Ilustrasi Dilan dan Milea dari novel "Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990" |
Dilan 1990. Tepatnya Senin malam lalu, saya menonton film yang
saat ini lagi banyak dibicarakan kawula muda itu. Film yang diangkat dari judul
novel yang sama yang terbit tahun 2014 silam.
Senin malam. Saya berangkat dengan harapan bioskop setidaknya
lebih sepi dari hari-hari lainnya. Sehingga, saya tak harus antre panjang, juga
bisa menikmati film yang sudah saya tahu alur ceritanya sejak novel
diterbitkan.
Ternyata dugaan saya salah. Malam itu, di salah satu bioskop
tempat saya nonton, hanya ada dua film yang diputar. Dilan salah satunya.
Bahkan, di hari itu dan mungkin juga hari-hari sebelumnya, dalam sehari ada 15
jadwal pemutaran film Dilan.
Tak heran, hingga dua belas hari pemutaran di bioskop, jumlah
penonton film ini mencapai 4 juta, melebihi film "AADC 2" yang mengantongi penonton
dengan angka berhenti pada 3,7 juta.
Dilan memang sedang ramai-ramainya dibicarakan. Beberapa
akun di instagram bahkan menyebutkan pemeran utama film ini, Dilan dan Milea,
digadang-gadang sebagai ikon kisah cinta remaja SMA saat ini. Seperti ikon-ikon
yang sebelumnya berhasil diciptakan, Galih dan Ratna hingga Rangga dan Cinta.
Tak sia-sia sang penulis Pidi Baiq menciptakan tokoh Dilan
dan Milea. Terlepas dari kontroversi apakah kisah cinta tokoh keduanya
benar-benar ada di dunia nyata.
Sejujurnya, saya nggak
feeling menonton film ini sejak rencana difilmkan tahun lalu. Saya hanya
khawatir, film yang diciptakan akan menghancurkan imajinasi saya atas pembacaan
novel Dilan.
Lalu, hampir semua media sosial yang saya ikuti, instagram, twitter,
nyaris memberi penilaian bagus untuk film ini. Termasuk beberapa
penulis dan vlogger yang cukup saya suka. Yha, jadinya saya nonton juga.
Saya tahu, beberapa teman begitu militan terhadap sosok
Dilan. Ia menjadi magnet yang memiliki daya tarik tersendiri, bahkan bagi generasi
25 tahun ke atas.
Sebaliknya, adapula yang menganggap cerita ini sebagai kisah
cinta menye-menye yang kadang mengandung unsur garing.
Me-review cerita
ini, saya hanya akan membagi pandangan atas diciptakannya film Dilan. Jika
kemudian ada yang kurang berkenan, saya tidak peduli. Hehe.
. . . .
Dilan. Saya telah lebih dulu jatuh cinta dengan sosok ini jauh
sebelum pada akhirnya novel ini difilmkan. Saya cukup mengikuti perkembangan rencana
pemfilman novel ini. Dan kemudian, Iqbaal Ramadhan, mantan personil Coboy
Junior itu, terpilih untuk memerankan tokoh Dilan.
Menonton Dilan barangkali adalah mengingat-ingat setiap detail
cerita dalam novel. Benarkah ingatan saya masih sempurna? Bagaimana tidak. Sepanjang
film berjalan, semua adegan dan percakapan nyaris mirip seperti yang ada dalam
novel.
Pidi Baiq yang ikut terlibat langsung dalam pengerjaan film
ini, mungkin inginkan visualisasi yang sama persis, plek, seperti dalam novel
yang ia tulis. Jika ada bagian dari novel yang absen ditampilkan di film, menurutku,
itu semata karena durasi yang tidak memungkinkan. Kabarnya, dalam pengerjaan
film ini, ia sempat beradu pandangan dengan sang sutradara, tentang mana yang
ditampilkan dan yang tidak.
Hampir semua adegan memorable.
Mulai dari awal perjumpaan Dilan dan Milea di jalan menuju sekolah, Dilan ‘sang
peramal’ yang merayu Milea di angkot, percakapan-percakapan di sekolah tempat
keduanya banyak betemu, telepon umum pinggir jalan yang digunakan Dilan untuk
menelpon Milea, kamar dan meja telepon di rumah Milea tempat ia penuh sipu juga
cemas menunggu, dan tentu saja, jalanan tempat sang ‘panglima tempur’ beraksi
di atas motor bersama geng motornya.
Bagi saya, scene
paling mengharukan dalam film ini adalah ketika Beni marah hebat kepada Milea
yang ketika itu bersama rombongan sekolah datang ke Jakarta untuk mendukung tim
cerdas cermat sekolah. Beni marah hebat melihat Milea kekasihnya duduk berduaan
dengan Nandan. Puncaknya, ia menyebut Milea dengan kata-kata kasar hingga
melontarkan kata pelacur kepadanya.
Di dalam bus, Milea menangis sepanjang jalan menuju Bandung.
Kata-kata kasar Beni terus terngiang di telinganya. Ia teringat Dilan dan apa
yang pernah ia katakan suatu hari di telepon. “Milea, jangan pernah bilang ada
yang menyakitimu. Nanti, orang itu akan hilang.” Duh, dek Iqbaal ~~
Scene paling keren
sekaligus mendebarkan bagi saya adalah ketika Dilan berantem hebat dengan Anhar
di sekolah. Itu adalah seusai Anhar menampar Milea di warung Bi Eem. Konon,
demi menghasilkan adegan yang sempurna, Dilan dan Anhar dilatih oleh koreograf
dari film The Raid yang dibintangi oleh Iko Uwais. Dan betul, adegan berantem
itu sangat sempurna.
Secara keseluruhan, Iqbaal cukup bagus membawakan peran
Dilan. Persis dalam novelnya, Iqbaal menjadi laki-laki yang formal dan terkesan
kaku dalam berbicara. Meski bagi saya, Iqbaal kurang memiliki rupa ‘berandal’
untuk memerankan sosok Dilan, sang ‘panglima tempur’ dari sebuah geng motor
besar di Bandung. Apalagi, dengan background
dia sebagai penyanyi cilik yang memiliki citra sangat unyu. Hehe. Sedangkan Vanesha Prescilla yang memerankan Milea, bagi saya ia cukup mewakili sosok Milea yang – diem aja udah cantik.
Saya harus cukup legowo untuk mengatakan bahwa secara
keseluruhan, chemistry Iqbaal dan
Vanesha emang dapet.
Jika ada ketidaksempurnaan dalam film ini, salah satunya
adalah editing gambar yang kurang halus. Seperti ketika ibunda Dilan
mengendarai mobil Nissan Patrol bersama Milea untuk mengantarnya pulang.
Terlihat jelas batas gambar di dalam mobil dan jalanan yang sebetulnya tidak
berada pada situasi yang bersamaan. Penggabungan gambar masih kurang halus. Dan
itu cukup kentara dalam penglihatan.
Dilan, meski masih SMA, bagi saya adalah pribadi yang penuh
kejutan. Seorang panglima geng motor yang diam-diam romantis dengan
caranya yang tidak biasa. Laki-laki yang sering ke BP, bukan karena jagoan tapi
karena melawan orang-orang yang bertindak sewenang-wenang. Bahkan ia berani
memukul Suripto, guru yang baginya tidak manusiawi dalam memberi teguran kepada
murid. Termasuk dirinya, ketika mengikuti upacara bendera.
Meski begitu, Dilan nggak berandal-berandal banget. Dia pintar. Selalu juara di kelas. Suka musik dan buku bacaannya banyak. Walau kalau pergi ke sekolah, dia hanya membawa satu buku yang diselipkan di saku celana belakang.
Meski begitu, Dilan nggak berandal-berandal banget. Dia pintar. Selalu juara di kelas. Suka musik dan buku bacaannya banyak. Walau kalau pergi ke sekolah, dia hanya membawa satu buku yang diselipkan di saku celana belakang.
. . . .
Menonton Dilan di awal 2018 dengan usia yang sudah 25, bahkan
tak se-deg-degan ketika saya membaca novelnya tahun 2015 lalu. Selain
karena banyak adegan dan percakaan yang telah tertebak lebih dulu, mungkin karena
di usia 25 ini negara api telah menyerang. * halah *
Betapa membaca kisah cinta Dilan dan Milea, hidup begitu
sangat sederhana. Pun masalah yang muncul hanya seputar masalah-masalah remaja
SMA yang kadang, memang harus dimaklumi ketika muncul ego-ego yang tinggi.
Iqbaal dan Vanesha, pemeran tokoh Dilan dan Milea. |
Lantas, membaca kembali Dilan diusia yang sudah 25 ini,
semacam mengingatkan kepada diri sendiri bahwa, “Ingat umur, woy”. Ckckck
So, review angka
saya untuk film Dilan adalah 7.5/10. Saya telah jatuh cinta dengan sosok Dilan
sejak ia diciptakan Pidi Baiq melalui ‘Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’.
Novel ini tidak buruk ketika kemudian difilmkan. Namun, seperti yang pernah
saya katakan, kolonisasi novel ke dalam media audiovisual, betapapun dibuat
semirip mungkin, tidak akan pernah bisa sempurna mewakili imajinasi pembaca.
Ini pukul sepuluh malam. Akhirnya bisa menyelesaikan review Dilan setelah hampir seminggu
lamanya. Fiuuuh. * makanya nulis, Bin, jangan kerja mulu *
Saya merekomendasikan buku Dilan untuk dibaca. Terutama bagi
laki-laki, sebagai senjata untuk menggaet hati wanitanya. Hehehe.