Bagaimanapun, aku
adalah gadismu yang selalu butuh kau jewer, Bu.
Sekitar dua minggu yang lalu aku memutuskan untuk membelikan
ibu handphone. Sebab, adik yang
biasanya kutelpon ketika aku kangen
dan ingin ngobrol dengan ibu, kini sudah mulai menetap di Malang untuk
melanjutkan sekolah.
Meskipun sudah memegang handphone,
ibu bukan tipe orang yang terbiasa mengobrol tanpa bertatap muka secara langsung.
Bukan hanya dengan aku, dengan siapa saja. Bahkan hingga dua minggu ini, Ibu
masih suka kesulitan ketika akan menelponku dengan ponselnya yang kubeli sengaja bukan bertipe smartphone. Alhasil, aku lah yang kemudian bilang,
“Ibu, aku saja yang menelpon. Ibu tidak usah menelpon,” kataku.
Komunikasi kita tidak diciptakan bagus melalui alat-alat
elektronik yang cangggih. Bahkan, ketika teman-temanku yang lain sudah terbiasa
menghubungi orangtua mereka melalui aplikasi canggih semacam whatsapp, BBM, hingga facebook, aku dan ibu masih saja orang
yang canggung jika harus mengobrol lewat telepon.
Sebab itu, ibu lah yang lebih sering menutup telepon
terlebih dahulu ketika aku menelpon. Tapi beberapa waktu ini aku selalu
merengek, seperti kemarin, meminta agar kita mengobrol lebih lama lagi. Padahal tidak ada percakapan yang begitu diantara kami. Aku
hanya bertanya hal-hal yang remeh; apa masakan yang ibu olah, sedang kemana
bapak, adakah yang mengantar ibu ke pasar, dan hal-hal biasa lainnya.
Namun begitu, hingga saat ini, kuakui menelpon ibu adalah
satu-satunya caraku menemukan kewarasan. Berada jauh dari ibu, tak kurang dari 150 kilometer, membuatku menemukan apa-apa yang hilang setelah beberapa detik
mendengar ibu bersuara. Setelah menelpon ibu, aku bisa saja sekaligus menjadi rajin, semangat
bekerja, tidak malas-malasan salat dan ngaji, dan hal-hal waras lainnya.
Ibu. Aku selalu rindu saat-saat bersamamu. Aku selalu
sedih ketika pulang dan mendapati ibu yang mulai keriput. Aku lantas bilang,
“Ibu jangan keriput dulu,” kataku sambil mengusap pipinya. Tapi ibu lantas
hanya tertawa dan memelukku. Kitapun tertawa.
Jangan mengkhawatirkanku, Bu. Biar aku saja yang
mengkhawatirkanmu. Biar semua orang tahu, aku dan anak-anakmu yang lain tidak
pernah membuatmu khawatir.
Surabaya, 27 September 2016
Tertanda,
Gadismu yang tak pernah berhenti merindukanmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar