendidikan di Indonesia serta Peran Mahasiswa sebagai Generasi
Penerus Bangsa
Indonesia
adalah termasuk salah satu negara yang memiliki banyak perguruan tinggi dan
banyak mahasiswa di dalamnya. Tenaga pengajarpun juga sudah memadai, walaupun
terkadang kualitasnya masih kurang dari yang diharapkan. Apalagi dengan program
baru dari pemerintah mengenai pengadaan sertifikasi bagi pengajar di Indonesia,
menambah daftar panjang profesi yang dahulunya dianggap sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa tersebut. Namun hal itu tidak serta merta membuat pendidikan
Indonesia berjalan sempurna.
Sejak
tahun 2009, pemerintah menganggarkan 20% dari APBN untuk dialokasikan pada
sektor pendidikan. Dana dari pemerintah yang dianggarkan khusus untuk memajukan
pendidikan di Indonesia tersebut, nyatanya masih perlu dipertanyakan lagi
perihal transparansinya. Sebab, hingga kini menginjak tahun 2012, masih juga
sering kita dengar berbagai permasalahan pendidikan terjadi di negeri ini.
Mulai dari infrastruktur gedung pendidikannya yang tidak layak pakai, hingga masih
pula terdengar pemungutan biaya bagi siswa-siswi terjadi di berbagai instansi
pendidikan sekolah menengah di negeri ini. Sesungguhnya sudah benar-benar dialokasikan
dengan benarkah 20% dana tersebut? Padahal sudah mulai terdengar bahwa
perguruan tinggi negeri mulai terbuka dalam menerima mahasiswa dan lebih
mementingkan prestasi daripada pemungutan biaya-biaya yang memang tidak
sedikit. Banyak pemuda dari daerah-daerah dengan latar belakang ekonomi yang
rendah berhasil menempuh perguruan-perguruan tinggi negeri terkemuka di negeri
ini.
Masalah
lain pada pendidikan di Indonesia adalah undang-undang pendidikan atau
kurikulum yang sering direvisi. Ketika kurikulum baru menapaki jalannya dan
belum terlihat jelas hasil yang diinginkan, kurikulum tersebut sudah menyusul
diubah lagi, begitu seterusnya. Pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah,
seharusnya memiliki konsistensi. Kalaupun terjadi pergantian pembuat kebijakan,
tidak seharusnya mengabaikan kesinergian antara pembuat kebijakan lama dengan
pembuat kebijakan baru yang kemudian akan berperan. Selain itu, yang harus
lebih diperhatikan adalah adanya komitmen dan konsistensi antara pembuat
kebijakan dan penyelenggara atau pihak pemakai produk pendidikan. Sehingga akan
tercapai tujuan bersama yang diharapkan.
Indonesia
adalah negara yang syarat akan seni dan kebudayaan yang amat tinggi. Bassic
ini sudah kita miliki sejak nenek moyang kita masih ada. Sesungguhnya
pendidikan seni, minat bakat, dan budayalah yang tak kalah harus dikembangkan
lagi disamping pendidikan keilmuan. Jika kita perhatikan, entah diakui atau
tidak, semakin lama masyarakat semakin melupakan jati diri bangsa ini. Sehingga
sering muncul celoteh ‘bangsa ini tengah mengalami krisis kebudayaan’. Terkadang
kita terlalu malu atau lebih halusnya kurang percaya diri terhadap kebudayaan
yang kita miliki. Sebagai dampak negatif dari globalisasi, kita latah dan lebih
senang mengikuti perkembangan dan mode yang tengah digandrungi masyarakat
internasional. Tak jarang pula kita dengar justru orang dari luar negaralah
yang mempunyai keinginan tinggi untuk mempelajari berbagai budaya dan seni di
Indonesia. Memang, kita patut berbangga. Namun disisi lain pertanyaan yang
perlu di garis bawahi adalah sebegitu besarkah keinginan kita untuk mempelajari
kebudayan mereka, atau taruhlah kebudayaan kita sendiri? Mungkin kita justru
melalaikannya.
Seperti
yang nampak baru-baru ini, ketika negara lain mengklaim budaya kita, kita baru
sadar dan kemudian ramai berbondong-bondong ikut menyuarakan kebudayaan yang
dikalim tersebut. Kemana saja kita ketika mereka dengan getol mempelajari
budaya kita? Lebih jelas, kita seperti tengah kehilangan arah.
Disisi
lain ada generasi yang patut diperhitungkan di nereri ini. Merekalah mahasiswa.
Mahasiswa merupakan generasi bangsa yang memiliki ide-ide yang masih segar dan
cemerlang. Namun, salah satu masalah yang kemudian muncul adalah ketika seorang
mahasiswa telah merampungkan pendidikan dan selanjutnya mereka siap untuk
bekerja ataupun terjun langsung mengabdi kepada masyarakat, mereka tidak
kembali pada daerah dimana mereka berasal. Mereka lebih senang mengembangkan
karir di kota. Sebagai contoh adalah seorang yang berhasil menempuh studi di
fakultas pertanian. Kebanyakan dari mereka, setelah lulus justru tidak mau
kembali ke daerah, bergabung dengan para petani yang ada disana, dan membagi
ilmu atau memberikan solusi baru terhadap permasalahan yang dihadapi oleh para
petani. Akibatnya, meskipun ilmu tentang pertanian di pelajari, namun prakteknya
pada kehidupan nyata adalah nihil. Padahal mereka para mahasiswa, berpeluang
besar untuk lebih memajukan daerah mereka.
Berbagai
permasalahan tersebut harusnya menjadi cermin bagi kita semua, masyarakat dan
juga pemerintah untuk sama-sama menyadari, karena semuanya pada akhirnya
mengarah pada satu tujuan yang mulia, yaitu membangun bangsa ini.
Sebagai
agen of change, penting membangun karakter mahasiswa yang nantinya
benar-benar bisa menjadi pemimpin yang benar tahu apa kebutuhan dari masyarakat.
Selain itu, mahasiswalah yang sepatutnya mampu
menjembatani keinginan atau aspirasi dari masyarakat. Mahasiswalah yang
kemudian mampu menuangkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang nantinya menjadi
besar manfaatnya untuk kehidupan masyarakat.
Penanaman
moral sejak dini menjadi salah satu faktor yang tak kalah penting. Sebab,
kecerdasan spiritual justru akan menjadi momok yang paling menakutkan untuk
bangsa ini ketika tidak diimbangi dengan kecerdasan mental atau moral yang memadai.
Kita tidak akan menjadi manusia yang bangga menggembungkan kantong pribadi,
seperti yang tengah melanda negeri ini, jika kecerdasan moral tersebut kita
miliki. Oleh karena itu, penting untuk menjadi manusia-manusia Indonesia yang
sehat mental, jujur, dan memiliki hati yang lapang untuk mampu berjuang demi
bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar