Ramadhan bagi saya, adalah mengingat masa-masa kecil dimana anak-anak
kampung, termasuk saya, melakukan tadarus selepas sholat tarawih di langgar. Langgar
kuno berukuran tak lebih dari 10x7 m yang selalu penuh jamaah di awal-awal
ramadhan. Di hari-hari biasa, jamaah ibu dan bapak-bapak tua yang mendominasi.
Kami tadarus menamatkan satu juz dalam semalam. Supaya nanti
ketika ramadhan usai, kami sudah khatam. Tak jarang kami tadarus sambil ngantuk-ngantuk. Maklum, bocah kecil. Tapi
hal lain yang membuat kami senang adalah adanya ta’jil yang disuguhkan ibu-ibu
di langgar tempat kami tadarus. Jenis ta’jil yang disuguhkan bukan jajanan enak
yang banyak digemari anak-anak zaman sekarang. Palingan, ya, ketela goreng,
singkong goreng, kolak, es cendol, atau makanan pembuka buka puasa khas desa
lainnya. Tapi begitu saja kami sudah senang bukan kepalang.
Seusai tadarus kami tak langsung pulang. Ada saja
acara-acara kecil yang kami lakukan agar tak lekas pulang dan disuruh bapak
atau ibu untuk segera tidur. Macam-macam. Bermain petak umpet. Petasan. Kalau pas
teman laki-laki kami membawa dan menyalakan mercon, kami para perempuan seraya
menutup telinga hanya bisa pasrah. Sambil merengek agar petasan dihentikan dan
diganti dengan permainan yang lain.
Atau, entah siapa yang memulai duluan, biasanya kami saling
bercerita tentang memedi, hantu, genderuwo dan sejenisnya, hingga masing-masing
dari kami takut untuk pulang. Anak-anak kecil tak pernah memiliki pengalaman empirik
tentang hantu, tapi selalu gemar untuk saling bercerita.
Kami hidup di kampung, dimana sekitar rumah kami, utamanya
belakang rumah, masih berupa tegalan.
Pepohonan yang tumbuh berupa pohon bambu dan pohon besar khas desa lainnya. Jarak
diantara rumah kami cukup berjauhan, tidak mepet. Sebagian besar masyarakat memiliki
tanah yang luas, meskipun rumah tak seluas tanah yang mereka miliki.
Ramadhan tanpa prasangka, tanpa praduga, tanpa gengsi, tanpa
riya’ dan tanpa kesibukan mencari ‘nama’.
Surabaya, 8 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar