Sumber gambar: Google |
"Pembawaan diri
yang baik akan meninggalkan kesan yang baik pula. Bukan hanya untuk dirimu
sendiri, tapi juga untuk instansi dimana dirimu berasal".
Setidaknya, itu yang saya rasakan ketika mendapati seorang
mahasiswa datang ke kantor beberapa waktu yang lalu.
Di kantor, selain liputan di lapangan dan bekerja di balik
meja sebagai editor naskah, saya adalah staf yang mendapat tugas untuk mengakomodir
para penulis opini yang berhak mendapatkan honor. Biasanya, mereka yang antara
lain merupakan mahasiswa, dosen, maupun alumni, datang ke kantor untuk
mendapatkan hak mereka.
Tentu, hal semacam ini memungkinkan saya berkenalan dengan mereka
para penulis. Bukan hanya berkenalan, saya sampai hafal karakter beberapa
penulis yang langganan nulis ide-ide
mereka di laman berita resmi universitas tempat saya bekerja.
Tentu macam-macam gayanya, apalagi mahasiswa. Ada yang
trengginas sekali (macam bahasanya Gus Mul aja ya) ketika mendapat pesan untuk
pengambilan honor; ada yang, entah mungkin saking sibuknya, berminggu hingga berbulan-bulan
honor tak kunjung diambil. Macam-macam lah, karakternya.
Terlepas dari itu semua, saya salut atas kegigihan mereka dalam
meramu topik menjadi sebuah gagasan yang layak baca.
Yang ingin saya bagi di sini adalah perihal cara mereka dalam
'membawa diri' ketika berhadapan dengan orang lain, orang baru, yang sebelumnya
belum pernah bertemu.
Tepatnya, salah satu dari penulis opini yang adalah
mahasiswa, datang ke kantor untuk mengambil honor. Kira-kira, begini yang ia
ucapkan sesaat setelah membuka pintu ruangan.
"Permisi, mbak,
mau ambil honor".
Saat itu saya sedang salat dan tidak menitipkan pesan kepada
rekan kantor untuk meminta menunggu jika ada penulis opini yang datang.
Seandainya kamu berada di posisi rekan kantor saya yang
berhadapan langsung dengan si-mahasiswa, kira-kira apa yang kamu pikirkan? Apalagi,
mayoritas dari rekan kantor adalah arek Suroboyoan
yang tentu, sangat cablak (baca:
ceplas-ceplos). Apa dalam hati nggak
langsung mbatin, "Lho koen iku sopo, reek?" Hehehe.
Unggah-ungguh ini
lah yang seringkali saya dan rekan-rekan kantor jumpai. Apalagi, kerja di Humas
memungkinkan kami berinteraksi dengan orang berbeda setiap harinya. Bukan
hanya kalangan internal kampus, tapi juga pihak luar kampus.
Sesaat setelah si-mahasiswa pergi, rekan kantor dengan nada yang khas Suroboyoan itu bilang,
A: "Arek ngendi iku mau, Bin?"
Q: "FIB, Mbak."
A: "Wooh.. pantes."
Q: *Krik.krik.krik*
Sesaat setelah si-mahasiswa pergi, rekan kantor dengan nada yang khas Suroboyoan itu bilang,
A: "Arek ngendi iku mau, Bin?"
Q: "FIB, Mbak."
A: "Wooh.. pantes."
Q: *Krik.krik.krik*
Kalau dalam teori komunikasi seperti yang pernah diajarkan
Pak Suko Widodo (halah), kenali dirimu dan siapa yang kamu ajak bicara. Dalam posisi
mahasiswa tadi, misalnya, posisikan diri sebagai orang baru yang berada di
tempat baru. Tentu, menjadi sangat wajib bagi dirinya untuk mengenalkan diri,
minimal nama; darimana berasal; serta apa keperluannya sehingga datang kemari. Jika
tak bisa menyebutkan keperluan secara langsung karena ingin bertemu by name, maka sebutkan siapa yang sedang
kamu cari. Mrs X, misalnya.
Ini mungkin sangat remeh. Usai kejadian itu, mungkin si
mahasiswa tidak akan bertemu lagi dengan rekan-rekan kantor yang menerima ia di
ruangan. Tapi apa yang ia tinggalkan membawa kesan. Orang kadang nggak 'ngeh' bahwa hal semacam ini
penting untuk diperhatikan.
Dimanapun tempatnya, ketika datang di tempat baru, utamanya
tempat yang memberikan pelayanan, wajib untuk memperkenalkan diri, menyebutkan
darimana berasal, baru menyebutkan apa yang dibutuhkan.
Sekali lagi, hargailah dirimu sendiri dengan membawa kesan
yang baik dimata orang lain. Semoga aku dan kamu tak akan pernah lelah dalam
belajar.
Salam.