Ini hari Minggu. Di kampung. Aku mulai mengetik
#30haribercerita (lagi) setelah sekian hari absen. Ternyata tidak mudah
konsisten menulis. Sedih. Baru menulis dua artikel di blog, absen berhari-hari
kemudian karena kesibukan (hilih alasan aje lu tong) dan kebuntuan ide.
Ini hari Minggu, (harus) ngetik di laptop ditemani secangkir
energen buatan ibu. Kerja pers tidak mengenal kata libur meski idealnya jam
kantor(ku) memberi jatah. Iya. Bikin pers rilis. Berbahan narasi dari rekan
reporter yang dua hari ini liputan tentang stem cell.
Ada ratusan ribu (atau bahkan di angka juta?) website (atau domain, ya?) yang beredar di Indonesia. Dari yang akuntabel dan dapat dipercaya, sampai konten-konten yang dibuat sekenanya. Padahal tidak ada kata main-main untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang adanya informasi yang akurat (hilih serius banget, sih).
Seperti biasa, salah satu dari pekerjaanku di kantor adalah
membuat rilis pers. Entah dari liputan yang aku sendiri penulisnya, atau dari
rekan reporter lain. Yang jelas, aku yang menyusun dan menyebarluaskan rilis
pers untuk stakeholder kampus dari ranah media: cetak, online, televisi, dan
radio. Kira-kira ada tak kurang dari 50 alamat surat elektronik.
Rilis pers ini adalah bagian dari tugas humas dalam rangka
memberikan penyediaan informasi publik. Penyebaran rilis pers kami lakukan
melalui surat elektronik. Entah akan dimuat si pemilik media atau tidak,
terserah mereka. Monggo. Bebas. Simbiosis mutualisme, dong. Kami membutuhkan
mereka untuk membantu publikasi. Sementara mereka membutuhkan kami selaku
penyedia (konten) informasi.
Ada bermacam-macam karakter wartawan ketika mendapat kiriman
rilis pers. Maklum. Mereka manusia yang beragam, dari latar pendidikan yang
beragam, dan berasal dari media yang beragam pula. Dari yang bergaji cukup
(sedikit) sampai yang cukup banyak. Dari yang kritis dan tidak mau menerima
rilis mentah-mentah, sampai yang tidak mau ambil pusing dan memilih meng-copy paste apa adanya rilis untuk dimuat
di media mereka. Plek-ketiplek tanpa
kurang satu katapun. Typo ya tetap typo. Duh.
Yang saya senang tentu tipe pertama. Yang jeli membaca
rilis. Jika dirasa informasi rilis pers menarik, yang bersangkutan menghubungi
kami dan meminta informasi lanjutan. Keesokan harinya, bahan dari rilis
ditambah informasi yang dihimpun secara mandiri oleh penulis, tersaji satu
artikel lengkap dan dimuat di koran harian.
Atau, jika informasi di dalam rilis pers memang sudah
lengkap, wartawan tinggal memparafrase atau menulis ulang, dan membuatnya
menjadi satu artikel baru. Menyenangkan. Wartawan begini yang sangat layak
diacungi jempol.
Tipe wartawan yang kedua, sepertinya tidak perlu –atau lain
kali saja- aku membahasnya. Hehe.
Cukup.
Ini pukul 9.30. Di kampung angin sedang kencang-kencangnya karena sedang musim grobogan. Aku harus segera berkemas
untuk kembali ke Surabaya siang nanti dan bertemu dengan aktivitas yang –mau
tidak mau- harus (diciptakan) menyenangkan. Hehe. Dadah. Mwah.