Selasa, 16 Juni 2015

Methik Pari ‘Mbok Sri Sedono’


Ketika pulang kampung, selalu ada hal-hal unik yang dulunya seakan biasa saja. Namun setelah sedikit memperoleh pemahaman tentang tradisi Jawa, ternyata ada hal-hal tak biasa yang mencoba dipertahankan oleh sebagian orang. Seperti di kampungku. Tradisi ini mungkin banyak terjadi di kampung-kampung di belahan kota di tanah Jawa, tapi hanya sebagian saja yang masih memegang teguh. Ialah Methik Pari.

Mar Musriatun, atau yang lebih akrab kupanggil Lek Tun. Sungguh, perempuan Jawa yang telah berusia 72 tahun dan tetap masih ethes sampai saat ini. Bagiku, ia sosok perempuan Jawa cerewet yang inginnya selalu perfect: dalam segala hal. Mempertahankan warisan tradisi orang tua dan nenek moyangnya terdulu adalah suatu keharusan baginya. Meski jaman telah maju dan hal-hal yang bersifat mistis mulai ditinggalkan oleh sebagaian besar masyarakat, namun bagi Mbah Tun adate wong kuno harus tetap dipegang. Ialah Methik Pari.

Pari atau padi merupakan makanan pokok masyarakat. Sebagai makanan pokok, padi yang ditanam haruslah berkualitas bagus, panen dengan hasil yang maksimal, serta menjadi beras yang bagus dan mengenyangkan ketika dimakan. Karena faktor-faktor itulah, selamatan diadakan. Menurut Mbah Tun, sawah adalah lahan yang juga memiliki penunggu. Untuk itu segala hal yang berkaitan dengan menanam dan juga memanen bahan makanan pokok di sawah, harus diselamati. Selamatan ini juga bertujuan untuk membayar si empunya sawah karena telah menjaga sawah dan tanaman yang menacap di dalamnya.

Methik pari dilaksanakan ketika padi telah berusia hampir tiga bulan. Yaitu ketika padi mulai berisi, dan tak lama kemudian tinggal menunggu waktu untuk memanen. Hari dan tanggal yang digunakan untuk methik pari harus dipilih hari yang bagus, dan merupakan hari dan pasaran yang sama dengan ketika padi ditanam. Yaitu dicarikan hari pas tibo uwoh. Tibo uwoh maksudnya adalah hari pada penanggalan Jawa yang dipercaya bagus, agar uwoh atau buah yang akan dipetik nantinya berkualitas bagus dan panen melimpah.

Ketika akan dilaksanakan methik pari, bahan-bahan pun disiapkan, yaitu berupa sesaji yang berupa pisang raja, kelapa, dan empat buah cok bakal. Cok bakal merupakan takir kecil yang terbuat dari daun kelapa dengan berisikan telur ayam jawa, teri, miri, ketumbar, merica, garam, gula merah, bawang merah, bawang putih, cabai, tembakau, uang, gantalan (daun sirih yang dipelintir), dan juga kembang boreh. Selain cok bakal, yang tak boleh tertinggal adalah janur (daun kelapa muda), dadap, daun pulutan, sisir, kendhi kecil berisi air, tikar berukuran kecil, dan badhek (air dari pembuatan tape). Sesaji yang akan digunakan haruslah pepak, maksudnya komplit, tak kurang satupun.

Setelah semua kelengkapan siap, berbagai sesaji tersebut dibawa ke sawah tempat padi yang telah menguning berisi. Ke empat cok bakal yang telah lengkap dengan isi-isinya masing-masing diletakkan pada keempat pojok sisi sawah. Air di dalam kendi dikucurkan ke sawah. Setelah mengucap salam, pemilik sawah mengucap mantra: Mbok Sri Sedono kowe tak rujaki, oyot kawat wito wesi, kembang emas woho inten, bakale balik nyang tarub Agung. (Artinya: Mbok Sri Sedono, kamu saya rujaki, berakarlah kawat berdahan besi, berbunga emas berbuahlah intan. Pulanglah kepada Yang Agung). Demikian mantra tersebut dirapalkan.

Setelah berbagai ritual yang dilakukan di sawah selesai, pemilik sawah pulang ke rumah dan mempersiapkan untuk selamatan kenduri. Selamatan ini biasanya mengundang para tetangga untuk datang, namun terkadang hanya cukup dengan membagikan berkat/takir kepada tetangga-tetangga terdekat. Jenang merah dan buceng juga piranti kenduri yang tidak boleh terlewat.

Padi dalam adat kepercayaan orang-orang Jawa dinamakan dengan Mbah Sri Sedono. Mbah Sri Sedono sebagai sumber penghidupan diyakini hidup dalam butiran-butiran padi. Sebab itulah orang Jawa harus open (tidak menyia-nyiakan). Terhadap padi, beras, atau yang telah menjadi nasi sekalipun, pantang untuk dibuang-buang. Karena membuang berarti pula menyia-nyiakan Mbah Sri Sedono.

Sampai saat ini, berbagai tradisi Jawa yang diperoleh dari orang tua dan neneek moyang masih teguh dipegang oleh Mbah Tun. Piranti sesaji pun harus pepak, tak ada yang boleh terlewat. Berdasarkan pengalaman yang pernah dilalui, ayahnya pernah kejang-kejang ketika dalam acara pernikahan yang diselenggarakan oleh tetangganya. Sang ayah yang diperaya menyiapkan segala sesaji kejang-kejang dan merintih kehausan. Ketika ditelisik, ternyata ada salah satu piranti sesaji yang terlewat, yaitu badek. Sejak pengalaman itu tradisi Jawa tak pernah ia tinggalkan.

“Sanajan sepele, mbebayani lek ora genep”, tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar