Ketika pulang kampung, selalu ada
hal-hal unik yang dulunya seakan biasa saja. Namun setelah sedikit memperoleh
pemahaman tentang tradisi Jawa, ternyata ada hal-hal tak biasa yang mencoba
dipertahankan oleh sebagian orang. Seperti di kampungku. Tradisi ini mungkin
banyak terjadi di kampung-kampung di belahan kota di tanah Jawa, tapi hanya
sebagian saja yang masih memegang teguh. Ialah Methik Pari.
Mar Musriatun, atau yang lebih
akrab kupanggil Lek Tun. Sungguh, perempuan Jawa yang telah berusia 72 tahun
dan tetap masih ethes sampai saat
ini. Bagiku, ia sosok perempuan Jawa cerewet yang inginnya selalu perfect: dalam
segala hal. Mempertahankan warisan tradisi orang tua dan nenek moyangnya terdulu
adalah suatu keharusan baginya. Meski jaman telah maju dan hal-hal yang
bersifat mistis mulai ditinggalkan oleh sebagaian besar masyarakat, namun bagi Mbah
Tun adate wong kuno harus tetap
dipegang. Ialah Methik Pari.
Pari atau padi merupakan makanan
pokok masyarakat. Sebagai makanan pokok, padi yang ditanam haruslah berkualitas
bagus, panen dengan hasil yang maksimal, serta menjadi beras yang bagus dan
mengenyangkan ketika dimakan. Karena faktor-faktor itulah, selamatan diadakan.
Menurut Mbah Tun, sawah adalah lahan yang juga memiliki penunggu. Untuk itu
segala hal yang berkaitan dengan menanam dan juga memanen bahan makanan pokok
di sawah, harus diselamati. Selamatan ini juga bertujuan untuk membayar si
empunya sawah karena telah menjaga sawah dan tanaman yang menacap di dalamnya.
Methik pari dilaksanakan ketika padi telah berusia hampir tiga
bulan. Yaitu ketika padi mulai berisi, dan tak lama kemudian tinggal menunggu
waktu untuk memanen. Hari dan tanggal yang digunakan untuk methik pari harus dipilih hari yang bagus, dan merupakan hari dan
pasaran yang sama dengan ketika padi ditanam. Yaitu dicarikan hari pas tibo uwoh. Tibo uwoh maksudnya adalah hari pada penanggalan Jawa yang
dipercaya bagus, agar uwoh atau buah
yang akan dipetik nantinya berkualitas bagus dan panen melimpah.
Ketika akan dilaksanakan methik pari, bahan-bahan pun disiapkan,
yaitu berupa sesaji yang berupa pisang raja, kelapa, dan empat buah cok bakal.
Cok bakal merupakan takir kecil yang terbuat dari daun kelapa dengan berisikan
telur ayam jawa, teri, miri, ketumbar, merica, garam, gula merah, bawang merah,
bawang putih, cabai, tembakau, uang, gantalan (daun sirih yang dipelintir), dan
juga kembang boreh. Selain cok bakal, yang tak boleh tertinggal adalah janur
(daun kelapa muda), dadap, daun pulutan, sisir, kendhi kecil berisi air, tikar
berukuran kecil, dan badhek (air dari pembuatan tape). Sesaji yang akan
digunakan haruslah pepak, maksudnya
komplit, tak kurang satupun.
Setelah semua kelengkapan siap, berbagai
sesaji tersebut dibawa ke sawah tempat padi yang telah menguning berisi. Ke
empat cok bakal yang telah lengkap dengan isi-isinya masing-masing diletakkan
pada keempat pojok sisi sawah. Air di dalam kendi dikucurkan ke sawah. Setelah
mengucap salam, pemilik sawah mengucap mantra: Mbok Sri Sedono kowe tak rujaki, oyot kawat wito wesi, kembang emas
woho inten, bakale balik nyang tarub Agung. (Artinya: Mbok Sri Sedono, kamu
saya rujaki, berakarlah kawat berdahan besi, berbunga emas berbuahlah intan.
Pulanglah kepada Yang Agung). Demikian mantra tersebut dirapalkan.
Setelah berbagai ritual yang
dilakukan di sawah selesai, pemilik sawah pulang ke rumah dan mempersiapkan
untuk selamatan kenduri. Selamatan ini biasanya mengundang para tetangga untuk
datang, namun terkadang hanya cukup dengan membagikan berkat/takir kepada tetangga-tetangga
terdekat. Jenang merah dan buceng juga piranti kenduri yang tidak boleh
terlewat.
Padi dalam adat kepercayaan
orang-orang Jawa dinamakan dengan Mbah Sri
Sedono. Mbah Sri Sedono sebagai sumber penghidupan diyakini hidup dalam
butiran-butiran padi. Sebab itulah orang Jawa harus open (tidak menyia-nyiakan). Terhadap padi, beras, atau yang telah
menjadi nasi sekalipun, pantang untuk dibuang-buang. Karena membuang berarti
pula menyia-nyiakan Mbah Sri Sedono.
Sampai saat ini, berbagai tradisi
Jawa yang diperoleh dari orang tua dan neneek moyang masih teguh dipegang oleh
Mbah Tun. Piranti sesaji pun harus pepak, tak ada yang boleh terlewat. Berdasarkan
pengalaman yang pernah dilalui, ayahnya pernah kejang-kejang ketika dalam acara
pernikahan yang diselenggarakan oleh tetangganya. Sang ayah yang diperaya
menyiapkan segala sesaji kejang-kejang dan merintih kehausan. Ketika ditelisik,
ternyata ada salah satu piranti sesaji yang terlewat, yaitu badek. Sejak
pengalaman itu tradisi Jawa tak pernah ia tinggalkan.
“Sanajan sepele, mbebayani lek
ora genep”, tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar