Beberapa hal terjadi begitu cepat, beberapa yang lain justru terasa
sangat lambat untuk dijalani. Ini semacam sebuah curhatan hidup, atau setidaknya,
curhatan seorang mahasiswi tingkat akhir yang sebetulnya belum bernafsu untuk
lulus cepat-cepat. Lulus diwaktu yang tepat, jika tidak bisa dibilang
pembelaan, kukira itu lebih baik.
Aku seorang mahasiswi tingkat akhir, yang, untuk bisa membuat orang tua,
sanak saudara, dan juga para tetangga kemudian menjadi senang, aku harus segera
lulus kuliah dan kerja yang enak dengan gaji yang banyak. Sekarang, di kamar
kosku, di dekat kampus di pusat kota Surabaya, untuk kesekian kalinya aku
dianugerahi rasa yang begitu malas untuk mengerjakan skripsi. Kenyataan itu
harus kuterima di tengah teman-teman yang telah bertebaran menyelesaikan ujian skripsi,
telah selesai yudisium, dua gelombang telah usai wisuda malah.
Sekarang, di dalam kamar kosku ukuran 3x4 yang berantakan, aku sedang
dikejar deadline. Jangan salah. Apa
kau pikir ini deadline skripsi?
Selain dianugerahi sebagai mahasiswi tingkat akhir yang belum usai skripsinya, aku
juga dianugerahi kesibukan sebagai jurnalis warta kampus, yang dengan itu
menyebabkan kemalasanku untuk mengerjakan tugas akhir skripsi semakin menjalar.
Oh Tuhan, berilah kekuatan penuh pada hambamu yang sedang dilanda kemalasan
mengerjakan skripsi ini.
Skripsi. Kenyataan lapangan yang harus kau terima, siapapun kamu yang
memutuskan untuk mau-maunya kuliah. Skripsi. Kenyataan paling empiris yang
harus dijalani setiap mahasiswa, entah yang berasal dari anak pejabat,
selebriti, musisi, dan siapapun kamu yang telah mau-maunya menghabiskan 4 tahun
dalam hidup untuk kuliah. Skripsi. Ibarat beverage
yang tetap harus masuk ke perutmu sebelum kamu resmi dinyatakan lulus sebagai
sarjana. Tak peduli meskipun kamu telah mendapat pekerjaan dan sebetulnya
beratnya menanggung skripsi tak masuk dalam praktik kerjamu. Seperti halnya aku
ini.
Aku seorang mahasiswi tingkat akhir. Dulu, di kampus sejak masih semester
unyu, aku pegiat pers mahasiswa (persma). Jangan menyebut aktivis kampus. Sebab
predikat itu merupakan beban moral tersendiri bagiku. Di persma, kemudian yang
kurasakan aku menjadi akrab dengan dunia tulis-menulis. Mengkritisi kehidupan
kampus, akademik, progres program kerja kampus, dan berbagai permasalahan
lainnya yang kukira waktu itu sangat penting untuk ditelusuri dan diketahui
oleh seluruh penduduk kampus.
Di persma, aku kemudian menjadi akrab untuk mengikuti kajian-kajian,
pelatihan-pelatihan, mewakili organisasi untuk menghadiri pelatihan yang
diadakan persma lain di luar kota dan bahkan luar provinsi. Disana, aku merasa
bertemu dengan rekan-rekan yang juga sevisi denganku. Beberapa dari mereka
progresif sekali. Ada yang dipanggil dekanat berkali-kali karena tulisan kritiknya.
Hingga ada yang pada akhirnya harus drop
out dari kampus. Tapi ada hal yang jelas mereka perjuangkan di sana:
keadilan dan kemanusiaan. Berkumpul bersama mereka selalu merasa muda dan penuh
perjuangan yang heroik bagiku waktu itu.
Menginjak semester akhir, kehidupan persma perlahan kulepaskan. Oleh
sebab karena jabatan penting sebagai petinggi organisasi telah dilepas dan harus
diganti dengan yang lain untuk melanjutkan proses kaderisasi. Lepas dari
persma, aku memutuskan untuk kemudian lebih menekuni kuliahku, setidaknya untuk
mulai merencanakan pengerjaan tugas akhir skripsi. Aku bertekad untuk rajin
pergi ke perpustakaan, berdiskusi dengan teman dan dosen, membaca buku dan
jurnal-jurnal ilmiah. Intinya, aku lebih memperdalam kemampuan akademikku untuk
kemudian bisa menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan cepat.
Namun nyatanya aku bukan tipikal mahasiswi yang gemar menatap layar
monitor dan membaca buku berjam-jam. Kehidupan flat macam itu sungguh sangat membosankan. Berkutat dengan metode,
teori, tenik penelitian, wawancara. Setiap hari tak ada hal lain yang kau
pikirkan selain itu. Sungguh, jika berada dalam posisi ini, mungkin kamu akan
merasakan hal yang sama denganku. Tak menentu. Kecuali, kau memang seorang
akademis akut, yang berambisi untuk segera lulus kuliah, melanjutkan studi,
atau segera bekerja, dan menikah. Kecuali kau tipikal orang macam itu.
Bersama skripsi, aku memutuskan untuk mencari kesibukan lain yang
dengannya aku tetap bisa mengerjakan tugas akhir. Menjadi jurnalis warta
kampus. Ya. Aku memutuskan menjadi jurnalis warta kampus dan menjadi bagian
dari humas kampus. Awalnya aku berfikir bahwa ini sangat bertentangan dengan
aktivitasku yang pernah menjadi pegiat persma. Menjadi semacam jinak dan patuh
terhadap kebijakan yang diberikan kampus. Intinya, ikut membangun kampus
bersama-sama mencapai cita-cita. Menghalau segala berita buruk tentang kampus,
dan menggantinya dengan prestasi-prestasi yang telah dicapai warga kampus.
Empat bulan pertama aku menjadi kontributor. Bekerja di lapangan hanya
jika diminta. Aku tak harus datang ke kantor, apalagi menghabiskan waktu di
kantor setiap hari. Dengan menjadi kontributor warta kampus, aku masih punya
waktu banyak untuk pergi ke luar kota, berlibur bersama teman-teman, nongkrong.
Aku sangat menikmati aktivitasku itu. Tugas akhir skripsi untuk segera lulus??
Tenang. Tetap kukerjakan meski pelan-pelan.
Namun aktivitas menjadi kontributor warta kampus hanya berlangsung empat
bulan saja. Selajutnya yang terjadi hingga saat ini adalah aku dikontrak untuk
menjadi staf, dan dengan begitu harus mematuhi aturan jam kantor: telah berada
di kantor pada pagi hari dan pulang sore harinya. Sungguh, aku kaget awalnya. Aku
yang terbiasa tidur pagi dan kadangkala masih suka bangun terlambat, harus
mulai menyesuaikan jam kantor, tanpa bisa main-main di hari aktif kerja. Bahkan
untuk bisa ngopi di kantin kampus aku harus nyolong-nyolong bersama waktu
liputan di luar. Apalagi untuk bisa keluar kota beberapa hari. Hanya sebatas rencana.
Sebagai staf di warta kampus yang telah kujalani tiga bulan ini, selanjutnya
yang terjadi adalah aku menjadi akrab untuk mengobrol, atau setidaknya
wawancara dengan para petinggi kampus. Mengetahui progres-progres kampus. Ikut
berperan menjalankan visi misi kampus. Menjadi malaikat bagi terbukanya akses
kampus untuk semakin melebarkan sayap. Dan skripsi?? Menjadi semacam momok yang
selalu melayang-layang di Sabtu Mingguku. Oh Tuhan.
Seiring berjalannya waktu, berada di tengah orang-orang yang telah benar-benar
‘bekerja’, terkadang membuatku merasa menjadi lucu ketika di kampus dan
mendapati teman-teman yang masih eksis sebagai ‘aktivis’. Teman-teman yang
sebagian besar merupakan adik tingkat dengan aktivitas mereka sebagai ‘aktivis
progresif kampus’. Mereka yang aktif demo di depan gedung DPR, melakukan aksi
di depan rektorat menuntut agar mahasiswa terpenuhi hak-hak pendidikannya
sebagai warga negara, konvoi di jalan ketika hari-hari besar nasional, hari
buruh misalnya. Aku terkadang merasa menjadi asing dengan aktivitas-aktivitas
itu. Tapi memang aktivitas semacam itu, meski tak banyak membuahkan hasil,
kukira harus tetap hidup. Dengan merevolusi strategi tentunya.
Dan, kukira selalu ada benarnya kata Tan Malaka: Idealisme adalah
kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.
Sementara itu di lain hal, aku juga harus melihat kenyataan bahwa
teman-teman yang telah wisuda beberapa diantaranya belum juga mendapat kerja. Pontang-panting
menawarkan keahlian diri ke berbagai perusahaan. Atau, telah mendapat kerja
namun tak sesuai dengan keinginan dan passionnya.
Ada juga yang masih mempertahankan status sebagai mahasiswa, dengan dalih
‘masih skripsi’. Bagi mereka, lulus 4 tahun atau 3,5 tahun kurang mendalami
ilmu. Terlalu cepat dan instan. SKS yang dibebankan pada mahasiswapun terhitung
besar. Sehingga terkadang mahasiswa tak bisa bebas mengikuti ormek dan ormik
jika SKS kuliah yang dibebankan tinggi. Golongan mahasiswa macam itu kukira ada
benarnya. Tapi terkadang aku curiga. Tidak juga menyelesaikan skripsi karena
masih ingin memperdalam ilmu, atau sesungguhnya belum siap dengan kenyataan
yang harus diterima ketika lulus nanti? Bekerja, mengabdi, mengaplikasikan
ilmu. Bisa jadi belum siap untuk itu.
Kadangkala, aku juga melihat teman-teman aktivis yang dulu dalam
ingatanku dengan gagahnya mati-matiaan demo membela hak rakyat, membela kaum
proletar, memperjuangkan harga BBM, memperjuangkan hak buruh, telah kendur
semangatnya. Lantas bagaimana perjuangannya di kampus dulu? Lantas kemana api
yang menyala-nyala di dadanya waktu itu? Hilang begitu saja? Seakan-akan aku melihat
di matanya bahwa dunia telah berubah.
Hal yang saat ini seringkali membuatku menjadi sangat rindu adalah ketika
mengikuti kegiatan-kegiatan mahasiswa di kampus. Menonton pentas teater.
Menonton pertunjukan musik akustik. Musikalisasi puisi. Pembacaan puisi. Drama.
Suara mahasiswa ramai bersahut-sahutan di tengah acara. Menyruput kopi. Menyanyi.
Menari. Tertawa. Aku selalu rindu momen-momen itu.
Seiring dengan berbagai kenyataan itu, sebagai mahasiswi perantau tingkat
akhir, kau pasti tahu apa yang terjadi ketika aku pulang kampung. Seperti momen
lebaran yang terjadi beberapa bulan lalu. Orang tua, tetangga, sanak saudara,
Pak RT, ibu-ibu arisan. Kau pasti tahu pertanyaan apa yang mereka lontarkan
ketika bertemu denganku dimomen-momen silaturahim. Jika berada dalam keadaan
begitu, kau mungkin hanya bisa tersenyum, atau mengalihkan pembicaraan ke topik-topik
lain seperti yang kulakukan.
Sementara itu, sampai saat ini, ibu adalah sosok paling malaikat yang
paling tidak bisa membuatku untuk berkata ‘tidak’. Ibu. Makhluk paling ajaib
yang paling bisa memadamkan api yang membara didada yang telah siap meletus
kapanpun kau mau. Ibu. Adalah makhluk paling segalanya yang ketika aku berniat
untuk ijin memperpanjang studimu dan dia hanya pelan berkata ‘segera selesaikan
skripsmimu’. Jika sudah begitu, aku bisa apa??
Kapan sidang skripsi?
Kapan wisuda?
Mana pasanganmu? - - - - - - - - - - -