Rabu, 07 Maret 2018

Perihal Larangan Mahasiswa Bercadar

Sumber gambar: pixabay



Beberapa hari yang lalu, ramai beredar di media sosial tentang larangan mahasiswi bercadar ketika melakukan aktivitas di wilayah kampus. Ialah rektor universitas Islam negeri di Yogyakarta. Kota pelajar yang bahkan, dikenal memiliki kemajemukan masyarakat yang tinggi.

Sekilas saya mengikuti dari portal berita yang muncul di time line akun Twitter. Perihal hal ini, saya sangat setuju dengan tanggapan rektor tempat saya kuliah dan bekerja. Usai konferensi pers penganugerahan gelar doktor kehormatan Dato’ Sri Tahir -laki-laki berdarah tionghoa terkaya nomor lima di Indonesia- rektor mengatakan bahwa sejauh ini, kampus yang ia pimpin tidak/belum memiliki aturan terkait mahasiswi bercadar di lingkungan kampus.

Saya mungkin di antara yang cukup lega dengan pernyataan rektor. Sebab, cadar adalah hak perpakaian setiap perempuan beragama Islam yang melakukan. Hak atas keputusan memakai cadar bagi saya sama halnya dengan keputusan untuk berhijab maupun tidak. 

Islam memang memiliki aturan tentang cara berpakaian. Bahkan dalam fiqih islam, ada mazhab yang mewajibkan perempuan untuk bercadar. Namun, institusi pendidikan di bawah pemerintahan, apalagi di Indonesia dengan masyarakat yang multikultur, semestinya lebih dewasa dalam membaca perilaku akademisi yang bernanung di dalamnya. Termasuk, pilihan untuk menggunakan cadar.

“Yang harus kita cermati adalah ideologi di balik cadar yang ia pakai,” begitu kata Pak Rektor.

Barangkali, kesalahan dari sebagian masyarakat adalah menjustifikasi perempuan bercadar dengan kepemilikan ideologi radikal. Bagi saya pribadi, sepanjang yang bersangkutan tidak terlibat dalam gerakan tertentu yang bersifat radikal dan mengancam kebinekaan, berpakaian menggunakan cadar adalah hak, adalah kebebasan yang tak semestinya dibatasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar