Bisakah kita berkenalan (kembali)??
Aku ingin jatuh cinta padamu di tempat-tempat yang kutentukan.
Kedai kopi, pameran buku, galeri seni.
Bisakah kita berada di sana tanpa sengaja, dan, kita saling menyapa?
Aku akan berkenalan denganmu dengan baik. Sangat baik.
Bisakah?
Perasaanku pasti akan sangat ramai ketika itu.
Ramai. Seperti pasar malam.
Atau, bisakah kita tiba-tiba ada di sana, sekarang? Di pasar malam.
Bisakah?
Blitar, Desember 2014
Sabtu, 27 Desember 2014
Sabtu, 13 Desember 2014
Media yang baik harus memihak: memihak pada kebenaran
Secara pribadi, saya tidak setuju dengan pernyataan “sebuah media harus netral, tidak memihak”. Karena media memiliki kuasa untuk menggiring opini publik. Pernyataan tersebut akan menjadi bumerang ketika mendapati sebuah masyarakat yang akan melangsungkan pemilihan umum untuk menentukan pemimpin baru.
Bagaimana ketika media tengah dihadapkan pada pilihan dua calon; si A yang ‘baik’, dan si B yang ‘kurang baik/buruk’. Apa media akan membiarkan masyarakat memilih si B dan membiarkan negara api menyerang :-D ? Atau menggiring masyarakat agar memilih si A? (Jika memang kita (media) memiliki tujuan bersama yang baik, demi kemaslahatan umat dan demi perubahan yang lebih baik)
Media yang baik harus jujur: memberitakan hal-hal yang baik tanpa menutup-nutupi (jika memang terdapat) keburukan. Biarkan masyarakat yang memilih dan menentukan. Media yang baik berpihak pada kebenaran. Bukan berpihak atas nama percukongan.
… dan, definisi kebenaran adalah jelas; sesuai sebagaimana adanya (seharusnya), betul, tidak salah. Bukan kebenaran versi media A, kebenaran versi media B, dan seterusnya.
Bagaimana ketika media tengah dihadapkan pada pilihan dua calon; si A yang ‘baik’, dan si B yang ‘kurang baik/buruk’. Apa media akan membiarkan masyarakat memilih si B dan membiarkan negara api menyerang :-D ? Atau menggiring masyarakat agar memilih si A? (Jika memang kita (media) memiliki tujuan bersama yang baik, demi kemaslahatan umat dan demi perubahan yang lebih baik)
Media yang baik harus jujur: memberitakan hal-hal yang baik tanpa menutup-nutupi (jika memang terdapat) keburukan. Biarkan masyarakat yang memilih dan menentukan. Media yang baik berpihak pada kebenaran. Bukan berpihak atas nama percukongan.
… dan, definisi kebenaran adalah jelas; sesuai sebagaimana adanya (seharusnya), betul, tidak salah. Bukan kebenaran versi media A, kebenaran versi media B, dan seterusnya.
Rabu, 03 Desember 2014
Catatan Sejarah Kita, Tentang Wilayah yang Pernah Menjadi Bagian dari Negara Kita, Timor Timur: Disembunyikan!!
Selama 15 tahun,
terhitung sejak 1999, adakah bagian dari sejarah kita yang menyebutkan bahwa
telah terjadi pelanggaran HAM besar-besaran oleh militer kita, di negara yang
pernah menjadi bagian dari bangsa kita: Timor Timur? Selama 24 tahun, terhitung
sejak 1974-1999, adakah dari masyarakat kita, atau media kita, yang mengabarkan
bahwa telah terjadi kekerasan kemanusiaan besar-besaran, di wilayah yang
kemudian memilih melepaskan diri dengan Indonesia: Timor Timur?
Dalam buku-buku sejarah,
kita mungkin hanya mengenal .. Timor
Timur melepaskan diri dari Indonesia pada tahun sekian…, atau … Presiden pertama Timor Timur adalah Si A.. Namun
apa sejarah kita mencatat, setelah Indonesia merdeka, sebelum Timor Timur
memilih untuk melepaskan diri dengan negara Indonesia, apa yang terjadi di
tanah itu? Apa saja yang militer kita lakukan disana, dalam misinya ‘mengisi
kekosongan’? Apa sejarah kita mencacat itu? Tidak.
Timor Timur adalah
salah satu wilayah di Indonesia yang tidak terkena dampak penjajahan Belanda. Namun
lebih tragis, lebih dari 400 tahun ia dijajah oleh bangsa Portugis. Dan lebih,
sejak misi militer kita ‘mengisi kekosongan’ selama 24 tahun, terhitung sejak
1974-1999, tersimpan kejahatan HAM yang menjadi traumatik bagi warga Timor
Timur, bahkan mungkin hingga saat ini.
Berbagai kejahatan
genosida dan kejahatan kemanusiaan terjadi pada rentan waktu itu. Istri dan
juga perempuan-perempuan dipisahkan dari keluarganya. (dapat dilihat dari
cuplikan film dokumenter: Perempuan Di
Hotel Flamboyan). Mereka ditahan, dimasukkan sel, diperlakukan kasar,
bahkan diperkosa dan dipaksa untuk melayani militer-militer Indonesia di sana. Tak
jarang dari perempuan-perempuan tersebut melahirkan, membesarkan anak, dan
menyembunyikan traumatik mereka dari anak-anak dengan mengatakan bahwa ayah
mereka telah meninggal. Tak sedikit anak-anak yang kesulitan menurus akta
kelahiran, karena tidakjelasnya status sang ayah. Jika di lapangan terdapat
militer yang mati karena perang, kekejian tersebut akan dilampiaskan pada
perempuan-perempuan tahanan dalam sel. Bahkan, sempat terjadi dalam beberapa
bulan hingga dalam hitungan tahun, terdapat kesengajaan pengurangan makanan,
hingga terjadi kelaparan dimana-mana. Selama 24 tahun, kejahatan HAM tersebut
berlangsung. Tak ada media yang meliput atau memberitakan, karena seperti yang
kita tahu, presiden yang berkuasa selama 32 tahun tersebut membungkam media dan
berbagai kegiatan yang mengancam sekaligus membahayakan dirinya.
Timor Timur pernah akan
menjadi negara komunis dan bergabung dengan AS. Hal tersebut juga salah satunya
yang membuat ‘kita’ lebih keji untuk melakukan ‘apapun’ disana. Dan kita tahu, Indonesia
memiliki trauma besar terhadap PKI, organisasi besar sekitar tahun 1965 yang
menjadi momok karena paham komunismenya tersebut. Satu kesalahan besar: paham
ini dirasa mutlak menistakan agama (Islam) dan keyakinan bangsa. Sehingga buku,
dokumen, atau ajaran apapun tentang marxis dianggap anak jadah yang haram untuk
dibaca oleh putra-putri bangsa. Padahal, pemahaman kita akan marxisme: NOL. Karl
Marx mencipakan marxisme bukan untuk itu. Kita dicekoki citra buruknya tanpa
diberi kesempatan untuk membaca.
Chega!, sebuah catatan,
laporan akhir, dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) yang bekerja di Timor
Leste. Mandatnya yakni mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh semua pihak pada tahun 1974-1999. Dari Chega! kita dapat
menemukan cacatan kelam sejarah bangsa yang tidak pernah kita ketahui, dan
dibiarkan menguap selama puluhan tahun.
Kejahatan kemanusiaan tersebut
mungkin telah berlalu sejak puluhan tahun yang lalu. Beberapa kerugian juga
telah ditebus oleh pemerintah Indonesia. Kita mungkin tidak bisa mengembalikan atau
menghilang tuntaskan trauma warga Timor Leste atas masalalu mereka tersebut. Namun,
bukan berarti kita dapat dengan mudah melupakan dan meminta mereka untuk
memaafkan begitu saja.
Melalui pengalaman
kelam tersebut, semestinya kita dapat berlapangdada untuk mengakui
kesalahan-kesalahan di masa lalu, hingga dapat dijadikan pelajaran untuk
membangun bangsa ke arah depan yang lebih bermartabat. Dari mengusut tuntas
sejarah kelam tersebut, kita dapat belajar tentang satu hal yang pasti: agar
tidak ada lagi kejahatan-kejahatan HAM berseliweran dan berkelanjutan lagi di
negeri ini.
Langganan:
Postingan (Atom)